Rabu, 02 November 2011

AL-RÂZÎY DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA


A.    PENDAHULUAN
Filsafat merupakan ilmu yang sering menjadi perdebatan. Terutama ketika para tokohnya menelorkan pemikiran-pemikiran yang tidak bisa diterima oleh komunitas muslim secara umum. Banyak dari filosof muslim yang mendapat penilaian negatif dari tokoh-tokoh Islam. Salah satunya adalah Al-Râzîy, Filosof Muslim kelahiran Rayy yang terkenal dengan filsafat 5 yang kekalnya. Untuk melihat secara objektif terhadap tokoh ini beserta pemikirannya, maka penulis akan coba melihatnya secara dekat lewat makalah yang berjudul Al-Râzîy dan Pemikiran Filsafatnya
Penulis menyadari pembahasan mengenai Al-Râzîy adalah pembahasan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Untuk itu di dalam makalah ini penulis hanya membahas mengenai: Biografi, latar belakang wilayah tempat tumbuh, karya-karya dan pemikiran Al-Râzîy.

B.     AL-RÂZÎY DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA
1.      Biografi Al-Râzîy
Nama lain Al-Râzîy adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Râzîy. Dalam wacana keilmuan Barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya'bân 251H/ 865M.[1] Beliau merupakan tokoh Filsafat yang hidup setelah masa Al-Kindi.[2]
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Râzîy, yakni Abu Hâtim Al-Râzîy[3], Fakhruddîn Al-Râzîy[4] dan Najmuddîn Al-Râzîy. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Râzîy, sang filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar, yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang dan pemain musik (kecapi). Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.
Al-Râzîy terkenal sebagai seorang dokter yang dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu sering memberikan pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang kedokteran ini, Al-Râzîy pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada masa pemerintahan Gubernur Al Mansyûr Ibnu Ishâq ibn Ahmad selama enam tahun (290-296 H / 902-908 M). Pada masa ini juga Al-Râzîy menulis buku al-Thîb al- Ruhaniy yang dipersembahkan kepada Mansyur Ibnu Ishâq ibn Ahmad. Dari Rayy kemudian Al-Râzîy ke Baghdad dan atas permintaan Khalifah Al-Muktafîy (289-295 H / 901-908 M), yang berkuasa pada saat itu, ia memimpin rumah sakit di Baghdad.[5] Kemasyhuran Al-Râzîy sebagai seorang dokter tidak saja di Dunia Timur tapi juga di Barat, ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen. Setelah khalifah Al-Muktafiy wafat, Al-Râzîy kembali ke Rayy, dan kemudian ia berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain. Meninggal dunia pada tanggal 5 Sya'bân 313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[6]
Disiplin ilmu Al-Râzîy meliputi ilmu falak, matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai seorang filosof.[7] Sehingga dimaklumi banyak di antara buku-buku filsafat yang tidak memuat tentang pemikiran filsafatnya.

2.      Latar Belakang Wilayah Tempat Tumbuh Al-Râzîy
Kota Rayy –tempat kelahiran sang Filosof- merupakan sebuah kota tua yang terletak di Iran. Telah dimaklumi bahwa Iran yang dahulunya dikenal dengan Persia sejak lama telah terkenal dengan sejarah peradaban yang tinggi. Kota Ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban, terutama peradaban Yunani dan Persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia dan Yunani inilah terletak jasa dari Alenxander yang Agung pada tahun 331 SM.[8] Oleh Karena itu Tidak mengherankan  kota-kota di Persia (Iran) ini telah mengenal peradaban yang tinggi jauh sebelum bangsa Arab mengenalnya. Tercatat banyak sekali tokoh-tokoh dan ilmuan Islam yang berasal dari wilayah Iran ini –baik sebelum masa Al-Râzîy maupun sesudahnya- di antaranya: Fakhruddîn Al-Râzîy (Mufassir sekaligus Mutakallimin sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya), Shuhrawardi[9], Mulasadra[10], Ibnu Miskawaih[11] dan banyak lagi toko-tokoh kenamaan lainnya.
Tidak hanya sekedar tempat lahir para ilmuan, Iran juga merupakan tempat singgah, mengabdi, menuntut ilmu bagi banyak tokoh filasafat. Salah satunya adalah Ibn Sina.  
Menurut pandangan penulis latar belakang wilayah seperti ini sangat mempengaruhi Al-Râzîy dengan pemikiran filsafatnya yang cemerlang (meskipun banyak yang berpandangan sinis terhadap sosok beliau). Jelasnya Iran merupakan lahan subur pemikiran yang menganugrahi pemikiran-pemikiran Al-Râzîy.  
3.      Karya-Karya
Al-Râzîy termasuk seorang filosof yang  rajin belajar dan menulis. Bahkan ia
telah menulis tidak kurang 200 karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,[12]  tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Karya-karya Al-Râzîy yang dimaksud adalah :
a.       Kitab Al-Asrâr (bidang kimia, diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of Cremon);
b.      Al-Hawi (merupakan ensiklopedia kedokteran sampai abad ke-XVI di Eropa, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin tahun 1279 dengan judul Continens;
c.       Al-Mansuri Liber al-Mansoris (bidang kedokteran, 10 jilid);
d.      Kitab Al-Judar wa al-Hasbah (tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya), sedangkan dalam bidang filsafat
e.       Al-Thibb al-Ruhâni;
f.       Al-Sirah al-Falsafiyyah;
g.      Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
h.      Kitab al-Ladzdzah;
i.        Kitab al-'Ilm al-Ilâhi;
j.        Makalah fî mâ Ba'd dengan Al-Thabi'iyyah;
k.      Al-Shukuk 'ala Proclus.
Inilah di antara buku-buku yang masyhur sebagai buah karya seorang Al-Râzîy, baik kapasitasnya sebagai seorang filosof, dokter, maupun ilmuan di bidang lainnya. Namun satu hal yang amat mencengangkan ada yang menulis bahwa masih ada karya Al-Râzîy yang lain, bahkan karya tersebut adalah buku-buku yang sangat berbahaya. Di antaranya adalah:
a.       Makhâriq al-Anbiyâ’ aw HiIya al-Munatanabbi-în (Mainan nabi-nabi
atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi)
b.      Naqd al-Adyân aw fi an Nubuwwah (Menentang agama-agama atau menentang kenabian)
Menurut Massignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dlancarkan oleh para rasionalis Eropa terhadap agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa bagiannya sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim Al-Râzîy (Wafat tahun 330 H) dalam bukunya A’lâm an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak pandangan Al-Râzîy mengenai teori kenabian.[13]
Namun satu hal yang penulis catat Dari banyak buku yang mengupas tentang karya-karya Al-Râzîy namun tidak ada yang memasukannya ke dalam karya-karya Al-Râzîy.   
4.      Pemikiran Filsafat Al-Rhazîy
a.       Metafisika
 Filsafat Al-Râzîy dikenal dengan ajaran "Lima Kekal", yakni: [14]
1)      Al-Bârîy Ta’ala (Allah Ta'ala);
2)      Al-Nafs al-Kullîyât (Jiwa Universal);
3)      Al-Hayula al-Ûla (Materi Pertama);
4)      Al-Makân al-Muthlâq (Ruang Absolut);
5)      Al-Zamân al-Muthlâq (Masa Absolut).
Menurut Al-Râzîy, dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu dari padanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.  Menurut Al-Râzîy alam semesta tidak qadim, baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Râzîy tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu Ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataannya penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[15]
Menurut Sirajuddin Zar Timbulnya Doktrin Adanya yang kekal selain Allah di dalam pemikiran filsafat Al-Râzîy ini agaknya disebabkan oleh adanya Allah yang merupakan sumber yang Esa dan tetap. Namun demikian, kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.[16]
Jiwa universal merupakan al-Mabda' al-qadîm al-Tsâny (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan bergerak, -sulit diketahui karena dia tanpa rupa- tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ûla (materi pertama), terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.[17]
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat. Materi pertama adalah kekal (jauhar qadim). Ia disebut juga hayula muthlaq (materi mutlak), yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Pendapat Al-Râzîy seperti ini terkesan mirip dengan demokritos, namun pendapatnya jelas berbeda.
Atom-atom yang tidak terbagi itu, menurut Al-Râzîy, mempunyai volume ('azhm). Oleh karena itu, ia dapat dibentuk. Dengan penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Partikel-partikel materi alam menentukan kualitas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang dari pada unsur tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara, dan yang jauh lebih renggang menjadi unsur api.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan materi pertama, Al-Râzîy memajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan mengharuskan adanya Pencipta. Materi yang diciptakan oleh Pencipta yang kekal tentu kekal pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creatio ex nihilo. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari bahan yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali.
Telah disebutkan bahwa materi bersifat kekal karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal. Oleh sebab itu, ruang, menurut Al-Râzîy, dapat dibedakan menjadi dua macam : ruang partikular (al-makân al-juz'i) dan ruang universal (al-makân al-kully). Ruang yang pertama terbatas dan terikat dengan suatu wujud yang menempatinya. Ruang tersebut tidak akan ada tanpa adanya maujûd sehingga dia tidak bisa dipahami secara terpisah dengan maujûd. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya maujûd, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan maujûd yang ada di dalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat dengan maujûd dan tidak terbatas. Sebagai bukti ketidak terbatasan ruang, Al-Râzîy mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut. Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang inilah yang dikatakan Al-Râzîy ruang yang kekal.[18]
Sebagaimana ruang, Al-Râzîy membagi waktu kepada dua bagian yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif (al-mahsûr atau al-waqt). Al-dahr adalah zaman yang tidak mempunyai awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal pula. Al-mahsûr atau al-waqt adalah bersifat partikular dan bersifat tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari.[19]
b.      Jiwa           
Pada poin ini, ada sesuatu yang mengejutkan pendirian Aristotelianisme dan ajaran Islam, yakni pernyataan keyakinan Al-Râzîy kepada Pythagorean-Platonik tentang metempsikosis (transformasi jiwa).
Menurutnya, jiwa, meskipun asalnya hidup, ia tidak sabar dan dalam keadaan bodoh. Oleh karena terpesona oleh materi, maka ia berusaha untuk dipersatukan dengannya dan untuk dianugerahi bentuk yang memungkinkannya dapat menikmati kesenangan-kesenangan jasmani. Tetapi, karena ada perlawanan materi terhadap kegiatan jiwa yang sedang dalam pembentukan, maka Tuhan “bermurah hati” untuk membantunya dan menciptakan dunia ini, dengan bentuk materialnya, agar jiwa dapat melam­piaskan nafsu syahwatnya untuk menikmati bagian kesenangan-kesenangan material untuk sementara waktu.[20]
Demikian juga, Tuhan menciptakan manusia dan memberinya akal dari “esensi ketuhanan-Nya”, sehingga akal pada akhirnya dapat menggugah jiwa dari keterbuaian jasmaninya dalam tubuh manusia, dan mengingatkannya pada nasib hakikatnya yang sejati sebagai warga dunia yang lebih tinggi (akali) dan akan tugasnya untuk mencari dunia tersebut melalui pengka­jian filsafat. Ketika jiwa sampai ke taraf ketagihan terha­dap pengkajian filsafat, ia berhak memperoleh keselamatannya dan bergabung kembali dengan dunia akali dan dengan demikian ia terbebas –sebagaimana dikatakan oleh kaum Pythagorean kuno-dari “jantera kelahiran”. Ketika tujuan akhir ini tercapai dan jiwa manusia yang dibimbing oleh akal telah kembali ke tempat asalnya yang sejati, “dunia yang lebih rendah” ini akan berhenti, dan materi, yang telah demikian lekat terjalin dengan bentuk, akan kembali kepada keadaannya semula yang betul-betul murni dan sama sekali tiada berben­tuk.
Pada konsepsi jiwa tersebut, Al-Râzîy tidak saja menga­jukan sebuah teori yang berani dan orisinal tentang jiwa, akan tetapi juga memberikan penjelasan mengenai penciptaan dunia dalam waktu oleh Sang Pencipta. Konsepsi Pythagorean-Orphik tentang kembalinya jiwa secara melingkar dan pelepasannya yang terakhir dari “jantera kelahiran” dikemukakan dengan tegas dan fungsi terapi mistik filsafat cukup diton­jolkannya.[21]
c.       Moral
Pandangan Al-Râzîy tentang moral dapat dilihat pada bukunya yang berjudul al-Thib al-Ruhânîy dan Buku Sirat al-falsafiyah. Menurutnya di dalam hidup ini kita jangan terlalu zuhud dan jangan pula terlalu tamak. Yang paling baik adalah yang moderat. Artinya jangan terlalu mengumbar nafsu tetapi jangan pula terlalu membunuhnya. [22]
 Untuk mencapai tujuan tersebut ia membuat dua buah batas. Pertama batas tertinggi ialah menjauhi kesenangan yang hanya dapat diperoleh dengan jalan menyakiti hati orang lain ataupun yang bertentangan dengan rasio. Kedua batas terendah ialah memakan apa yang akan merusak atau menyebabkan penyakit, dan berpakaian sekedar untuk menutup tubuh.[23]  
Jika kita lihat sepintas ajaran moral Al-Râzîy ini mirip dengan gagasan moral Socrates. Beliau adalah sosok yang dikenal dengan teori golden mean atau  خير الأمور اوسطها
Gagasan Al-Râzîy tentang moral beraset konsep transmi­grasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan Filsafat), tarutama berkenaan dengan masalah penyembelihan hewan. Al-Râzîy merasa terganggu oleh penderitaan hewan, teru­tama yang diakibatkan oleh perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi hal itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya, bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan jiwa mereka dari penghambaan kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain yang lebih baik, seperti tubuh manusia.[24]
Selain itu Berkaitan dengan jiwa ini, Al-Râzîy mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (al-Thîb al-Ruhâni) dan kedokteran tubuh (al-Thîb al-Jasmani) secara bersama-sama, karena manusia memerlukan hal itu secara bersama-sama pula. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Ar-Rhâzîy. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi, kecuali dengan melalui persepsi indrawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul keragu-raguan dan melankolik.
Sedangkan mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya ia banyak terpengaruh oleh filsafat Phitagoras, yang memandang kesenangan manusia sebenarnya adalah kembali kepada Tuhan. Caranya adalah dengan meninggalkan dunia materi. Roh yang dapat kembali hanyalah roh yang suci. Adapun cara mensucikannya ialah dengan cara bekerja secara spritual yaitu bermain musik ataupun berfilsafat.[25]   
d.      Logika
Al-Râzîy adalah termasuk seorang rasionalis murni. Ia hanya mempercayai terhadap kekuatan akal. Di dalam kedokteran studi klinis yang dilakukannya telah menemukan metoda yang kuat, dengan berpijak kepada observasi dan eksperimen. Sebagaimana yang terdapat pada kitab al faraj ba’d al Syaiddah, karya Al-Tanukhi (wafat 384 H). Dalam Operasi Philosophia volume 1, hal. 17 sampai 18 juga menunjukkan metoda tersebut. Bahkan pemujaan Al-Râzîy terhadap akal tampak sangat jelas pada halaman pertama dari bukunya al-Thibb. Ia mengatakan: Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi dari kita, dengan alat itu pula kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh, jika akal sedemikian mulia dan penting, maka kita tidak boleh meremehkannya, kita tidak boleh menentukannya, sebab ia adalah penentu atau tidak boleh mengendalikan, sebab ia adalah pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah tetapi kita harus kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya, kita harus susuai perintahnya.[26]
Demikian di antara pernyataan Al-Râzîy yang telah di nilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa rusaknya reputasi Al-Râzîy. Bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Râzîy adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun ia bertentangan dengan paham yang dianut oleh umat Islam.[27]
e.       Akal, Kenabian dan Agama
Bagi Al-Râzîy, akal menjadi kompas utama dalam kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya. Sebab, ilmu itulah yang akan mensucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada Tuhannya.
Bahkan di dalam Kitab Al-Thib al-Ruhânîy sangat tampak jika Al-Râzîy adalah filosof yang sangat menghargai akal, menurutnya akal adalah karunia besar dari Allah kepada manusia. Karena akal itulah Manusia lebih mulia dari binatang dan dengan akal manusia mengetahui segala sesuatu, memperbaiki kehidupannya, mencapai cita-citanya bahkan mengetahui Tuhan. Tanpa akal manusia tak obahnya seperti binatang atau orang gila. Oleh karena itu akal harus dihargai dan tidak dilecehkan. Ia harus dijadikan hakim, ikutan, pengendali nafsu dan tidak sebaliknya.[28]
Karena pendapatnya yang meletakkan akal pada posisi yang tinggi inilah Al-Râzîy dianggap sebagai seorang yang menolak kenabian secara mutlak. Sehingga banyak tulisan yang mengatakan jika Al-Râzîy adalah seorang yang tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Seperti halnya Harun Nasution yang menyimpulkan pemikiran filasat Al-Râzîy sebagai berikut: a. Tidak percaya kepada wahyu, b. Al-Qur’ân bukan mukjizat, c. tidak percaya adanya nabi, d. Adanya yang kekal selain Allah.[29] 
Dalam pada itu, Badawi menerangkan alasan-alasan kenapa Al-Râzîy menolak kenabian. Adapun alasannya adalah seperti berikut ini :[30]
1)      Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan nabi? 
2)      Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
3)      Para nabi saling bertentangan. Apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa implementasi mereka terhadap pertentangan?
 Menurut banyak pendapat Al-Râzîy tidak percaya kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya membawa kehancuran bagi manusia. Kebenar­an wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh karenanya, al-Qur’ân dengan uslub-nya tidak merupakan mu’ji­zat bagi Muhammad. Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada wahyu. Oleh karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya lebih berar­ti daripada membaca buku-buku agama.
 Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, Al-Râzîy dianggap telah mengeluarkan pendapat jika para Nabi tidak berhak mengklaim diri mereka memiliki keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, karena semua manusia sama. Padahal keadilan dan ke-MahaHakim-an Tuhan memastikan untuk menolak memberikan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain. Sedangkan mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling kontradik­tif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap Nabi membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan manusia menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut. Semua agama merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di samping merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.[31]
Dari Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa, dalam pandangan Al-Râzîy, agama itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh masyarakat karena tradisi saja. Oleh karena pandangannya yang demikian, maka Al-Râzîy dapat disebut seorang ateis, karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga baginya, nabinya adalah akalnya sendiri.[32]
Kritikan terhadap Al-Râzîy, dengan cara yang tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hâtim Al-Râzîy (w. 330 H.) –seorang yang sezaman dan senegara dengan Al-Râzîy– dalam kitabnya A’lâm al-Nubuwwah. Di dalamnya tidak ditegaskan nama Al-Râzîy, akan tetapi cukup mengarahkan kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain Al-Râzîy. Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh Al-Râzîy kepada kenabian dan pengaruhnya secara sosial.
 Bahkan kritikan terhadap Al-Râzîy yang paling parah adalah menganggap beliau sama bahkan lebih parah dari Al-Rawandi. Sebagaimana diungkapkan: “Protes-protes Al-Râzîy terhadap kenabian dan agama secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya telah dikobarkan oleh al-Rowan­di. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada yang sama. Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan Al-Râzîy- amat masyhûr dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia benar-benar berani memperolokkan al-Qur’ân dengan meniru-nirukannya dan menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh Al-Râzîy. Dalam hemat penu­lis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak. Sedangkan Al-Râzîy, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di bidang medis. Apalagi karya al-Hawi-nya telah menembus jaringan prestisius di Eropa selama lima abad.[33]
Setelah menolak kenabian kemudian Al-Râzîy mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum Yahudi kristen ataupun Majusi. Pengikatan manusia terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasan ulama yang mengabdi negara dan manivestasi lahiriah agama, upacara-upacara, dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang sederhana dan naif. Kemudian Al-Râzîy juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majuzi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi sebab mereka menimbulkan kemudaratan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab wahyu Al-Qur’ân dan injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Qur’ân, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku–buku ilmiah daripada Al-Quran. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Râzîy sangat berani, tidak seorang pemikir Muslim pun seberani dia.
Menurut Abdul Latif Muhammad ‘Abd -sebagaimana yang dikutip Sirajuddin Zar- tuduhan Al-Râzîy terhadap kenabian di dasarkan kepada kitab Makhariq al-Anbiya’ yang sampai saat ini tidak ditemukan lagi, kecuali bagiannya yang terdapat di dalam kitab A’lam al-Nubuwah karya Abu Hâtim Al-Râzîy. Oleh karena itu kebenarannya sangat diragukan, mengingat sosok Abu Hâtim sendiri yang merupakan lawan debat Al-Râzîy. Sehingga hal ini dianggap cukup ganjil  dan ia nilai mengandung sentiment.[34]
Bahkan menurut berbagai sumber, merujuk ke dalam Kitab Al-Thib al-Ruhânîy dipahami bahwa Al-Râzîy di samping menghargai akal, ia juga sangat menghargai agama dan syariat. Di dalam buku itu beliau menulis: “mengendalikan hawa nafsu adalah wajib menurut semua rasio, menurut semua orang berakal, dan menurut semua agama. Dan wajiblah manusia yang baik, yang utama, yang sempurna menunaikan apa yang diwajibkan agama yang benar (Al-Syarî’ah al-Muhiqqah) kepadanya, tidak takut pada kematian karena agama yang benar itu sungguh telah menjanjikan kepadanya kemenangan.[35]  Sedangkan penghargaan beliau terhadap kenabian dapat dilihat dari ungkapannya di dalam kitab Bar’u al-Sâ’ah dan Sir al-Asrâr seperti berikut ini:[36]
“Semoga Allah melimpahkan Salawat kepada Sayyid kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat, Muhammad. Semoga Allah melimpahkan Salawat dan salam yang banyak kepadanya”
Dan seperti ungkapan:
“Semoga Allah melimpahkan Salawat kepada ciptaannya yang terbaik, Nabi Muhammad dan keluarganya”
Merujuk kutipan yang terakhir ini tidaklah pantas Al-Râzîy dianggap sebagai tokoh yang menolak kenabian dan agama. Dan gelar Filosof Muslim pantas disematkan di pundak Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Râzîy.
C.     PENUTUP
a.       Kesimpulan
Dari pembahasan singkat di atas dapat disimpulkan menjadi beberapa poin di antaranya adalah:
1)      Al-Râzîy adalah filosof muslim yang menjadi terkenal dengan filsafat lima kekal dan filsafat kenabian, meskipun ia lebih terkenal di dunia kedokteran.
2)      Meskipun ia mengakui adanya yang kekal selain Allah, tetapi ia tetap memandang kekalnya Allah berbeda dengan kekal selain Allah
3)      Al-Râzîy di samping sangat menghargai akal, tetapi ia masih menghormati kenabian
4)      Di samping kepopelerannya tidak dipungkiri jika Al-Râzîy juga mendapat banyak serangan dari berbagai pihak yang tidak sependapat dengannya.
b.      Saran-saran
Mengingat sosok Al-Râzîy lebih dikenal di dunia kedokteran maka sedikit sekali buku filsafat yang menyoroti sosoknya. Untuk itu, demi objektifitas ilmiah penulis mengharapkan kepada seluruh pihak untuk dapat melihat sosok ini lebih dekat ke dalam buku-buku karyanya langsung. Karena penulis sendiri belum sempat –dan memang tidak menemukan- karya-karya Al-Râzîy kecuali lewat kutipan-kutipan dari beberapa buku.





                                              



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Zahabîy, Muhammad Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassîrûn, Su’udiyah: Maktabah Wahbah, 1995

Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001

Gharbal, Muhammad Syafiq, al-Mausu’ah Al-Arâbiyyah al-Muyassarah, Kairo: Dar Al-Qalam, 1973

M.M.Syarif, (Ed), The History of Muslim Philosophy, New York: Dovers Publication, 1976

Musa, Muhammad Yusuf, Baina al-Dîn wa al-Falsafah, fi Ra’yi Ibn Rusyd wa Falâsifah ‘Ashr al-Wushtha, Beirut: ‘Ash al-Hadits, 1988

Nasution, Harun, Filasafat dan Misticisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1973

Syamsuddin, Fachri, Dasar-dasar filsafat Islam, Jakarta: The Minang Kabu Fondation, 2005
Taufiq Abdullah, dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran Dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004


http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/uncategorized/memaknai-kenabian-bersama-al-farabi.html









[1] Sebagaimana yang dikutip Oleh Sirajuddin Zar dari M.M.Syarif, (Ed), The History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publication, 1976), h. 434. Lihat Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 113     
[2] Taufiq Abdullah, dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran Dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) h. 183
[3] Beliau merupakan lawan Debat Dari Abu Bakr  Al-Rhâzîy yang merupakan tokoh yang berpaham Syi’ah Ismâ’iliayah. Ibid, h. 123
[4] Fakhruddin al-Rhâzîy adalah tokoh Islam di bidang tafsir (Tafsir bi Ra’yi) dan Ilmu Kalam   yang terkenal dengan Tafsirnya yang berjudul Mafatih al-Ghaib. Ayahnya adalah Dhiyâ al-Dîn seorang Khatib di Kota Rayy. Lebih lanjut lihat. Muhammad Husain Al-Zahabîy, Al-Tafsîr wa Al-Mufassîrûn, (Su’udiyah: Maktabah Wahbah, 1995), h. 298
[5] Di Dalam Ensiklopedi Agama dan Filsafat dijelaskan Bahwa rumah sakit yang ada di Baghdad tersebut adalah Rumah sakit yang beliau dirikan dan langsung beliau yang menjadi kepalanya. Lebih lanjut lihat. Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001), h. 119
[8] Sirajuddi Zar, Op cit, h. 114 
[9] Syaikh Syihâbuddîn Abul Futuh Yahya Suhrawardi yang lebih dikenal sebagai Syaikh Isyraq, Syihâb al-Maqtûl, Syaikh al-Maqtûl, adalah founding father Filsafat Isyraq dan salah seorang filosof besar Islam pada abad ke 6 M (587 H). Ia lahir pada tahun 549 H/1154 M di kota Suhraward Iran. Setelah menyelesaikan studi ilmu filsafat dan ushul fiqih di Maragah, dari Majduddin Jili yang juga merupakan guru Fakhrurazi, dan di Isfahân, ia melewati hidupnya beberapa tahun di barat daya Anatolia. Setelah itu ia pindah ke Halab (Aleppo, Suriah) tahun 579 H/1183 M. Di tempat ini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir al-Ghazi (putra Salâhuddîn Al-Ayyubi). Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia/
[10] Filosof perempuan yang terkenal dari daratan Iran
[11] Ibnu Miskawaih Merupakan Filosof Muslim yang terkenal dengan akhlaknya, beliau juga berasal dari Rayy. Selain filsafat beliau juga ahli bahasa, sejarah dan kedokteran. Lihat. Muhammad Yusuf Musa , Baina al-Dîn wa al-Falsafah, fi Ra’yi Ibn Rusyd wa Falâsifah ‘Ashr al-Wushîth, (Beirut: ‘Ash al-Hadits, 1988)  h. 69 
[12] Di dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam dijelaskan bahwa karya beliau mencapai 232 buku dan risalah. Taufik Abdullah, Loc Cit
[13] http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/uncategorized/memaknai-kenabian-bersama-al-farabi.html
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[20] http://kanzulfikri.wordpress.com/2008/09/25/buah-filsafat-al-Razi. untuk perbandingan lihat juga http://myphilosophysite.blogspot.com/2009/08/al-razi-philosophy-of-soul.html, di sana dijelaskan bahwa menurut pendapat Al-Rhâzîy Roh akan tetap tinggal di alam materi ini selama ia tidak dapat mensucikan diri dengan filsafat. Entahlah dalam bentuk reinkarnasi atau dalam bentuk nomadic dari satu planit ke planit yang lain. Ketika semua roh sudah bersih dan kembali ke alamnya, alam materi ini akan hancur. Atau dapat juga ditemukan di dalam Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 118-119

[22] Dikutip dari Muhammad Syafiq Gharbal, al-Mausu’ah Al-Arâbiyyah al-Muyassarah,(Kairo: Dar Al-Qalam, 1973), h. 852. Lihat. Fachri Syamsuddin, Dasar-dasar filsafat Islam, (Jakarta: The Minang Kabu Fondation, 2005), h. 41  
[23] Ibid
[25] Fachri Syamsuddin, Op Cit, h. 42  
[27] Harun Nasution, Filasafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1973), h. 20-21
[28] Taufik Abdullah, Op Cit, h. 184
[29] Harun Nasution, Loc Cit
[30] Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 122
[32] Ibid
[33] Inilah Bentuk kritikan yang diarahkan kepada al-Rhâzîy di mana beliau dipandang sama dengan sosok tokoh Rawandiah yaitu al-Rawandîy bahkan lebih dari itu. Ibid  
[34] Sirajuddin Zar, Op Cit. h. 122-123
[35] Taufik Abdullah, Loc Cit
[36] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar