A.
PENDAHULUAN
Filsafat merupakan ilmu yang sering menjadi
perdebatan. Terutama ketika para tokohnya menelorkan pemikiran-pemikiran yang
tidak bisa diterima oleh komunitas muslim secara umum. Banyak dari filosof
muslim yang mendapat penilaian negatif dari tokoh-tokoh Islam. Salah satunya
adalah Al-Râzîy, Filosof Muslim kelahiran Rayy yang terkenal dengan filsafat 5
yang kekalnya. Untuk melihat secara objektif terhadap tokoh ini beserta
pemikirannya, maka penulis akan coba melihatnya secara dekat lewat makalah yang
berjudul Al-Râzîy dan Pemikiran Filsafatnya
Penulis menyadari pembahasan mengenai Al-Râzîy adalah
pembahasan yang membutuhkan waktu yang sangat panjang. Untuk itu di dalam
makalah ini penulis hanya membahas mengenai: Biografi, latar belakang wilayah
tempat tumbuh, karya-karya dan pemikiran Al-Râzîy.
B.
AL-RÂZÎY DAN PEMIKIRAN FILSAFATNYA
1.
Biografi Al-Râzîy
Nama lain Al-Râzîy adalah Abu Bakar Muhammad
Ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Râzîy. Dalam wacana keilmuan Barat dikenal dengan
sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama
Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya'bân 251H/ 865M.[1]
Beliau merupakan tokoh Filsafat yang hidup setelah masa Al-Kindi.[2]
Ada beberapa nama tokoh lain yang juga dipanggilkan Al-Râzîy,
yakni Abu Hâtim Al-Râzîy[3],
Fakhruddîn Al-Râzîy[4]
dan Najmuddîn Al-Râzîy. Oleh karena itu, untuk membedakan Al-Râzîy, sang
filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abu Bakar,
yang merupakan nama kun-yah-nya (gelarnya).
Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar
uang dan pemain musik (kecapi). Kemudian, ia menaruh perhatian yang besar
terhadap ilmu kimia dan meninggalkannya setelah matanya terserang penyakit
akibat eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. Setelah itu, ia beralih dan
mendalami ilmu kedokteran dan filsafat.
Al-Râzîy terkenal sebagai seorang dokter yang
dermawan, penyayang kepada pasien-pasiennya, karena itu sering memberikan
pengobatan cuma-cuma kepada orang-orang miskin. Karena reputasinya di bidang
kedokteran ini, Al-Râzîy pernah diangkat menjadi kepala rumah sakit Rayy pada
masa pemerintahan Gubernur Al Mansyûr Ibnu Ishâq ibn Ahmad selama
enam tahun (290-296 H / 902-908 M). Pada masa ini juga Al-Râzîy menulis buku
al-Thîb al- Ruhaniy yang dipersembahkan kepada Mansyur Ibnu Ishâq
ibn Ahmad. Dari Rayy kemudian Al-Râzîy ke Baghdad dan atas permintaan
Khalifah Al-Muktafîy (289-295 H / 901-908 M), yang berkuasa pada saat itu, ia
memimpin rumah sakit di Baghdad.[5]
Kemasyhuran Al-Râzîy sebagai seorang dokter tidak saja di Dunia Timur tapi juga
di Barat, ia kadang-kadang dijuluki The Arabic Galen. Setelah khalifah
Al-Muktafiy wafat, Al-Râzîy kembali ke Rayy, dan kemudian ia berpindah-pindah
dari satu negeri ke negeri yang lain. Meninggal dunia pada tanggal 5 Sya'bân
313 H/ 27 Oktober 925 M dalam usia 60 tahun.[6]
Disiplin ilmu Al-Râzîy meliputi ilmu falak,
matematika, kimia, kedokteran, dan filsafat. Ia lebih dikenal sebagai ahli
kimia dan ahli kedokteran dibanding sebagai seorang filosof.[7]
Sehingga dimaklumi banyak di antara buku-buku filsafat yang tidak memuat
tentang pemikiran filsafatnya.
2.
Latar Belakang Wilayah Tempat Tumbuh Al-Râzîy
Kota Rayy –tempat kelahiran sang Filosof- merupakan
sebuah kota tua yang terletak di Iran. Telah dimaklumi bahwa Iran yang
dahulunya dikenal dengan Persia sejak lama telah terkenal dengan sejarah
peradaban yang tinggi. Kota Ini merupakan tempat pertemuan berbagai peradaban,
terutama peradaban Yunani dan Persia. Dalam bidang penyatuan kebudayaan Persia
dan Yunani inilah terletak jasa dari Alenxander yang Agung pada tahun 331 SM.[8]
Oleh Karena itu Tidak mengherankan
kota-kota di Persia (Iran) ini telah mengenal peradaban yang tinggi jauh
sebelum bangsa Arab mengenalnya. Tercatat banyak sekali tokoh-tokoh dan ilmuan
Islam yang berasal dari wilayah Iran ini –baik sebelum masa Al-Râzîy maupun
sesudahnya- di antaranya: Fakhruddîn Al-Râzîy (Mufassir sekaligus Mutakallimin
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya), Shuhrawardi[9], Mulasadra[10],
Ibnu Miskawaih[11]
dan banyak lagi toko-tokoh kenamaan lainnya.
Tidak hanya sekedar tempat lahir para ilmuan, Iran
juga merupakan tempat singgah, mengabdi, menuntut ilmu bagi banyak tokoh
filasafat. Salah satunya adalah Ibn Sina.
Menurut pandangan penulis latar belakang wilayah
seperti ini sangat mempengaruhi Al-Râzîy dengan pemikiran filsafatnya yang
cemerlang (meskipun banyak yang berpandangan sinis terhadap sosok beliau).
Jelasnya Iran merupakan lahan subur pemikiran yang menganugrahi
pemikiran-pemikiran Al-Râzîy.
3.
Karya-Karya
Al-Râzîy termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis. Bahkan ia
telah menulis tidak kurang 200 karya tulis dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan,[12]
tetapi banyak karya tersebut yang
hilang. Karya-karya Al-Râzîy yang dimaksud adalah :
a.
Kitab Al-Asrâr (bidang kimia,
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Geard of Cremon);
b.
Al-Hawi (merupakan ensiklopedia
kedokteran sampai abad ke-XVI di Eropa, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin tahun 1279 dengan judul Continens;
c.
Al-Mansuri Liber al-Mansoris
(bidang kedokteran, 10 jilid);
d.
Kitab Al-Judar wa al-Hasbah
(tentang analisa penyakit cacar dan campak serta pencegahannya), sedangkan
dalam bidang filsafat
e.
Al-Thibb al-Ruhâni;
f.
Al-Sirah al-Falsafiyyah;
g.
Amarah al-Iqbal al-Dawlah;
h.
Kitab al-Ladzdzah;
i.
Kitab al-'Ilm al-Ilâhi;
j.
Makalah fî mâ Ba'd dengan Al-Thabi'iyyah;
k.
Al-Shukuk 'ala Proclus.
Inilah di antara buku-buku yang masyhur sebagai buah
karya seorang Al-Râzîy, baik kapasitasnya sebagai seorang filosof, dokter,
maupun ilmuan di bidang lainnya. Namun satu hal yang amat mencengangkan ada
yang menulis bahwa masih ada karya Al-Râzîy yang lain, bahkan karya tersebut
adalah buku-buku yang sangat berbahaya. Di antaranya adalah:
a. Makhâriq al-Anbiyâ’ aw
HiIya al-Munatanabbi-în (Mainan nabi-nabi
atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi)
atau tipu daya terhadap orang yang mengaku menjadi Nabi)
b. Naqd al-Adyân aw fi an
Nubuwwah (Menentang
agama-agama atau menentang kenabian)
Menurut
Massignon, buku pertama tersebar luas, sampai mencapai Dunia Barat sehingga
buku tersebut menjadi sumber kritikan-kritikan yang dlancarkan oleh para
rasionalis Eropa terhadap
agama dan kenabian. Pada masa Frederick II Buku kedua, beberapa bagiannya
sampai kepada kita melalui tulisan-tulisan Abu Hatim Al-Râzîy (Wafat tahun 330
H) dalam bukunya A’lâm an-Nubuwwah yang dikarang untuk menolak pandangan
Al-Râzîy mengenai teori kenabian.[13]
Namun satu
hal yang penulis catat Dari banyak buku yang mengupas tentang karya-karya Al-Râzîy
namun tidak ada yang memasukannya ke dalam karya-karya Al-Râzîy.
4.
Pemikiran Filsafat Al-Rhazîy
a.
Metafisika
Filsafat Al-Râzîy dikenal dengan ajaran
"Lima Kekal", yakni: [14]
1)
Al-Bârîy Ta’ala (Allah
Ta'ala);
2)
Al-Nafs al-Kullîyât (Jiwa
Universal);
3)
Al-Hayula al-Ûla (Materi
Pertama);
4)
Al-Makân al-Muthlâq (Ruang
Absolut);
5)
Al-Zamân al-Muthlâq (Masa
Absolut).
Menurut Al-Râzîy, dua dari lima yang kekal itu
hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Jiwa/Roh Universal. Satu dari padanya tidak
hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak
pula pasif, yakni ruang dan masa. Menurut Al-Râzîy alam semesta tidak qadim,
baharu, meskipun materi asalnya qadim, sebab penciptaan di sini dalam
arti disusun dari bahan yang telah ada. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Râzîy
tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam
yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari
materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah
menciptakan alam dari tiada, tentu Ia terikat pada penciptaan segala sesuatu
dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan
cepat. Namun kenyataannya penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[15]
Menurut Sirajuddin Zar Timbulnya Doktrin Adanya
yang kekal selain Allah di dalam pemikiran filsafat Al-Râzîy ini agaknya disebabkan
oleh adanya Allah yang merupakan sumber yang Esa dan tetap. Namun demikian,
kekalnya yang lain tidak sama dengan kekalnya Allah.[16]
Jiwa universal merupakan al-Mabda' al-qadîm
al-Tsâny (sumber kekal yang kedua). Padanya terdapat daya hidup dan
bergerak, -sulit diketahui karena dia tanpa rupa- tetapi karena ia dikuasai
naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ûla (materi pertama),
terjadilah pada zatnya rupa yang dapat menerima fisik. Sementara itu, materi
pertama tanpa fisik, Allah datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta
termasuk tubuh manusia yang ditempati roh.[17]
Begitu pula Allah menciptakan akal. Ia merupakan
limpahan dari Allah. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena
dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu bukanlah tempat yang sebenarnya, bukan
tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagiaan yang sebenarnya
adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan filsafat. Materi pertama adalah
kekal (jauhar qadim). Ia disebut juga hayula muthlaq (materi
mutlak), yang tidak lain adalah atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi. Pendapat
Al-Râzîy seperti ini terkesan mirip dengan demokritos, namun pendapatnya jelas
berbeda.
Atom-atom yang tidak terbagi itu, menurut Al-Râzîy,
mempunyai volume ('azhm). Oleh karena itu, ia dapat dibentuk. Dengan
penyusunan atom-atom tersebut terbentuklah alam dunia. Partikel-partikel materi
alam menentukan kualitas-kualitas primer dari materi tersebut. Partikel yang
lebih padat menjadi unsur tanah, partikel yang lebih renggang dari pada unsur
tanah menjadi unsur air, partikel yang lebih renggang lagi menjadi unsur udara,
dan yang jauh lebih renggang menjadi unsur api.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan
materi pertama, Al-Râzîy memajukan dua argumen. Pertama, adanya penciptaan
mengharuskan adanya Pencipta. Materi yang diciptakan oleh Pencipta yang kekal tentu
kekal pula. Kedua, ketidakmungkinan penciptaan dari creatio ex nihilo.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa alam diciptakan Allah dari bahan
yang sudah ada, yakni materi pertama yang telah ada sejak azali.
Telah disebutkan bahwa materi bersifat kekal
karena ia menempati ruang, maka ruang juga kekal. Oleh sebab itu, ruang,
menurut Al-Râzîy, dapat dibedakan menjadi dua macam : ruang partikular (al-makân
al-juz'i) dan ruang universal (al-makân al-kully). Ruang yang
pertama terbatas dan terikat dengan suatu wujud yang menempatinya. Ruang
tersebut tidak akan ada tanpa adanya maujûd sehingga dia tidak bisa
dipahami secara terpisah dengan maujûd. Ruang partikular ini akan
terbatas dengan terbatasnya maujûd, berubah dan lenyap sesuai dengan
keadaan maujûd yang ada di dalamnya. Sementara yang kedua tidak terikat
dengan maujûd dan tidak terbatas. Sebagai bukti ketidak terbatasan
ruang, Al-Râzîy mengatakan bahwa wujud (tubuh) memerlukan ruang dan ia tidak
mungkin ada tanpa adanya ruang, tetapi ruang bisa ada tanpa adanya wujud tersebut.
Ruang universal ini sering juga disebut al-khala (kosong) dan ruang
inilah yang dikatakan Al-Râzîy ruang yang kekal.[18]
Sebagaimana ruang, Al-Râzîy membagi waktu kepada
dua bagian yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif (al-mahsûr
atau al-waqt). Al-dahr adalah zaman yang tidak mempunyai awal dan
akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekali dari ikatan alam semesta,
dan gerakan falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari
kekekalan materi. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan
zaman, maka kalau materi kekal, zaman mesti kekal pula. Al-mahsûr atau al-waqt
adalah bersifat partikular dan bersifat tidak kekal, serta terbatas karena ia
terikat dengan gerakan falak, terbit dan tenggelamnya matahari.[19]
b.
Jiwa
Pada poin ini, ada sesuatu yang mengejutkan
pendirian Aristotelianisme dan ajaran Islam, yakni pernyataan keyakinan Al-Râzîy
kepada Pythagorean-Platonik tentang metempsikosis (transformasi jiwa).
Menurutnya, jiwa, meskipun asalnya hidup, ia tidak
sabar dan dalam keadaan bodoh. Oleh karena terpesona oleh materi, maka ia
berusaha untuk dipersatukan dengannya dan untuk dianugerahi bentuk yang
memungkinkannya dapat menikmati kesenangan-kesenangan jasmani. Tetapi, karena
ada perlawanan materi terhadap kegiatan jiwa yang sedang dalam pembentukan,
maka Tuhan “bermurah hati” untuk membantunya dan menciptakan dunia ini, dengan
bentuk materialnya, agar jiwa dapat melampiaskan nafsu syahwatnya untuk
menikmati bagian kesenangan-kesenangan material untuk sementara waktu.[20]
Demikian juga, Tuhan menciptakan manusia dan
memberinya akal dari “esensi ketuhanan-Nya”, sehingga akal pada akhirnya dapat
menggugah jiwa dari keterbuaian jasmaninya dalam tubuh manusia, dan mengingatkannya
pada nasib hakikatnya yang sejati sebagai warga dunia yang lebih tinggi (akali)
dan akan tugasnya untuk mencari dunia tersebut melalui pengkajian filsafat.
Ketika jiwa sampai ke taraf ketagihan terhadap pengkajian filsafat, ia berhak
memperoleh keselamatannya dan bergabung kembali dengan dunia akali dan dengan
demikian ia terbebas –sebagaimana dikatakan oleh kaum Pythagorean kuno-dari
“jantera kelahiran”. Ketika tujuan akhir ini tercapai dan jiwa manusia yang
dibimbing oleh akal telah kembali ke tempat asalnya yang sejati, “dunia yang
lebih rendah” ini akan berhenti, dan materi, yang telah demikian lekat terjalin
dengan bentuk, akan kembali kepada keadaannya semula yang betul-betul murni dan
sama sekali tiada berbentuk.
Pada konsepsi jiwa tersebut, Al-Râzîy tidak saja
mengajukan sebuah teori yang berani dan orisinal tentang jiwa, akan tetapi
juga memberikan penjelasan mengenai penciptaan dunia dalam waktu oleh Sang
Pencipta. Konsepsi Pythagorean-Orphik tentang kembalinya jiwa secara melingkar
dan pelepasannya yang terakhir dari “jantera kelahiran” dikemukakan dengan
tegas dan fungsi terapi mistik filsafat cukup ditonjolkannya.[21]
c.
Moral
Pandangan Al-Râzîy tentang moral dapat dilihat
pada bukunya yang berjudul al-Thib al-Ruhânîy dan Buku Sirat
al-falsafiyah. Menurutnya di dalam hidup ini kita jangan terlalu zuhud dan
jangan pula terlalu tamak. Yang paling baik adalah yang moderat. Artinya jangan
terlalu mengumbar nafsu tetapi jangan pula terlalu membunuhnya. [22]
Untuk
mencapai tujuan tersebut ia membuat dua buah batas. Pertama batas tertinggi
ialah menjauhi kesenangan yang hanya dapat diperoleh dengan jalan menyakiti
hati orang lain ataupun yang bertentangan dengan rasio. Kedua batas terendah
ialah memakan apa yang akan merusak atau menyebabkan penyakit, dan berpakaian
sekedar untuk menutup tubuh.[23]
Jika kita lihat sepintas ajaran moral Al-Râzîy ini
mirip dengan gagasan moral Socrates. Beliau adalah sosok yang dikenal dengan
teori golden mean atau خير الأمور اوسطها
Gagasan Al-Râzîy tentang moral beraset konsep
transmigrasi jiwanya, yang tertuang dalam karyanya Philosophical Way (Jalan
Filsafat), tarutama berkenaan dengan masalah penyembelihan hewan. Al-Râzîy
merasa terganggu oleh penderitaan hewan, terutama yang diakibatkan oleh
perlakuan manusia. Menurutnya, penyembelihan hewan buas dapat dibenarkan
sebagai pemeliharaan terhadap terhadap kelangsungan hidup manusia. Tetapi
hal itu tidak dapat diterapkan kepada hewan-hewan piaraan. Menurut hematnya,
bahwa penyembelihan itu diartikan sebagai pembebasan jiwa mereka dari penghambaan
kepada tubuh, dan dengan demikian menjadikan mereka lebih dekat dengan takdir
akhirnya. dengan memberikan kemungkinan bagi mereka “tinggal dalam tubuh lain
yang lebih baik, seperti tubuh manusia.[24]
Selain itu Berkaitan dengan jiwa ini, Al-Râzîy
mengharuskan seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (al-Thîb
al-Ruhâni) dan kedokteran tubuh (al-Thîb al-Jasmani) secara
bersama-sama, karena manusia memerlukan hal itu secara bersama-sama pula.
Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar pengobatan bagi Ar-Rhâzîy.
Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara tubuh dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa
tidak akan terjadi, kecuali dengan melalui persepsi indrawi. Emosi jiwa yang
berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan tubuh, sehingga timbul keragu-raguan
dan melankolik.
Sedangkan mengenai hubungan manusia dengan
Tuhannya ia banyak terpengaruh oleh filsafat Phitagoras, yang memandang
kesenangan manusia sebenarnya adalah kembali kepada Tuhan. Caranya adalah
dengan meninggalkan dunia materi. Roh yang dapat kembali hanyalah roh yang
suci. Adapun cara mensucikannya ialah dengan cara bekerja secara spritual yaitu
bermain musik ataupun berfilsafat.[25]
d.
Logika
Al-Râzîy adalah termasuk seorang rasionalis
murni. Ia hanya mempercayai terhadap kekuatan akal. Di dalam kedokteran studi
klinis yang dilakukannya telah menemukan metoda yang kuat, dengan berpijak
kepada observasi dan eksperimen. Sebagaimana yang terdapat pada kitab al
faraj ba’d al Syaiddah, karya Al-Tanukhi (wafat 384 H). Dalam Operasi
Philosophia volume 1, hal. 17 sampai 18 juga menunjukkan metoda tersebut.
Bahkan pemujaan Al-Râzîy terhadap akal tampak sangat jelas pada halaman pertama
dari bukunya al-Thibb. Ia mengatakan: Tuhan segala puji bagi-Nya, yang telah
memberi kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh sebanyak-banyaknya
manfaat, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat
melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik dengan
akal, kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi dari
kita, dengan alat itu pula kita dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan,
suatu pengetahuan tertinggi yang dapat kita peroleh, jika akal sedemikian mulia
dan penting, maka kita tidak boleh meremehkannya, kita tidak boleh
menentukannya, sebab ia adalah penentu atau tidak boleh mengendalikan, sebab ia
adalah pengendali atau memerintah, sebab ia pemerintah tetapi kita harus
kembali kepadanya dalam segala hal dan menentukan segala masalah dengannya,
kita harus susuai perintahnya.[26]
Demikian di antara pernyataan Al-Râzîy yang
telah di nilai telah menyimpang dari agama. Tuduhan ini jelas akan membawa
rusaknya reputasi Al-Râzîy. Bahkan Harun Nasution mengatakan bahwa Al-Râzîy
adalah filosof Muslim yang berani mengeluarkan pendapat-pendapatnya sungguhpun
ia bertentangan dengan paham yang dianut oleh umat Islam.[27]
e.
Akal, Kenabian dan Agama
Bagi Al-Râzîy, akal menjadi kompas utama dalam
kehidupan setiap manusia. Akal diberikan oleh Tuhan kepada setiap insan dalam
kekuatan yang sama. Perbedaan timbul karena pengaruh pendidikan, lingkungan dan
suasana. Manusia bebas untuk menerima ilmu pengetahuan dari manapun sumbernya.
Sebab, ilmu itulah yang akan mensucikan jiwanya, untuk dapat kembali kepada
Tuhannya.
Bahkan di dalam Kitab Al-Thib al-Ruhânîy
sangat tampak jika Al-Râzîy adalah filosof yang sangat menghargai akal,
menurutnya akal adalah karunia besar dari Allah kepada manusia. Karena akal
itulah Manusia lebih mulia dari binatang dan dengan akal manusia mengetahui
segala sesuatu, memperbaiki kehidupannya, mencapai cita-citanya bahkan
mengetahui Tuhan. Tanpa akal manusia tak obahnya seperti binatang atau orang
gila. Oleh karena itu akal harus dihargai dan tidak dilecehkan. Ia harus
dijadikan hakim, ikutan, pengendali nafsu dan tidak sebaliknya.[28]
Karena pendapatnya yang meletakkan akal pada
posisi yang tinggi inilah Al-Râzîy dianggap sebagai seorang yang menolak
kenabian secara mutlak. Sehingga banyak tulisan yang mengatakan jika Al-Râzîy
adalah seorang yang tidak mengakui adanya wahyu dan kenabian. Seperti halnya
Harun Nasution yang menyimpulkan pemikiran filasat Al-Râzîy sebagai berikut: a.
Tidak percaya kepada wahyu, b. Al-Qur’ân bukan mukjizat, c. tidak percaya
adanya nabi, d. Adanya yang kekal selain Allah.[29]
Dalam pada itu, Badawi menerangkan alasan-alasan
kenapa Al-Râzîy menolak kenabian. Adapun alasannya adalah seperti berikut ini :[30]
1)
Bahwa akal sudah memadai untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang
berguna dan yang tak berguna. Melalui akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan
mengatur kehidupan kita sebaik-baiknya. Kemudian mengapa masih dibutuhkan
nabi?
2)
Tidak ada keistimewaan bagi
beberapa orang untuk membimbing semua orang, sebab semua orang lahir dengan
kecerdasan yang sama perbedaannya bukanlah karena pembawaan alamiah, tetapi
karena pengembangan dan pendidikan (eksperimen).
3)
Para nabi saling bertentangan.
Apabila mereka berbicara atas nama satu Tuhan mengapa implementasi mereka
terhadap pertentangan?
Menurut banyak pendapat Al-Râzîy tidak percaya
kepada para Nabi. Sebab, mereka dipandangnya hanya membawa kehancuran bagi
manusia. Kebenaran wahyu yang didakwahkannya, tidak benar adanya. Oleh
karenanya, al-Qur’ân dengan uslub-nya tidak merupakan mu’jizat bagi Muhammad.
Ia hanya sebagai buku biasa. Nikmat akal lebih kongkret daripada wahyu. Oleh
karena itu, kegiatan membaca buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya
lebih berarti daripada membaca buku-buku agama.
Selanjutnya, dalam hubungan kenabian dan agama, Al-Râzîy
dianggap telah mengeluarkan pendapat jika para Nabi tidak berhak mengklaim diri
mereka memiliki keistimewaan khusus, baik rasional maupun spiritual, karena
semua manusia sama. Padahal keadilan dan ke-MahaHakim-an Tuhan memastikan untuk
menolak memberikan keistimewaan kepada seseorang di atas orang lain. Sedangkan
mukjizat dipandangnya sebagai bagian dari mitos keagamaan atau rayuan dan
keahlian yang dimaksudkan untuk menipu dan menyesatkan. Ajaran agama saling
kontradiktif, karena satu sama lain saling menghancurkan, dan tidak sesuai
dengan pernyataan bahwa ada realitas permanen. Hal itu dikarenakan setiap Nabi
membatalkan risalah pendahulunya, akan tetapi menyerukan bahwa apa yang
dibawanya adalah kebenaran, bahkan tidak ada kebenaran lain, dan manusia
menjadi bingung tentang pimpinan dan yang dipimpin, panutan dan yang dianut.
Semua agama merupakan sumber peperangan yang menimpa manusia sejak dulu, di
samping merupakan musuh filsafat dan ilmu pengetahuan.[31]
Dari Alur pikiran di atas dapat dipahami, bahwa,
dalam pandangan Al-Râzîy, agama itu hanya warisan tradisional yang diikuti oleh
masyarakat karena tradisi saja. Oleh karena pandangannya yang demikian, maka Al-Râzîy
dapat disebut seorang ateis, karena mengkritik semua agama. Tetapi di sisi
lain, ia seorang monoteis sejati yang mengaku adanya Tuhan Pencipta, sehingga
baginya, nabinya adalah akalnya sendiri.[32]
Kritikan terhadap Al-Râzîy, dengan cara yang
tajam pernah disampaikan oleh Abu al-Hâtim Al-Râzîy (w. 330 H.) –seorang
yang sezaman dan senegara dengan Al-Râzîy– dalam kitabnya A’lâm al-Nubuwwah.
Di dalamnya tidak ditegaskan nama Al-Râzîy, akan tetapi cukup mengarahkan
kritiknya kepada orang yang disebutnya al-Mulhid (sang ateis). Namun ada
indikasi pasti yang menunjukkan bahwa sang ateis ini bukan orang lain selain Al-Râzîy.
Buku tersebut memuat protes fundamental yang diarahkan oleh Al-Râzîy kepada
kenabian dan pengaruhnya secara sosial.
Bahkan
kritikan terhadap Al-Râzîy yang paling parah adalah menganggap beliau sama
bahkan lebih parah dari Al-Rawandi. Sebagaimana diungkapkan: “Protes-protes Al-Râzîy
terhadap kenabian dan agama secara global, mendekati semua protes yang sebelumnya
telah dikobarkan oleh al-Rowandi. Seakan kedua tokoh tersebut mengulangi nada
yang sama. Sebenarnya al-Rowandi –rekan sezaman dengan Al-Râzîy- amat masyhûr
dan mempunyai keberanian intelektual yang luar biasa, sampai-sampai ia
benar-benar berani memperolokkan al-Qur’ân dengan meniru-nirukannya dan
menertawakan Muhammad. Tetapi, namanya tertutupi oleh Al-Râzîy. Dalam
hemat penulis, di antara kemungkinan ketertutupan ini adalah karena al-Rowandi
terfokus pada arogansi intelektual dan karyanya tidak seberapa banyak.
Sedangkan Al-Râzîy, di samping karya filsafatnya lebih banyak daripada karya
al-Rowandi, juga karena reputasi kepustakaan maupun jasa pelayanan sosialnya di
bidang medis. Apalagi karya al-Hawi-nya telah menembus jaringan
prestisius di Eropa selama lima abad.[33]
Setelah menolak kenabian kemudian Al-Râzîy
mengkritik agama secara umum. Ia menjelaskan kontradiksi-kontradiksi kaum
Yahudi kristen ataupun Majusi. Pengikatan manusia terhadap agama adalah karena
meniru dan kebiasaan, kekuasan ulama yang mengabdi negara dan manivestasi
lahiriah agama, upacara-upacara, dan peribadatan yang mempengaruhi mereka yang
sederhana dan naif. Kemudian Al-Râzîy juga mengkritik agama secara umum. Ia
juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majuzi secara rinci.
Bahkan lebih lanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nabi
sebab mereka menimbulkan kemudaratan. Ia juga mengkritik secara sistematik
kitab-kitab wahyu Al-Qur’ân dan injil. Ia menolak kemukjizatan Al-Qur’ân, baik
gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang
lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku–buku ilmiah
daripada Al-Quran. Atas dasar itulah, Badawi mengatakan bahwa Al-Râzîy sangat
berani, tidak seorang pemikir Muslim pun seberani dia.
Menurut Abdul Latif Muhammad ‘Abd -sebagaimana
yang dikutip Sirajuddin Zar- tuduhan Al-Râzîy terhadap kenabian di dasarkan
kepada kitab Makhariq al-Anbiya’ yang sampai saat ini tidak ditemukan
lagi, kecuali bagiannya yang terdapat di dalam kitab A’lam al-Nubuwah
karya Abu Hâtim Al-Râzîy. Oleh karena itu kebenarannya sangat diragukan,
mengingat sosok Abu Hâtim sendiri yang merupakan lawan debat Al-Râzîy. Sehingga
hal ini dianggap cukup ganjil dan ia
nilai mengandung sentiment.[34]
Bahkan menurut berbagai sumber, merujuk ke dalam
Kitab Al-Thib al-Ruhânîy dipahami bahwa Al-Râzîy di samping menghargai
akal, ia juga sangat menghargai agama dan syariat. Di dalam buku itu beliau
menulis: “mengendalikan hawa nafsu adalah wajib menurut semua rasio, menurut
semua orang berakal, dan menurut semua agama. Dan wajiblah manusia yang baik,
yang utama, yang sempurna menunaikan apa yang diwajibkan agama yang benar (Al-Syarî’ah
al-Muhiqqah) kepadanya, tidak takut pada kematian karena agama yang benar
itu sungguh telah menjanjikan kepadanya kemenangan.[35]
Sedangkan penghargaan beliau terhadap kenabian
dapat dilihat dari ungkapannya di dalam kitab Bar’u al-Sâ’ah dan Sir
al-Asrâr seperti berikut ini:[36]
“Semoga
Allah melimpahkan Salawat kepada Sayyid kita, kekasih kita, dan penolong kita
di hari kiamat, Muhammad. Semoga Allah melimpahkan Salawat dan salam yang
banyak kepadanya”
Dan
seperti ungkapan:
“Semoga
Allah melimpahkan Salawat kepada ciptaannya yang terbaik, Nabi Muhammad dan
keluarganya”
Merujuk kutipan yang terakhir ini tidaklah
pantas Al-Râzîy dianggap sebagai tokoh yang menolak kenabian dan agama. Dan
gelar Filosof Muslim pantas disematkan di pundak Abu Bakar Muhammad Ibn
Zakaria Ibn Yahya Al-Râzîy.
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari pembahasan singkat di atas dapat disimpulkan
menjadi beberapa poin di antaranya adalah:
1)
Al-Râzîy adalah filosof muslim yang
menjadi terkenal dengan filsafat lima kekal dan filsafat kenabian, meskipun ia
lebih terkenal di dunia kedokteran.
2)
Meskipun ia mengakui adanya yang kekal
selain Allah, tetapi ia tetap memandang kekalnya Allah berbeda dengan kekal
selain Allah
3)
Al-Râzîy di samping sangat menghargai
akal, tetapi ia masih menghormati kenabian
4)
Di samping kepopelerannya tidak
dipungkiri jika Al-Râzîy juga mendapat banyak serangan dari berbagai pihak yang
tidak sependapat dengannya.
b.
Saran-saran
Mengingat sosok Al-Râzîy lebih dikenal di dunia
kedokteran maka sedikit sekali buku filsafat yang menyoroti sosoknya. Untuk
itu, demi objektifitas ilmiah penulis mengharapkan kepada seluruh pihak untuk
dapat melihat sosok ini lebih dekat ke dalam buku-buku karyanya langsung.
Karena penulis sendiri belum sempat –dan memang tidak menemukan- karya-karya Al-Râzîy
kecuali lewat kutipan-kutipan dari beberapa buku.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Zahabîy, Muhammad
Husain, Al-Tafsîr wa Al-Mufassîrûn, Su’udiyah: Maktabah Wahbah,
1995
Effendy, Mochtar, Ensiklopedi
Agama dan Filsafat, Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001
Gharbal, Muhammad
Syafiq, al-Mausu’ah Al-Arâbiyyah al-Muyassarah, Kairo: Dar Al-Qalam,
1973
M.M.Syarif, (Ed), The
History of Muslim Philosophy, New York: Dovers Publication, 1976
Musa, Muhammad Yusuf,
Baina al-Dîn wa al-Falsafah, fi Ra’yi Ibn Rusyd wa Falâsifah ‘Ashr al-Wushtha,
Beirut: ‘Ash al-Hadits, 1988
Nasution, Harun, Filasafat dan Misticisme Dalam
Islam, Jakarta: Bulan bintang, 1973
Syamsuddin, Fachri, Dasar-dasar filsafat
Islam, Jakarta: The Minang Kabu Fondation, 2005
Taufiq Abdullah, dkk (Ed), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Pemikiran Dan Peradaban, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994
Zar, Sirajuddin, Filsafat
Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/uncategorized/memaknai-kenabian-bersama-al-farabi.html
http://mgmpkimia.wordpress.com/tokoh-kimia/al-razi-865-925/7
November 2009
[1]
Sebagaimana yang dikutip Oleh Sirajuddin Zar dari M.M.Syarif, (Ed), The
History of Muslim Philosophy, (New York: Dovers Publication, 1976), h. 434.
Lihat Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2004), h. 113
[2] Taufiq
Abdullah, dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran Dan Peradaban,
(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994) h. 183
[3] Beliau
merupakan lawan Debat Dari Abu Bakr
Al-Rhâzîy yang merupakan tokoh yang berpaham Syi’ah Ismâ’iliayah. Ibid,
h. 123
[4] Fakhruddin
al-Rhâzîy adalah tokoh Islam di bidang tafsir (Tafsir bi Ra’yi) dan Ilmu
Kalam yang terkenal dengan Tafsirnya
yang berjudul Mafatih al-Ghaib. Ayahnya adalah Dhiyâ al-Dîn seorang
Khatib di Kota Rayy. Lebih lanjut lihat. Muhammad Husain Al-Zahabîy, Al-Tafsîr
wa Al-Mufassîrûn, (Su’udiyah: Maktabah Wahbah, 1995), h. 298
[5] Di Dalam
Ensiklopedi Agama dan Filsafat dijelaskan Bahwa rumah sakit yang ada di Baghdad
tersebut adalah Rumah sakit yang beliau dirikan dan langsung beliau yang
menjadi kepalanya. Lebih lanjut lihat. Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama
dan Filsafat, (Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2001), h. 119
[7] http://mgmpkimia.wordpress.com/tokoh-kimia/al-razi-865-925/
7 November 2009
[8]
Sirajuddi Zar, Op cit, h. 114
[9] Syaikh Syihâbuddîn Abul Futuh
Yahya Suhrawardi yang lebih dikenal sebagai Syaikh Isyraq, Syihâb
al-Maqtûl, Syaikh al-Maqtûl, adalah founding father Filsafat Isyraq dan salah
seorang filosof besar Islam pada abad ke 6 M (587 H). Ia lahir pada tahun 549
H/1154 M di kota Suhraward Iran. Setelah menyelesaikan studi ilmu filsafat dan
ushul fiqih di Maragah, dari Majduddin Jili yang juga merupakan guru
Fakhrurazi, dan di Isfahân, ia melewati hidupnya beberapa tahun di barat
daya Anatolia. Setelah itu ia pindah ke Halab (Aleppo, Suriah) tahun 579 H/1183
M. Di tempat ini ia mengajar dan menjadi teman gubernur, al-Malik al-Zahir
al-Ghazi (putra Salâhuddîn Al-Ayyubi). Dikutip dari www.wisdoms4all.com/Indonesia/
[10] Filosof
perempuan yang terkenal dari daratan Iran
[11] Ibnu
Miskawaih Merupakan Filosof Muslim yang terkenal dengan akhlaknya, beliau juga
berasal dari Rayy. Selain filsafat beliau juga ahli bahasa, sejarah dan
kedokteran. Lihat. Muhammad Yusuf Musa , Baina al-Dîn wa al-Falsafah, fi
Ra’yi Ibn Rusyd wa Falâsifah ‘Ashr al-Wushîth, (Beirut: ‘Ash al-Hadits,
1988) h. 69
[12] Di
dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam dijelaskan bahwa karya beliau mencapai
232 buku dan risalah. Taufik Abdullah, Loc Cit
[13]
http://dunia.pelajar-islam.or.id/dunia.pii/uncategorized/memaknai-kenabian-bersama-al-farabi.html
[14] Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 117, dan http://myphilosophysite.blogspot.com/2009/08/5-eternal-philosophy.html
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[20] http://kanzulfikri.wordpress.com/2008/09/25/buah-filsafat-al-Razi.
untuk perbandingan lihat juga http://myphilosophysite.blogspot.com/2009/08/al-razi-philosophy-of-soul.html,
di sana dijelaskan bahwa menurut pendapat Al-Rhâzîy Roh akan tetap tinggal di
alam materi ini selama ia tidak dapat mensucikan diri dengan filsafat. Entahlah
dalam bentuk reinkarnasi atau dalam bentuk nomadic dari satu planit ke planit
yang lain. Ketika semua roh sudah bersih dan kembali ke alamnya, alam materi
ini akan hancur. Atau dapat juga ditemukan di dalam Sirajuddin Zar, Op Cit, h.
118-119
[22] Dikutip
dari Muhammad Syafiq Gharbal, al-Mausu’ah Al-Arâbiyyah al-Muyassarah,(Kairo:
Dar Al-Qalam, 1973), h. 852. Lihat. Fachri Syamsuddin, Dasar-dasar
filsafat Islam, (Jakarta: The Minang Kabu Fondation, 2005), h. 41
[23] Ibid
[25] Fachri
Syamsuddin, Op Cit, h. 42
[27] Harun
Nasution, Filasafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang,
1973), h. 20-21
[28] Taufik
Abdullah, Op Cit, h. 184
[29] Harun Nasution,
Loc Cit
[30]
Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 122
[32] Ibid
[33] Inilah
Bentuk kritikan yang diarahkan kepada al-Rhâzîy di mana beliau dipandang sama
dengan sosok tokoh Rawandiah yaitu al-Rawandîy bahkan lebih dari itu. Ibid
[34]
Sirajuddin Zar, Op Cit. h. 122-123
[35] Taufik
Abdullah, Loc Cit
[36] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar