Rabu, 02 November 2011

I’JAZ AL-‘ILMI DI DALAM AL-QUR’ÂN


I’JAZ AL-‘ILMI DI DALAM AL-QUR’ÂN

A.    PENDAHULUAN
Al-Qur’ân al-Karim merupakan kitab hidayah dan i`jaz (melemahkan manusia untuk mendatangkan dalil semisal al-Qur’ân), maka disebabkan oleh kedua alasan itulah ia diturunkan, dengan kedua metode itu ia berbicara, dan berdasarkan kedua faktor tersebut ia berdalil
Pembahasan mukjizat ilmiah dari ayat-ayat kauniyah (yang menyebutkan tentang fenomena alam) dalam al-Qur’ân sangat berkaitan dengan gejala-gejala alam dan keterangan hadis Nabi terhadap ilmu ini, sehingga termasuk ke dalam bidang ilmu tafsir yang lebih dikenal dengan tafsirilmi.[1]  Tafsir ‘ilmi begitu berkembang di zaman ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini, yang menjadi salah satu uslub tersendiri dalam dakwah kepada Allah, di mana Allah membukakan begitu banyak rahasia-rahasia alam dan penciptaan, yang membuat manusia begitu terpesona dengan semua ilmu-ilmu tentang alam dan hasil-hasilnya.[2] Meskipun termasuk ke dalam kajian tafsir, tetapi al-i’jâz al-‘ilmi tetap tidak bisa disamakan dengan tafsîr al-ilmi.[3] Tetapi apa yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa sesungguhnya Allah tidak menurunkan Al-Qur’ân untuk menjadi satu kitab yang menerangkan kepada manusia mengenai teori-teori ilmiah, problem-problem seni dan aneka warna pengetahuan.[4]
Untuk mengungkap al-i’jâz al-‘ilmi dan segala permasalahan yang terkait dengannya, penulis akan mencoba menguraikannya di dalam makalah singkat yang berjudul: AL-I’JAZ AL-‘ILMI DI DALAM AL-QUR’ÂN
Adapun pembahasan makalah ini meliputi: a. pengertian i’jâz al-‘ilmi, b. Motifasi al-Qur’ân Terhadap Pengembangan Pengetahuan, dan c. Bentuk-bentuk al-i’jâz al-‘ilmi  di dalam al-Qur’ân.
B.     MUKJIZAT ILMIAH/ Al-I’JÂZ AL -‘ILMI DI DALAM AL-QUR’ÂN
  1. Pengertian dan Tujuan I’jaz al-‘Ilmi Al-Qur’ân
Kata mukjizat معجزة tidak ditemukan di dalam al-Qur’ân. Ditinjau dari aspek sejarah, istilah ini baru muncul pada akhir abad kedua atau awal abad ke tiga Hijriah. Istilah senada yang biasa dipakai al-Qur’ân adalah: الأية , البينة ,atau البرهان [5]
 Mukjizat secara etimologis adalah isim fâ’il/ kata benda subjek berasal dari kata al-‘ijâz, mashdar dari kata a’jaza yang artinya melemahkan atau mengalahkan. Contoh sebagai berikut:
عجز فلان عن الأمر, واعجزه الأمر اذا حاوله فلم يستطعه, ولم تتسع له مقدرته وجهده
(“Fulan lemah di dalam urusan ini, dan ia dikalahkan oleh urusan ini ketika ia berusaha, ia tidak mampu dan daya upayanya tidak mampu mengatasi permasalahan”)[6]
Pelakunya disebut dengan mu’jiz dan apabila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol sehingga mampu membungkam lawan ia dinamai mu’jizah. Tambahan ta marbuthah ( ة ) pada akhir kata itu mengandung makna mubalaghah (superlatif)[7]. Di dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan jika عجز: العجز نقيض الحزم (Lemah yang telah hilang kekuatannya)[8]  
Secara terminologi, menurut Imam Suyûthiy mukjizat dalam pemahaman syara’ adalah kejadian yang melampaui batas kebiasaan, didahului tantangan tanpa adanya tandingan, baik indrawi maupun rasio ( امر خارق للعادة مقرون بالتحدي, سالم عن المعارضة وهي اما حسية واما عقلية ).[9] Ibn Khaldun berpendapat bahwa mukjizat adalah perbuatan yang tidak dapat ditiru oleh manusia. Maka ia dinamakan mukjizat, tidak mampu dilakukan oleh hamba, dan berada di luar standar kemampuan manusia.[10] Quraish Shihab memberikan defenisi mukjizat dengan “suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan i’jaz ilmi adalah terjadinya kecocokan antara realita ilmiah dengan nas-nas kauniyah yang termaktub di dalam al-Qur'ân[11]. Mukjizat ini bertujuan untuk menegaskan akan kebenaran al-Qur’ân, sehingga ia akan menjadi jawaban terhadap orang yang mempertanyakan kebenarannya, membantah terhadap orang yang menentangnya serta semakin mengokohkan hati orang yang telah berpegang dengannya. Mukjizat ilmiah secara tidak langsung merupakan janji Allah lewat firman-Nya
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar
Dahulu, arti Al-Qur’ân telah dipahami oleh para sahabat, hanya saja mereka belum mengetahui sebagian bentuk kongkritnya. Padahal Allah telah menjanjikan akan menyingkap hal tersebut di kemudian hari.
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ * وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ 
Artinya: “Al Qur'an ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kalian akan mengetahui (kebenaran) berita Al-Qur’ân setelah beberapa waktu lagi.”
  1. Motifasi Al-Qur’ân Terhadap Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Islam sangat memotifasi umatnya untuk selalu mengembangkan pengetahuan. Bahkan ilmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang utama. Rujukan yang paling menakjubkan dan fakta paling penting mengenai hal ini adalah ayat-ayat al-Qur’ân yang turun paling awal, dan yang mendorong manusia untuk mencari serta menjunjung tinggi pengetahuan itu. Pada hakekatnya bagian permulaan dari wahyu menjadi pertanda bagi fajar ilmu pengetahuan, dan jadi pelopor  pemberi  kedudukan  terhormat  kepada   ilmu   pengetahuan.[12]  Ayat   yang
pertama turun itu berbunyi:
 ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Iqra terambil dari akar kata yang berarti “ menghimpun”, dari menghimpun lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menela’ah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’ân menghendaki agar umatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi-Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.[13]
Bukti lain menunjukkan perhatian besar Islam terhadap hal ini adalah banyaknya motifasi al-Qur’ân untuk memberdayakan akal melalui ungkapan ayat seperti: افلاتعقلون, افلا تتفكرون, افلا تتذكرون, افلا يتدبرون, افلا ينظرون dan kata semisal lainnya
Kata افلاتعقلون/ افلايعقلون diulang di dalam al-Qur’ân sebanyak 9 kali, Kata افلا يتدبرون  diulang  sebanyak 2 kali, kata افلا تتذكرون/ افلا تذكرونdiulang sebanyak lebih kurang 9 kali, kata افلا تتفكرون/ افلا يتفكرون diulang sebanyak 2 kali dan kata افلا ينظرون sebanyak satu kali (ini semua belum termasuk yang datang dalam bentuk fi’il Amr, istifham dengan kata اولم serta tarâji dengan kata  لعلكم/لعلهم).
Kata ta’aqqul, tafakkur, tadzakkur dan  tadabbur, nazhar, ta’ammul, Istibshar/tabasshur merupakan istilah-istilah yang bermakna pemberdayaan akal. Menurut Yusuf Al-Qardhawiy kata Tafakkur memberi pengertian akumulasi ilmu pengetahuan dan mencari apa yang belum diketahui. Sedangkan kata Tadzakkur memberi pengertian pengulangan di dalam hati terhadap apa yang telah diketahui untuk lebih menguatkan dan memantapkannya sehingga tidak lenyap dan terhapus dari hati sama sekali.[14]
Disebut tafakur karena ia menggunakan pemikiran untuk mencapainya dan memikirkannya. Dinamakan tadzakkur karena ia menghadirkan ilmu yang harus ia pelihara setelah ia melupakan dan melalaikannya. Dinamakan nazhar karena ia mengarahkan hati untuk berkonsentrasi pada objek yang sedang diperhatikan. Disebut ta’ammul karena ia mengulang-ulang pemikiran hingga menemukan kebenaran dalam hatinya. Dinamakan iktibar karena ia menyeberangkan dia dari satu tempat ke tempat lain, yaitu memindahkannya dari pengetahuan yang sedang ia pikirkan menuju pengetahuan ketiga. Oleh karena itu, dinamakan ‘ibrah, diungkapkan dalam bentuk jadian untuk menunjukkan suatu kondisi atau kata keterangan, menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan ini telah menjadi kondisi bagi orang tersebut yang menyeberangkannya menuju objek yang dimaksudkan. Allâh berfirman:
¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ZouŽö9Ïès9 `yJÏj9 #Óy´øƒs ÇËÏÈ
Artinya: Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya).

 Disebut tadabbur karena ia merupakan suatu usaha memikirkan akibat-akibat setiap masalah, yaitu sesuatu yang akan terjadi setelah dilakukannya suatu perbuatan. Juga dinamakan istibshar yaitu bentuk wazan istif’al dari term tabashshur yang bermakna mengungkapkan sesuatu dan menyingkapkannya serta memperlihatkannya kepada pandangan hati.[15]
Diantara ayat-ayat yang memberi motifasi pengembangan Ilmu Pengetahuan adalah:
قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad): lakukanlah nadzar (penelitian dengan menggunakan metode ilmiah) mengenai apa yang ada di langit dan di bumi ...”( QS. Yunus ayat 101)
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُوا فِي اْلأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّّبِيْنَ
Artinya: Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. Ali Imran: 137)
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Artinya: Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan? (QS. Az-Zariyat: 21)
Nazhar adalah mempraktekkan metode, mengadakan observasi dan penelitian ilmiah terhadap segala macam peristiwa alam di seluruh jagad ini, juga terhadap lingkungan keadaan masyarakat dan historisitas bangsa-bangsa zaman dahulu.
Sedangkan perintah untuk melakukan penelitian secara jelas terdapat dalam QS. Al-Ghasiyah, ayat 17-20:
أَفَلاَ يَنْظُرُوْنَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ    وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ   وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ وَإِلَى اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (QS. Al-Ghasiyah: 17-20)

Dari ayat-ayat tersebut, maka muncullah di lingkungan umat Islam suatu kegiatan observasional yang disertai dengan pengukuran, sehingga ilmu tidak lagi bersifat kontemplatif seperti yang berkembang di Yunani, melainkan memiliki ciri empiris sehingga tersusunlah dasar-dasar sains. Singkat kata Allah, melalui Al-Qur’ân sangat memotifasi hambaNya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
  1. Bentuk-bentuk I’jaz al-‘Ilmi di dalam Al-Qur’ân
Sesungguhnya ramai ulama berpendapat bahwa i`jaz Al-Qur’ân pada abad ke-20 ialah i`jaz ilmi-nya. Ini karena banyak ayat-ayat yang mengandung hakikat ilmiah yang luput dari perhatian dan tidak disadari oleh golongan terdahulu, dan tidak jelas maknanya melainkan selepas keputusan-keputusan ilmiah dihasilkan. Maka dari sini bermula usaha-usaha untuk menggali ayat-ayat Al-Qur’ân dengan pendekatan tafsir ilmi. Namun menurut pendapat Yusuf al-Qardhawy,[16] hakikat i`jaz ilmi dalam Al-Qur’ân sebenarnya hanyalah kemukjizatan secara retoris, di mana tidak ada pertentangan ayat Al-Qur’ân yang telah turun 14 abad lalu, dengan berbagai penemuan sains kontemporer, bahkan sebahagian telah dinyatakan Al-Qur’ân secara global. Sekiranya Al-Qur’ân itu merupakan kitab yang dikarang manusia dan disusun oleh akal mereka, tentulah ungkapan-ungkapannya tidak mampu meliputi segala zaman yang berbeda-beda dan mengikuti perkembangan manusia. Karena itu pijakan kita dalam menetapkan i`jaz ilmi ini mestilah terhadap masalah-masalah yang sudah jelas dan baku, yang tidak mengundang keraguan dan kesangsian.
Adapun bentuk-bentuk I’jâz al-‘Ilmi dari al-Qur’ân, -sebagaimana ia sangat menjadi perhatian pada zaman belakangan ini- adalah:[17]
a.       Kecocokan yang mendasar antara keterangan-keterangan al-Qur’ân dengan hakikat-hakikat pengetahuan alam yang diungkap oleh para ilmuan.
b.      Pelurusan al-Qur’ân terhadap pemikiran-pemikiran batil yang telah tersebar pada beberapa generasi berbeda mengenai rahasia penciptaan.
c.       Jika dirangkum keterangan al-Qur’ân, akan di dapati antara satu ayat dengan ayat lainnya saling melengkapi, sehingga tampaklah kebenaran-kebenaran ilmiah, padahal jika diteliti lebih lanjut antara ayat-ayat tersebut turun secara terpisah pisah.
d.      Adanya hikmah-hikmah al-Qur’ân yang tidak terungkap ketika awal turun al-Qurân, tetapi justru terungkap seiring dilakukannya penelitian-penelitian di lapangan ilmu pengetahuan yang beragam.
e.       Tidak adanya pertentangan antara keterangan al-Qur’ân mengenai sesuatu hal dengan hasil penelitian-penelitian ilmiah. Ini berbeda dengan kitab suci lain, yang antara keterangannya terkadang terdapat kontradiktif dengan realitas ilmiah.[18]
Hal yang lima ini tidak akan mungkin di dapati di dalam kitab-kitab karya manusia, apalagi dugaan orang kafir yang mendakwahkan kalau al-Qur’ân adalah karya Nabi yang ummy.
Di antara contoh bentuk-bentuk mukjizat ilmiah al-Qur’ân adalah dalam pembahasan ihwal reproduksi manusia/ ilmu embriologi, astronomi, geologi, fisika, kimia dan berbagai ilmu lainnya. Di sini penulis akan tampilkan beberapa contoh singkat mengenai bentuk-bentuk kemukjizatan tersebut:
a.       Ihwal Reproduksi/ Embriologi
Proses penciptaan manusia dijelaskan oleh ayat al-Qurân di antaranya:
/ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur §NèO Ÿ@yèy_ $pk÷]ÏB $ygy_÷ry tAtRr&ur /ä3s9 z`ÏiB ÉO»yè÷RF{$# spuŠÏZ»yJrO 8lºurør& 4 öNä3à)è=øƒs Îû ÈbqäÜç/ öNà6ÏG»yg¨Bé& $Z)ù=yz .`ÏiB Ï÷èt/ 9,ù=yz Îû ;M»yJè=àß ;]»n=rO 4 ãNä3Ï9ºsŒ ª!$# öNä3š/u çms9 à7ù=ßJø9$# ( Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( 4¯Tr'sù tbqèùuŽóÇè? ÇÏÈ
Artinya: Dia menciptakan kamu dari seorang diri Kemudian dia jadikan dari padanya isterinya dan dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain Dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?
Menurut embriologi yang baru terungkap abad 20 ini, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode, Selama 9 bulan janin dalam rahim ibu, sebagai bahasa medis disebut trimester 1, 2 dan 3. Semua ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan al-Qurân yang mulia. Dari segi embriologi, sesuatu sperma/gamet jantan bertemu dengan telur/gamet betina untuk menghasilkan zigot yang akan berubah menjadi embrio dan berpindah kepada uterus/rahim dan berkembang serta tumbuh menjadi janin. Inilah kegelapan pertama sebagaimana yang disebutkan al-Qur’ân, atau trimester pertama sebagai istilah medis (bagi 3 bulan pertama). Pada kegelapan kedua atau trimester kedua, janin ini membesar lagi dan telah mempunyai wajah, telinga, mulut, hidung dan anggota kaki dan tangan. Pada kegelapan ketiga (trimester ketiga) janin masuk bulan ke-7 sampai bulan ke-9 dan dilahirkan sebagai bayi sempurna.[19]
Sedangkan terkait dengan proses pertumbuhan janin di dalam rahim lebih rincinya dijelaskan oleh ayat lain Sebagai berikut:
1)      Sperma. terdapat paling tidak tiga ayat yang bercerita tentang sperma, yaitu
-          Surah al-Qiyâmah: 36-39
Ü=|¡øtsr& ß`»|¡RM}$# br& x8uŽøIム´ß ÇÌÏÈ óOs9r& à7tƒ ZpxÿôÜçR `ÏiB %cÓÍ_¨B 4Óo_ôJムÇÌÐÈ §NèO tb%x. Zps)n=tæ t,n=yÜsù 3§q|¡sù ÇÌÑÈ Ÿ@yèpgmú çm÷ZÏB Èû÷üy_÷r¨9$# tx.©%!$# #Ós\RW{$#ur ÇÌÒÈ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar