SUMBER-SUMBER
TAFSÎR
A.
Pendahuluan
1. Latar Belakang dan Ruang Lingkup Pembahasan
Tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’yi merupakan istilah
pembagian tafsir dari segi sumbernya. Baik tafsîr bi al-ma’tsûr, maupun tafsîr bi
al-ra’yi, keduanya sama-sama
menjadi pembahasan serius di kalangan ulama. Tafsîr bi al-ma’tsûr misalnya, meskipun disepakati sebagai sumber tafsîr terbaik, namun mereka
berbeda pendapat di dalam menentukan apa saja yang termasuk tafsîr bi al-ma’tsûr tersebut. Begitu juga tafsîr bi al-ra’yi, para ulama berbeda
pendapat akan kebolehannya di dalam praktek tafsîr.
Berdasarkan hal ini penulis akan membahasnya di
dalam makalah singkat yang berjudul "SUMBER-SUMBER TAFSÎR".
Adapun pembahasannya meliputi: a.
Pengertian tafsîr bi al-ma’tsûr, Sumber-sumbernya,
kedudukan dan hukumnya, serta qawâ’id
tafsîr yang terkait dengannya, dan b. Pengertian tafsîr bi al-ra’yi, dan pandangan ulama
terkait kebolehan menafsirkan al-Qur'an dengannya.
2. Metode Pembahasan
Pembahasan
makalah ini bersifat deskriptif analitis, yaitu setiap pembahasan dimulai dengan pendeskripsian pendapat ulama terkait dengan suatu pembahasan, kemudian diikuti dengan analisis dari
penulis, ataupun pendapat ulama sejauh
dibutuhkan. Untuk melakukan pembahasan ini, penulis menggunakan beberapa kitab. Adapun yang menjadi kitab utama
adalah Ta'rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, mengingat kitab ini adalah kitab belakangan yang
telah memuat pendapat para ulama sebelumnya,
sehingga hal ini sangat membantu dan mengatasi keterbatasan penulis.
Untuk memastikan keotentikan sebuah pendapat
penulis juga merujuk kepada
kitab-kitab Ulûm al-Qur'ân sebelumnya seperti al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur'ân dan Tafsîr wa al-Mufassirfûn Kemudian untuk memudahkan penulis di
dalam pembahasan, penulis juga
merujuk ke kitab-kitab yang membahas masalah ini secara ringkas seperti Mabâhîts fi '’Ulûm al-Qur’ân, Buhûts Ushfûl al-Tafsîr wa Manâhijuhu
Serta Kitab al-Tibyân fi ‘Ulûm al-Qur’ân.
Sedangkan untuk memperoleh contoh
penafsirannya –khususnya tafsîr bi
al-ma’tsûr penulis merujuk ke dalam kitab Al-Jâmi' al-Shahîh
al-Musnad al‑Mukhtashâr min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘alaihi wa
Sallam wa Sunanihi wa ayyâmihi (Shahîh al-Bukhâriy), serta kitab-kitab
lain yang dapat membantu penulis di dalam pembahasan ini.
B.
Sumber-sumber Tafsîr
Berdasarkan sumbernya, tafsîr dapat dibagi
menjadi dua yaitu tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’yi.
- Tafsîr bi al-Ma’tsûr/ Manqûl
a.
Pengertian Tafsîr bi al-Ma’tsûr
Terkait dengan poin ini ada tiga istilah yang memiliki
makna sama dan dipakai dalam tingkat keseringan yang hampir sama pula, yaitu: bi
al-ma’tsûr, bi al-ma’qûl dan bi al-riwâyah. Kata bi al-ma’tsûr dipakai sebagai
antonim bi al-ra’yi, Kata bi al-manqûl/’naqli dipakai sebagai
antonim bi ma’qûl/aqli dan bi al-riwâyah dihadapkan dengan bi
al-dirâyah.
Tafsîr bi al-ma’tsûr secara bahasa
terdiri dari dua kata yaitu tafsîr[1] dan ma’tsûr.
Kata ma’tsûr merupakan isim maf’ûl dari kata أثراً
(atsran) dengan makna manqûl (sesuatu yang disampaikan
dari seseorang pada yang lainnya). Jika dikatakan أثر
الحديث maka maksudnya adalah نقله و رواه عن غيره
(menyampaikan atau meriwayatkannya dari orang lain).[2]
Sedangkanالأثر adalah الخبر المرويّ
و السنة الباقية (khabar yang diriwayatkan atau sunnah
berupa peninggalan)[3].
Di dalam Mu’jam al-Washît مأثور itu sendiri
diartikan dengan الحديث المروي، وما ورث الخلاف عن
السلاف (hadîts yang diriwayatkan, atau sesuatu yang diterima
orang belakangan/khalâf dari orang-orang terdahulu/salâf). Ini
juga sejalan dengan yang ditulis Ibn Manzhûr yaitu: يخبر الناس به بعضهم بعضا، أي ينقله خلاف عن سلاف (hadîts yang disampaikan antara sesama manusia atau sesuatu
yang diterima orang belakangan/khalâf dari orang-orang terdahulu/salâf).[4]
Maka مأثور dapat didefenisikan sebagai
istilah/penyebutan untuk sesuatu yang diterima khalâf dari salâf
baik berupa ilmu, hadîts, riwayat, dan lain sebagainya.
Jadi dinamai dengan nama ma’tsûr (dari kata atsâr
yang berarti sunnah,
hadîts,
jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri
jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Saw
Adapun manqûl merupakan berasal dari kata نقلا (نقل- ينقل-نقلا),
ما علم من طريق الرواية أو السماع yang berarti (sesuatu yang diketahui lewat cara periwayatan
atau proses mendengar)
Sedangkan secara terminologi tafsîr bi al-ma’tsûr
adalah sebagaimana yang didefenisikan para ahli berikut ini:
1)
Muhammad Husain al-Dzahabiy
ما جاء في
القرأن نفسه من البيان وتفصيل لبعض اياته، وما نقل عن الرسول الله صلى الله عليه
وسلم، وما نقل عن الصحابة رضوان الله عليهم، وما نقل عن التابعين, من كل ما هو
بيان وتوضيح لمراد الله تعالى من نصوص كتاب الكريم[5]
Artinya: Sesuatu yang berasal dari al-Qur’ân
berupa penjelasan atau uraian bagi sebahagian ayatnya, atau sesuatu yang
berasal dari Rasul (hadîts, penulis), atau
yang berasal dari para sahabat ra dan dari tabi’in, selama (semua itu)
berupa penjelasan atau uraian mengenai maksud Allâh Swt dari nash kitab al-Qur’ân.
ما جاء في القرأن، أو السنة,
أو كلام الصحابة، بيانا لمراد الله تعالى[8]
Artinya: Sesuatu yang berasal dari al-Qur’ân,
atau Sunnah maupun perkataan sahabat yang menjelaskan maksud Allâh Swt (di
dalam al-Qur’ân, penulis)
3)
Shalâh ‘abd al-Fattâh
al-Khâlidiy
ما روي عن الرسول الله صلى
الله عليه وسلم، او الصحابة، او التابعين، من رواية نقلية مروية في تفسير القرأن
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan
dari Nabi Saw, dari para sahabat atau tabi’in berupa riwayat yang terkait
dengan penafsiran al-Qur’ân
4)
Fahd ‘abd al-Rahmân Sulaimân
al-Rûmiy
التفسير بالمعثور هو التفسيرالذي يعتمد على صحيح المنقول والأثار الواردة في الاية فيذكرها،
ولا يجتهد فى بيان معنى من غير دليل, ويتوقف عما لا طائل تحته, ولا فائدة في معرفة
ما لم يرد فيه نقل صحيح
Artinya: Tafsîr bi al-ma’tsur adalah
tafsîr yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahîh atau atsâr yang datang sebagai penjelas ayat al-Qur’ân,
yang tidak akan menjelaskan makna tanpa adanya dalil, menghindarkan diri dari pembicaraan
yang tidak bermanfaat, selama tidak ada riwayat yang shahîh
tentang itu.
5) Menurut Mana’
al-Qatthân
التفسير بالمعثورهو الذي
يعتمد على صحيح المنقول...، من تفسير القرأن با القرأن، أو با لسنة لأنها جاءت
مبينة لكتاب الله، أو بما روي عن الصحابة لأنهم أعلم الناس بكتاب الله، أو بما
قاله كبار التابعين لأنهم تلقوا ذالك غالبا عن الصحابة[9]
Artinya: Tafsîr bi al-ma’sûr adalah tafsîr
yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahîh …, berupa tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân,
atau dengan Sunnah (karena Sunnah berfungsi sebagai penjelasan bagi kitab Allâh),
atau dengan riwayat yang berasal dari para sahabat (karena mereka termasuk
orang yang paling mengerti dengan kitab Allâh), atau dengan perkataan para tabi’in
besar, karena mereka senantiasa mendapatinya dari para sahabat.
Jika dicermati lima buah defenisi di atas, maka
terdapat beberapa persamaan, dan perbedaan. Tetapi meski demikian penulis dapat
merumuskan beberapa poin:
1)
Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah
tafsîr yang berdasarkan riwayat yang shahîh .
Terutama dengan defenisi yang disampaikan al-Rûmiy dan
Mana’ Khalîl al-Qaththan, mereka telah mewanti-wanti pendapat banyak kalangan
yang meragukan tafsîr bi al-ma’tsûr karena banyak dipengaruhi
oleh riwayat isrâiliyât dan riwayat yang dha’îf. Maka bagi mereka
sesuatu yang dikatakan dengan tafsîr bi al-ma’tsûr mestilah bersumber
dari riwayat yang shahîh .[10]
2)
Penafsiran Tafsîr bi al-ma’tsûr
dapat berupa al-Qur’ân, Sunnah dan perkataan sahabat.
3)
Khusus dengan perkataan tabi’in terdapat
perbedaan di kalangan ulama. Di antara ulama yang menganggap perkataan ulama
sebagai sumber tafsîr’ bi al-ma’tsûr adalah al-Dzahabiy dan
al-Khâlidiy serta mana’ Khalil al-Qatthan. Sedangkan al-Shabuniy dan al-Zarqani
cuma menjadikan al-Qur’ân, Sunnah dan perkataan sahabat sebagai
sumber tafsîr bi al-ma’tsûr.
4)
Di dalam tafsîr bi al-ma’tsûr
sangat dihindari pembahasan yang tidak terkait langsung dengan makna ayat,
serta pembahasan yang tidak memiliki dalil yang kuat. Ini sebagai mana yang
dijelaskan oleh al-Rûmiy.
Singkatnya tafsîr bi al-ma’tsûr adalah tafsîr
yang berdasarkan pada riwayat yang shahîh , berupa tafsîr
al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah, atau dengan
riwayat yang berasal dari para sahabat, serta menghindari pembicaraan yang
tidak terkait lansung dengan penafsiran, selama tidak ada riwayat yang shahîh
tentang itu.
b.
Sumber-sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
Di dalam menentukan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
para ulama berbeda pendapat, di antaranya al-Rûmiy menjadikan sumber tafsîr
be al-ma’tsûr itu menjadi 4 macam yaitu: al-Qur’ân, Sunnah
Nabi, Perkataan sahabat dan penafsiran tabi’in[11]. Al-Khâlidiy
menjadikan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr menjadi 5 macam –dengan
tidak memasukkan al-Qur’ân- yaitu: Hadîts Shahîh yang marfû’ kepada Nabi, Perkataan shahîh
sahabat yang terkait dengan
penafsiran ayat al-Qur’ân, Perkataan tabi’in yang shahîh ,
al-qirâ’ât al-syâdz dan al-qirâ’ât al-tafsîriah.
Berikut penulis jelaskan satu-persatu sumber-sumber tafsîr
bi al-ma’tsûr, yang merupakan gabungan dari beberapa pendapat ulama:
1)
Ayat al-Qur’ân
Maksudnya sesuatu ayat menjadi penjelas atau tafsîr
bagi ayat lainnya. Menurut al-Zarqaniy al-Qur’ân adalah sumber tafsîr
paling utama, mengingat Allâh adalah yang paling tahu dengan maksud ayat,
dibanding yang lainnya, dan sebenar-benar perkataan tentulah kitab Allâh.[12]
Tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân
dengan merupakan sebaik-baik tafsîr. Terkait dengan hal ini Ibn Taimiyah
berkata:
أصح الطرق
في ذالك أن يفسر القرأن بالقرأن، فما أجمل في مكان فانه قد فسّر في موضع اخر، وما
اختصر في مكان فقد بسط في موضع اخر...[13]
Artinya: Metode yang paling shahîh
dari cara menafsirkan Al-Qur'an adalah
menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Karena sesuatu yang mujmal di suatu
tempat (ayat), terkadang dijelaskan di tempat (ayat) lainnya. Apa yang
diringkas dalam suatu ayat, dirinci di tempat (ayat) yang lain…
Perkataan Ibn Taimiyah ini sangat benar, tetapi meski
demikian menurut penulis penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân
ini, tetap tidak tertutup akan kesalahan, karena bagaimanapun usaha menafsirkan
ayat dengan ayat juga membutuhkan ijtihâd dari seorang mufassir
(yaitu dalam menentukan mana ayat yang paling tepat menjadi tafsîr bagi
ayat tertentu). Jadi untuk menentukan sebuah ayat yang akan menjadi tafsîr
bagi ayat lain, mestilah seorang mufassir betul-betul memahami kedua
ayat, sehingga tidak salah di dalam pemahaman dan penafsiran.
Tepatnya –menurut penulis- penafsiran al-Qur’ân
dengan al-Qur’ân barulah dikatakan tafsîr terbaik, dan terhindar
dari kesalahan, jika penafsiran itu di dasarkan pada riwayat yang shahîh
pula. Seperti adanya riwayat yang menjelaskan jika Nabi atau para sahabat
memang menafsirkan sebuah ayat dengan ayat tertentu. Maka selama penafsiran itu
tidak bersumber dari riwayat yang betul-betul shahîh,
kemungkinan salah di dalam penafsiran tersebut tetap ada. Berdasarkan hal ini
pulalah, Makanya penulis sangat tertarik dengan defenisi tafsîr bi al-ma’tsûr
yang dituliskan al-Khâlidiy -ما روي عن الرسول الله صلى
الله عليه وسلم، او الصحابة، او التابعين، من رواية نقلية مروية في تفسير القرأن – yang tidak menjelaskan penafsiran al-Qur’ân
dengan al-Qur’ân sebagai salah satu bentuk tafsîr bi al-ma’tsûr,
karena memang di dalam menentukan sebuah ayat menjadi tafsîr bagi ayat
lain merupakan sebuah ijtihâd dari mufassir, dan bukan sebuah atsâr/manqûl.
Contoh penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân,
ungkapan (فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ) dalam firman Allâh QS. al-Baqarah:
37, dijelaskan lewat ayat lain, QS. al-A’raf: 23 berikut:
قَالَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا
لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Maka dapat dipahami bahwa كَلِمَاتٍ yang dimaksud di dalam surat al-Baqarah di
atas maksudnya adalah kalimat do’a yang terdapat di dalam surat al-A’raf tersebut.
2)
Hadîts Shahîh yang menjelaskan makna ayat al-Qur’ân.
Sebagaimana dimaklumi, salah satu fungsi hadîts
Nabi adalah sebagai penjelas bagi
ayat al-Qur’ân. Maka jalan utama mendapatkan pemahaman yang benar
terhadap kitab Allâh adalah dengan merujuk kepada hadîts Nabi Saw, ini sesuai dengan firman Allâh: بِالْبَيِّنَاتِ
وَالزُّبُرِوَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ
إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ “Dan Kami turunkan kepadamu
Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)[14]
Selain ayat ini Nabi juga pernah bersabda
اوتيت
الكتاب ومثله معه[15]
Artinya: “Ketahuilah aku telah
diberi Al-Qur'an dan yang semisalnya (yaitu Al-Sunnah) bersamanya.”
Satu hal yang mesti digarisbawahi adalah bahwa hadîts
Nabi yang dijadikan sumber tafsîr
bi al-ma’tsûr tersebut haruslah hadîts marfû’ yang shahîh,
bukan hadîts yang dha’îf,
apalagi hadîts yang palsu.
Untuk itu sangat dibutuhkan usaha men-takhrîj hadîts tersebut sebelum tergesa-gesa menjadikannya
sebagai sumber tafsîr. Di antara contoh tafsîr dengan hadîts
Nabi yang shahîh adalah penafsiran ayat al-Qur’ân surat
al-Baqarah: 22
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ dengan hadîts dari ‘abd Allâh yang bertanya kepada Nabi
terkait dosa besar, maka beliau menjawab: أن تجعل لله
ندا وهو خلقك[16]
3)
Perkataan Sahabat[17] yang
terkait dengan penafsiran ayat al-Qur’ân
Menjadikan perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr
bi al-ma’tsûr dengan alasan, mengingat para sahabat merupakan orang yang
lebih tahu dan menyaksikan bagaimana kondisi ayat al-Qur’ân tersebut
diturunkan, serta mereka memiliki
pemahaman yang sempurna terhadap makna ayat.[18] Alasan
lain adalah bahwa mereka adalah orang yang hari-harinya banyak bersama Rasul,
mengetahui asbâb al-nuzûl dan memiliki nilai lebih terkait fashahah
dan bayân.[19] Maka penafsiran sahabat berada pada posisi
kedua setelah hadîts Rasul.
Mengenai bagaimana pengetahuan sahabat terhadap ayat al-Qur’ân,
berikut penulis kemukakan beberapa perkataan ulama, termasuk perkataan sahabat
itu sendiri:
a)
Ibn Mas’ûd Berkata:
سلوني،
فو الذي لا إله غيره ما نزلت اية من كتاب الله تعالى إلا وأنا اعلم فيم نزلت، وأين
نزلت، ولو أعلم مكان أحد أعلم بكتاب الله مني تناله المطايا لأتيته[20]
Artinya: “Tanyakanlah kepadaku, demi
Allâh yang tidak ada Tuhan Selain Dia, Tidaklah sesuatu ayat yang diturunkan Allâh,
kecuali saya mengetahui bagaimana kondisi ayat itu turun dan di mana ayat itu
diturunkan. Jikalaulah Saya mengetahui ada seseorang di suatu tempat yang lebih
mengetahui kitab Allâh (al-Qur’ân) dibanding saya, niscaya saya akan menemuinya.”
b)
Abu ‘abd al-Rahmân al-Sullâmiy
berkata:
حدثنا
الذين كانوا يقرؤوننا القرأن، كعثمان ابن عفّان و عبد الله بن مسعود، انهم كانوا
إذا تعلموا من انبي صلي الله عليه و سلم عشر لم يجاوزها حتى يتعلم ما فيها من
العلم و العمل. قالوا: فتعلمنا القرأن
والعلم والعمل معا[21]
Artinya: “Telah meriwayatkan/ menceritakan
kepada kami mereka yang senantiasa mengajarkan al-Qur’ân kepada kami –yaitu
para sahabat Nabi seperti ‘Usmân ibn ‘Affân dan ‘abd Allâh in Mas’ûd,
bahwasanya jika mereka mempelajari 10 ayat al-Qur’ân dari Nabi, mereka tidak
akan menambah hingga mereka dapat mengetahui dan mengamalkannya, mereka
berkata: ‘Kami mempelajari al-Qur’ân, sekaligus mengetahui dan mengamalkannya”
Meski demikian para ulama juga tetap mewanti-wanti
bahwa perkataan sahabat yang dianggap sebagai tafsîr bi al-ma’tsûr
adalah perkataan mereka yang terkait dengan tafsîr dan diriwayatkan
dengan jalur sanad yang shahîh. Secara umum bentuk-bentuk penafsiran
sahabat itu adalah: menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân,
dengan Sunnah, dengan ungkapan/riwayat yang di-marfu’-kan kepada Nabi
tetapi tidak secara sharih, dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihâd
ataupun dengan pendapat sahabat lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka
dengan kondisi turunnya ayat.[22]
Di antara contoh perkataan sahabat di dalam tafsîr
adalah ketika Ibn ‘Abbâs menafsirkan ayat Allâh berikut:
وَلَا
تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ
Kata
تَعْضُلُوهُنّ beliau artikan dengan لاتقهروهنّ
[23]
4)
Perkataan Tabi’in terkait dengan
penafsiran ayat al-Qur’ân
Banyak para ulama yang menjadikan perkataan tabi’in
yang shahîh sebagai
sumber tafsîr bi al-ma’tsûr, mengingat para tabi’in
tersebut adalah murid para sahabat Nabi, yang paling memahami al-Qur’ân
setelah sahabat itu sendiri.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan kita
mengetahui bahwa al-Qur'ân telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in
dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang kebenaran
yang dibebankan Allâh kepada Rasûl Allâh untuk menyampaikannya.”[24]
Di antara tabi’in tersebut adalah Mujâhid bin
Jabir, Sa'id bin Jubair, Ikrimah, Atho' bin abi Rubah, Al-Hasan
Al-Bashri, Masrûq bin Al-Ajda', Sa'id bin Al-Musayyib, Abu 'Aliyah, Rhabi' bin
Anas, Qotadah, Adh-Dhahak bin Muzâhim dan lain-lainya.[25]
Berikut akan penulis kemukakan beberapa perkataan ulama
yang bisa dijadikan penguat bahwa perkataan tabi’in tersebut memang
sangat patut dijadikan sumber tafsîr:
-
Ibn Abi Malikah berkata:
Artinya: “Saya melihat Mujâhid
(seorang tabi’in, penulis) bertanya kepada Ibn ‘Abbâs mengenai tafsîr al-Qur’ân,
sehingga ibn ‘Abbâs berkata kepadanya, ‘Tulislah!’, Sehingga ia menanyakan
semuanya tentang tafsîr (kepada Ibn ‘Abbâs)”
-
Sufyân al-Tsauri berkata:
إذا جاءك التفسير عن
مجاهد فحسبك به
-
Mujâhid berkata:
عرضت المصاحف على ابن
عباس ثلاث عرضات، من فاتحة إلى خاتمته، أوقفه عند كل اية منها، وأسأله عنها فيما
أنزلت، وكيف أنزلت
Artinya: “Saya telah menyodorkan
mushhaf kepada Ibn ‘Abbâs sebanyak tiga kali –dari awal sampai akhir- maka saya
memperhatikan ayat perayatnya, dan saya bertanya kepadanya tentang bagaimana
kondisi dan dimana ayat itu diturunkan”[28]
Secara umum bentuk-bentuk penafsiran tabi’in
itu adalah: menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah,
dengan perkataan sahabat, dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihâd,
dengan pendapat tabi’in lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka
dengan kondisi masyarakat waktu turunnya ayat.[29]
Di antara contoh tafsîr yang berasal dari
perkataan tabi’in adalah perkataan Mujâhid terkait ayat Allâh di
dalam al-Naba’ “لَا يَرْجُونَ حِسَابًا” menurut Mujâhid berarti [30]لا يخافون حسابا
5)
Al-Qirâ’ât al-Syâdz
Al-Qirâ’ât al- Syâdz yaitu Qirâ’ât yang
dinisbahkan kepada imam-imam qurra’ dari kalangan tabi’in dan
tabi’ tabi’in yang tidak memenuhi syarat Qirâ’ât Shahîh
.[31]
Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan al-qirâ’ât syâdz adalah: ما لم يصح سنده
(Qirâ’ât yang sanadnya tidak shahîh ).[32]
Di antara yang termasuk al-qirâ’ât syâdz
tersebut adalah Qirâ’ât yang disandarkan kepada imam qurra’ yang empat
yaitu:
a)
Ibn Muhaishin, yaitu Muhammad ibn ‘abd
al-rahman al-Sahm al-makiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat Makkah
b)
Al-A’masy, yaitu Sulaiman ibn Mihran
al-Kûfiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat Kufah
c)
Hasan ibn Yasâr al-Bashriy, yaitu yang
merupakan imam qurra’ dari Bashrah
d)
Al-Yazidiy, yaitu Yahya ibn Mubârak
al-‘Adawiy al-Bashriy yang juga merupakan imam Qurra’ dari Bashrah.
Qirâ’ât yang empat ini, telah disepakati ulama
bahwa ia bukanlah al-Qur’ân, tetapi ini akan membantu di dalam
menafsirkan dan menjelaskan makna ayat. Dari sisi ini, al-qirâ’ât al-syâdz dapat digolongkan
sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr. Di antara ulama yang
menjadikan al-qirâ’ât al-syâdz sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
adalah Syaikh abd al-Fatâh al-Qâdhiy. Beliau mengungkapkan: “واذ قد علمت أنّ القراءة الشاذة لا
تجوز القراءة بها مطلقا، فاعلم انه يجوز تعلّمها و تعليمها، وتدوينها في الكتاب،
وبيان وجهها من حيث اللغة و الإعراب و المعنى، والإستنباط الأحكام الشرعية منها ”[33]
Di antara contoh al-qirâ’ât al-syâdz yang
dijadikan tafsîr bagi ayat Allâh adalah sebagai berikut: Firman Allâh
Surat al-Baqarah: 104
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا
انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dalam Qirâ’ât yang shahîh kata رَاعِنَا ditulis dengan tidak memakai tanwin.
Sehingga dipahami jika kata tersebut adalah fi’il amr dari kata راعي – يراعي,
yang fa’il-nya adalah dhamir mustatir yang takdir-nya
adalah أنت (kamu),
sedangkan ناadalah dhamir muttashil pada posisi
nashb sebagai maf’ul bihi (objek). Maka menurut Qirâ’ât yang shahîh kata رَاعِنَا berarti أمهلنا و
أنظرنا ولا تعجل علينا (tangguhkanlah/ tunggulah dan jangan segerakan atas
kami).
Namun di dalam Qirâ’ât yang syâdz –yaitunya
Qirâ’ât Ibn Muhaishin dan Hasan al-Bashriy- kata رَاعِنَا dibaca dengan tanwin yaitu رَاعِنًا.
Maka menurut Qirâ’ât ini kata رَاعِنًا merupakan shifat bagi mashdar
yang mahdzûf yang taqdir-nya adalah لا
تقول قولا راعنا
(janganlah kamu mengatakan perkataan yang râ’inan/kotor.
Jadi makna ayat ini adalah: “Allâh melarang
orang yang beriman untuk mengatakan perkataan yang kotor, dan menganjurkan
mereka untuk mengatakan perkataan yang baik lagi lembut.
Makna ayat ini telah benar, tetapi Qirâ’ât-nya
adalah syadz, dan Qirâ’ât tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
ayat al-Qur’ân.
6)
Al-Qirâ’ât al-Tafsîriyyah
Al-Qirâ’ât al-tafsîriyyah menurut sebahagian
ulama dikenal dengan istilah al-mudrâj. Menurut Mana’ Khalîl
al-Qaththan mudrâj adalah: ما زيد في القراءات
على وجه التفسير
(adanya penambahan [kata] di dalam Qirâ’ât yang berfungsi sebagai tafsîr).[34]
Dan pengertian lebih rinci –sebagai pengertian yang
penulis perpegangi- adalah pengertian yang diberikan oleh al-Khâlidiy, yaitu:
هي ما يضيفه بعض
الصحابة من بعض الكلمات، تفسيرا منه لبعض الأيات، وهم يعلمون أنها كلمات منهم،
وأنها ليست من القرأن
Artinya: al-qirâ’ât al-tafsîriyyah
adalah sebahagian kalimat atau kata yang dimasukkan oleh sahabat di dalam Qirâ’ât-nya
sebagai penjelasan bagi ayat tersebut, dan ia menyadari kalau kalimat tersebut
bukanlah ayat al-Qur’ân.
Jadi pada dasarnya –menurut penulis- menerima al-qirâ’ât
al-tafsîriyyah, sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsur adalah
menerima perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr. Maka al-qirâ’ât
al-tafsîriyyah inipun harus berasal dari jalur sanad yang shahîh
sebagaimana perkataan sahabat.
Berikut penulis kemukakan al-qirâ’ât al-tafsîriyyah
sebagai bentuk tafsîr dari
ayat al-Qur’ân, yaitu Qirâ’ât ibn ‘Abbâs yang diriwayatkan oleh Abu
‘abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl
bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhâriy[35] dan Abu
Dâwud Sulaimân ibn al-‘Asy’ats al-Sijistâniy al-Azdiy[36]
mengenai ayat Allâh لَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ , Ibn ‘Abbâs menambahkannya dengan kata
في مواسم الحج .[37]
c.
Posisi dan Hukum Tafsîr bi al-ma’tsûr
Tafsîr bi al-ma’tsûr merupakan sumber tafsîr
yang paling utama. Ini dapat dinilai demikian karena beberapa alasan di
antaranya: a. karena ia menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan ayat al-Qur’ân
yang lainnya, dan Allâh tentu lebih mengetahui maknanya b. karena ia
juga menafsirkan dengan hadîts Rasul
Allâh, dan sebagaimana dimaklumi beliau memang berfungsi untuk
menjelaskan al-Qur’ân, c atau karena menafsirkan dengan menggunakan atsâr
sahabat, yang mereka jelas telah menyaksikan turunnya al-Qur’ân dan
memahami kejadian-kejadian dan kondisi turunnya ayat tersebut.
Namun meski demikian, kesalahan-kesalahan masih
mungkin terjadi, diantaranya: kesalahan di dalam memahami makna suatu ayat yang
akan dijadikan tafsîr bagi ayat lain, kesalahan di dalam mengambil
riwayat yang ternyata tidak shahîh ataupun yang dipengaruhi oleh riwayat isrâiliyât,
dan berbagai bentuk kesalahan lainnya.
Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah yang
wajib diikuti dan diambil jika terbukti shahîh . Karena
terjaga dari penyelewengan makna kitab Allâh. Ibnu Jarîr berkata, “Ahli tafsîr
yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjah-nya
terhadap sesuatu yang dia tafsir-kan dengan dikembalikan tafsir-nya
kepada Rasûl Allâh dengan khabar-khabar yang tsâbit dari beliau
dan tidak keluar dari perkataan salâf.”
d.
Qaidah Tafsîr Terkait Tafsi bi
al-ma’tsur
Terkait dengan tafsîr bi al-ma’tsur
terdapat beberapa kaidah yang ditulis oleh al-Khâlidiy yaitu:
1)
تفسير القرأن
بالقرأن هو الأساس لما بعده من التفسير بالمعثور (tafsîr
al-Qur’ân dengan al-Qur’ân adalah dasar bagi tafsîr bi
al-ma’tsur selainnya)
2)
تفسير القرأن
بالسنة يلي تفسير القرأن باالقرأن في المنزلة والأهميتة (dari sisi
kedudukan dan arti pentingnya, tafsîr al-Qur’ân dengan Sunnah
berada setelah tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân)
Dari dua kaidah ini dapat dipahami bahwa tafsîr
yang paling utama adalah tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân (ini bisa
dalam bentuk bayân al-mujmâl, taqyîd al-muthlaq, takhshîh al-‘âm, bayân
al-mantuq dengan al-mafhûm,
dan berbagai bentuk lainnya), kemudian
al-Qur’ân dengan Sunnah.
3)
بيان الرسول الله
صلى الله عليه و سلم لأية و تفسيره لها مقدم على أي بيان وتفسير (Penjelasan dan
penafsiran Rasul terhadap suatu ayat diutamakan daripada penjelasan apapun)
Dari Kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila telah ada
keterangan Nabi terhadap makna suatu ayat, maka keterangan lain tidak dapat
diperpegangi jika menyalahi keterangan Nabi ini.
4)
قول الصحابة في
التفسير مقدم على قول من بعد (Pendapat sahabat mengenai tafsîr lebih
didahulukan dari pada pendapat orang-orang [belakangan] setelahnya.)
5)
قول التابعي في
التفسير مقدم على قول من بعد (Pendapat tabi’in mengenai tafsîr
lebih didahulukan dari pada pendapat orang-orang [belakangan] setelahnya.)
Kaidah 1, 2, 4 dan 5 di atas menjelaskan bahwa sumber tafsîr
yang paling utama adalah al-Qur’ân, kemudian al-Sunnah, kemudian qaul
al-shahabah dan kemudian qaul al-tabi’in. Maka penafsiran sunnah
pada dasarnya tidak boleh menyalahi al-Qur’ân, qaul al-shahabah tidak
boleh menyalahi sunnah, dan qaul al-tabi’in tidak boleh menyalahi
qaul al-shahabah serta pendapat mufassir berikutnya tidak boleh
menyalahi qaul al-tabi’in dan sumber tafsîr di atasnya.
6)
لا يؤخذ التفسير
بالمأثورالا بعد ثبوته و تخريجه (Tafsîr bi al-ma’tsur pada dasarnya tidak akan
digunakan kecuali setelah dipastikan [ke-shahîh-annya] dan
pen-takhrîj-annya)
Sesuai dengan kaidah ini, tafsîr bi al-ma’tsûr
haruslah dinilai kualitas sanadnya, sebagai mana hadîts Nabi yang lain. Menurut penulis, Kaidah ini
menjadi jawaban terhadap banyaknya kemungkinan yang menyebabkan lemahnya tafsîr
bi al-ma’tsur.[38]
7)
الجمع بين
الأقوال المختلفة عن الصحابة و التابعين (Perbedaan pendapat antara tabi’in
dan sahabat diselesaikan secara al-jam’u/kompromikan)
Berdasarkan kaidah ini dapat dipahami bahwa tafsîr
bi al-ma’tsur –antara perkataan sahabat dan tabi’în- selama
memiliki jalur sanad yang shahîh, tidak akan bertentangan, dan
yang ada hanyalah tanawwu’/fariasi penafsiran. Maka ketika ada perbedaan
diselesaikan dengan cara mengkompromikan keduanya, dan jika tidak bisa
dilakukan dengan tarjîh.
8)
عدم اعتماد
الإسرائيليات الا ما صح شاهده عندنا (isrâ’iliyât[39]
tidak dapat diperpegangi kecuali memiliki syahid yang shahîh )
Kaidah ini menunjukkan kehati-hatian para mufassir
terhadap cerita isrâiliyât. Dan ini merupakan wujud dari perwujudan hadîts
Nabi terkait ahli al-kitâb: لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبواهم، وقولوا أمنا با الله وما
أنزل علينا[40]
- Tafsîr bi al-Ra’yi/ al-Ma’qul
a.
Defenisi Tafsîr bi al-ra’yi
Secara bahasa kata الرأي merupakan mashdar dari kata رأى، يرى
yang di dalam pemakaiannya digunakan untuk penglihatan mata. Selain untuk
istilah penglihatan mata, ia juga dapat digunakan terkait dengan إعتقاد(keyakinan), تدبير (pandangan) dan تفكير
(pemikiran). Menurut Husain al-Dzahabiy juga dapat dipakai
untuk makna إجتهاد (ijtihâd) dan قياس (qiyas).[41] Selain
dengan istilah ra’yi, tafsîr ini juga dikenal dengan istilah ‘aqli atau
nazhri.
Disebut dengan tafsîr ‘aqli karena memang di
dalam penafsirannya, seorang mufassîr sangat memberdayakan akal dan
fikirannya. Sedangkan dinamakan dengan nazhri karena memang tafsîr
ini merupakan hasil dari penelitian yang mendalam.[42]
Sedangkan menurut Istilah terdapat beberapa defenisi
yang diberikan ulama yaitu:
1)
Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan
هو ما يعتمد فيه المفسر في بيان المعنى على فهمه ا
لخاص و ستنباطه با لرأي المجرد[43]
Artinya:Yaitu tafsîr yang mufassîrnya
di dalam menjelaskan makna hanya
mengandalkan pemahaman dan meng-istinbath-kannya dengan menggunakan logika
semata.
Kemudian Mana’ Khalîl al-Qaththan menambahkan
keterangan terkait defenisi ini. Menurutnya yang dimaksud logika semata adalah
logika yang pemahamannya tidak sejalan dengan nilai syari’at, dan
biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah.[44]
2)
Menurut al-Rûmiy
(هو) عبارة عن
تفسير القرأن بالإجتهاد[45]
Artinya: Yaitu istilah untuk
penafsiran al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd.
3)
Menurut al-Dzahabiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد، بعد معرفة المفسّر لكلام
العرب و مناحيهم في القول، ومعرفته للألفاظ العربية ووجوه دلالتها، واستعانته في
ذالك بالشعر الجاهلي، ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفته بالناسخ و المنسوخ من ايات
القرأن، وغير ذالك من الأدوات التي يحتاج اليه المفسر
Artinya: Yaitu istilah untuk penafsiran al-Qur’ân
dengan menggunakan ijtihâd, setelah seorang mufassîr tersebut menguasai kalam
Arab dan pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa Arab, dan wujuh dilalahnya,
serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir Arab jahiliyah, asbâb al-nuzûl,
mengetahui nâsikh dan mansûkh, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh para mufassîr
4)
Menurut al-Shabûniy
...يعتمد على إجتهاده
المبني على اصول الصحيحة، وقواعد سليمة متبعة[46]
Artinya: Yaitu tafsîr dengan menggunakan ijtihâd,
yang dibangun atas dasar yang shahîh serta ka’idah yang benar dan patut diikuti
Jika kita mencermati defenisi demi defenisi, antara
satu defenisi dengan lainnya tidak ada yang sama. Menurut penulis defenisi
pertama tidak bisa dikatakan sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi,
dan tepatnya itu merupakan defenisi tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm
(yang tercela), sedangkan defenisi yang ke tiga dan yang ke empat, itupun tidak
bisa dikatakan sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi, dan itu hanya
dapat dikatakan sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd
(terpuji). Maka defenisi tafsîr bi al-ra’yi yang tepat –menurut
penulis adalah defenisi yang diberikan oleh al-Rûmiy.
Singkatnya, tafsîr bi al-ra’yi dapat
diartikan dengan penafsiran al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd,
baik berangkat dengan menggunakan ilmu yang terkait dengannya, maupun hanya
dengan logika semata.
Berangkat dari defenisi, maka tafsîr bi al-ra’yi
dapat dibagi menjadi dua yaitu: tafsîr bi al-ra’yi al-mazmûm dan tafsîr
bi al-ra’yi al-mahmûd
Tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm adalah usaha
menafsirkan al-Qur’ân tanpa memiliki dasar ilmu, Cuma memperturutkan
nafsu, atau justru dilakukan oleh orang yang tidak mengerti kaidah bahasa dan syari’at,
dan berbagai motif-motif lainnya. Sedangkan tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd adalah
tafsîr bi al-ra’yi yang sesuai dengan tujuan syari’at dan terjauh
dari kebodohan dan kesesatan, atau sesuai dengan defenisi yang disampaikan
al-Dzahabiy dan al-Shabûniy.[47]
Terkait dengan tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm ada
beberapa riwayat yang mencelanya, di antara riwayat yang paling masyhûr di
lingkungan disiplin ‘Ulûm al-Qur’ân adalah hadîts berikut:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار, ومن قال في
القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار [48]
Terkait dengan hadîts ini maka ibn ‘Abbâs menafsirkannya dengan dua
buah penafsiran yaitu: من قال في مشكل القرأن بما لا
يعرف من مذهب الصحابة و التابعين فهو متعرض لسخة الله[49] dan
من قال في القرأن قولا
يعلم أن الحق غيره فليتبوأ مقعده من النار[50]
b.
Pandangan Ulama Tentang Kebolehan Tafsîr
bi al-Ra’yi
Ulama berbeda pandangan mengenai kedudukan tafsîr bi
al-ra’yi. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang membolehkan secara
mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan memberikan persyaratan.
Masing-masing mereka mengemukakan argumen sebagai penguat pendapatnya, baik aqli’,
maupun naqli. Adapun alasan yang dipakai oleh mereka yang menolak tafsîr
bi al-ra’yi adalah: [51]
1)
Menurut mereka tafsîr bi al-ra’yi sama halnya dengan perkataan terhadap Allâh
tanpa memiliki ilmu, dan hal itu dicela oleh ayat al-Qur’ân.[52]
2)
Allâh telah menobatkan Rasul-Nya sebagai
penjelas al-Qur’ân,[53] itu
artinya –menurut mereka- tidak boleh bagi yang lain untuk menafsirkan al-Qur’ân
dengan logikanya.[54]
3)
Rasul telah melarang untuk menafsirkan al-Qur’ân
dengan logika (tafsîr bi al-ra’yi), sebagaimana yang terdapat dalam hadîts
di atas.[55]
4)
Adanya atsâr yang menjelaskan
bahwa sahabat dan tabi’in sangat memuliakan tafsîr dan merasa
keberatan berpendapat –dengan ra’yi- di dalam tafsîr.[56]
Adapun
alasan yang dipakai oleh mereka yang membolehkan tafsîr bi al-ra’yi adalah: [57]
1)
Adanya perintah Allâh untuk men-tadabbur
al-Qur’ân, yang berarti menyuruh untuk menela’ahnya dengan memberdayakan
akal.[58]
2)
Allâh telah memuji orang-orang yang meng-istinbath-kan
makna dan dilalah ayat, mereka adalah ulu al-Albâb, mereka adalah
orang yang ber-ijtihâd di dalam menafsirkan al-Qur’ân dengan ra’yi-nya.[59]
3)
Menurut mereka jika tafsîr bi al-ra’yi
memang dilarang, bagaimana mungkin ijtihâd dibolehkan.
4)
Adanya do’a Nabi untuk ibn ‘Abbâs
: “ اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل ”. Jadi bagaimana mungkin tafsîr bi
al-ra’yi dilarang, padahal di sisi lain justru Nabi mendo’akan ibn ‘Abbâs
dengan do’a ini[60]
5)
Kenyataan yang menunjukkan adanya
perbedaan penafsiran di kalangan sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran
mereka juga berasal dari ijtihâd mereka.[61]
Terlepas dari kedua kelompok di atas, al-Dzahabiy dan
‘Allâmah al-Râghib al-Ashfahâniy berpendapat bahwa tafsîr bi al-ra’yi
dibolehkan selama sesuai dengan al-Qur’ân dan Sunnah serta menjaga
syarat-syarat tafsîr,[62] Begitu
pula halnya dengan pendapat Ibn Taimiyah[63] dan
al-Zarqâniy.
Dan terkait dengan kebolehan tafsîr bi al-ra’yi,
kemudian al-Zarqâniy mengemukakan langkah kerja yang harus ditempuh oleh mereka
yang menafsirkan al-Qur’ân dengan tafsîr bi al-ra’yi ini yaitu:
1)
Meng-istinbat-kan maknanya dari
al-Qur’ân, hadîts, atau
perkataan sahabat maupun tabi’in.
2)
Jika tidak ditemukan, maka mesti
berijtihad dengan langkah: a. Dimulai dari
pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi sharf dan
isytiqâq, b. Mencari makna kalam sesuai susunannya yang terkait
dengan i’râb dan balaghah, c. Mendahulukan makna haqîqi
dari pada majâzi, d.
Memperhatikan asbâb al-nuzûl, d. Menjaga maksud dari siyâq al-kalam, e.
Memperhatikan sâbiq dan lâhiq, baik dalam satu ayat, maupun antar
ayat, f. Menyesuaikan antara tafsir dengan yang di-tafsîr-kan, g.
Menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, termasuk dengan sejarah
bangsa arab waktu ayat itu turun, h. Menyesuaikannya dengan sejarah Nabi dan
yang terakhir mampu menjelaskan makna dan meng-istinbat-kan hukum
darinya.[64]
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
Dari Pembahasan singkat
mengenai sumber-sumber tafsir ini dapat disimpulkan beberapa poin yaitu:
a. Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah tafsîr berdasarkan riwayat-riwayat
yang diterima, baik dari Nabi, sahabat
maupun tabi’în Sedangkan tafsîr bi al-ra'yi adalah tafsir
dengan cara ijtihad.
b. Syarat diterimanya tafsîr bi al-ma’tsûr adalah riwayat tersebut merupakan riwayat
yang shahîh Sedangkan tafsîr bi al-ra'yi, tafsîr tersebut
harus dibangun atas dasar yang shahîh
dan ka'idah yang benar, seperti kaidah
bahasa, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan mufassir, serta
terhindar dari pengaruh nafsu dan bid'ah.
c. Tafsîr bi al-ma’tsûr yang
shahîh memiki kedudukan yang lebih utama dibanding tafsîr bi al-ra’yi, namun kedudukan
ini tidak berarti menghalangi mufassir
untuk memakai ijtihad/ al-ra'yi,
yaitu selama ra’yi tersebut tidak bertentangan dengan penafsiran yang dimaksud tafsîr bi al-ma’tsûr yang shahîh
2.
Saran-saran
Mengingat penulis hanya banyak merujuk kepada kitab Ta’rîf
al-Dârisîn bi Manâhij
al-Mufassirîn dan Tafsîr wa
al-Mufassirûn, maka demi kesempurnaan pemahaman kita terkait sumber tafsir ini, make penulis mengharapkan
kepada kita semua untuk dapat
merujuk kepada kitab-kitab yang mu tamad lain seperti, alItqân
fl ‘Ulûm al-Qur'ân dan Muqaddimah fi Usûl al-Tafsîr, serta
kitab-kitab lainnya
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Bukhâriy, Abu ‘abd Allâh
Muhammad ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin
Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad
al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi
wa Ayyâmihi, Qahirah: Maktabah Salafiyah, 1400 h
Baidan, Nasruddin, Metode
Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Al-Damîniy, Musfir ‘Azm Allâh, Maqâyis Naqdi Mutun
al-Sunnah, Riyad: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyah, 1984
Al-Dzahabiy, Muhammad
Husain, al-Tafsîr wa all-Mufassirûn, Qahirah: Maktabah al-Wahbah, 1995
Haqqiy, Muhammad Shafa Ibrâhîm, ‘Ulûm
al-Qur’ân min Khilâl Muqaddimah al-Tafsîr, Beirut: Maktabah al-Risâlah,
2004
Al-Khâlidiy, Shâlah abd
al-Fattâh, Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, Damaskus: Dar
al-Qalam, 2002
Ibn Manzhûr, Lisân
al-‘Arâb, Qahirah, Dar al-Ma’arif, [t.th]
Al-Qaththân, Mana’ Khalîl, Mabâhits fi ‘Ulûm
al-Qur’ân, [t.kt]: Mansyûrât al-Ashr al-Hadîts, 1973
Al-Rûmiy, Fahd ibn ‘abd
al-Rahmân ibn Sulaimân, Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu,
Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 h
Al-Sabtiy, Khâlid ‘Usmân, Qawâ’id
al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, Su’udiyah: Dar Ibn ‘Affân, 1997
Al-Shabûniy, Muhammad
‘Aliy, Al-Tibyân fi ‘Ulum al-Qur’ân, Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,
2003
Ibn Shalâh, Abiy ‘Amru
‘Usmân ibn ‘abd al-Rahmân al-Syahrazûriy, ‘Ulum al-Hadîts li Ibn al-Shalâh,
Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1991
Al-Zarkâsyi, Al-Imâm Badr
al-Dîn Muhammad ibn ‘abd Allâh, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’aîn, Qahirah:
Dar al-Turâts, 1984

[1]
Sebagaimana dimaklumi, istilah ini telah dibahas pada makalah sebelumnya baik
dari segi kebahasaan, maupun secara istilah.
[2]
Sebagaimana yang dikutip oleh Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy dari Mu’jam
al-Washît. Lebih lanjut lihat Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy (selanjutnya
disebut dengan al-Khâlidiy), Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus:
Dar al-Qalam, 2002), h. 199
[3] di dalam
lisan al-‘Arab diartikan dengan الخبر (sesuatu yang
disampaikan), lihat. Ibn manzhur, Lisan al-Arab, (Qahirah, Dar al-Ma’arif,
[t.th]), h. 25
[4] Ibn Manzhur, Ibid
[5] Muhammad
Husain al-Dzahabiy, al-Tafsîr wal-Mufassirûn, (Qahirah: Maktabah
al-Wahbah, 1995), Jilid II, h. 163, Defenisi ini juga dirujuk oleh Muhammad
Shafa Ibrâhîm Haqqiy, sehingga ia mendefenisikannya sebagai berikut:
المقصود
من التفسير باالأثر تفسير القرأن بالقرأن ، تفسير القرأن بما نقل عن الرسول الله
صلى الله عليه وسلم اي سنة، واقوال
الصحابة وما ثبت عنهم، وباقوال التابعين
Muhammad Shafa
Ibrâhîm Haqqiy, ‘Ulûm al-Qur’ân min Khilâl Muqaddimah al-Tafsîr, (Beirut:
Maktabah al-Risâlah, 2004), juz. III, h. 227
[6]
Selanjutnya di tulis dengan al-Zarqâniy
[7]
Selanjutnya di tulis dengan al-Shabûniy
[8] Lihat
Muhammad abd al-‘Azhim al-Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut:
Dar al-Kitâb al-‘Arabiy, 1995), Juz. II, h. 12, atau lihat juga Muhammad ‘Aliy al-Shabûniy, Al-Tibyân fi
‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 67
[9] Mana’
Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, ([t.kt]: Mansyûrât
al-‘Ashr al-Hadîts, 1973) h. 347
[10] Hal ini
pulalah nantinya yang sangat ditekankan oleh al-Khalidi ketika membahas
mengenai sumber-sumber tafsir bi al-ma’tsur. Ini akan penulis jabarkan pada
poin berikutnya.
[11]
Al-Rumiy, Op cit, h. 73-78
[12] Lihat
al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, Op Cit, h. 13
[13]
Al-Rumiy, Op cit, h. loc Cit
[14] Meski
al-Khalidiy memposisikan al-sunnah sebagai sumber tafsir bi al-ma’tsur yang
pertama, namun Ibn Taimiyah memposisikannya sebagai sumber kedua setelah
al-Qur’an. Ini Tampak dari ungkapan beliau berikut ini:
فإن أعياك ذالك- تفسير القرأن بالقرأن-
فعليك بالسنة، فإنها شارحة للقرأن و موضحة له
Kalau hal ini menyulitkanmu
–tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an-, maka wajib bagimu mencarinya dalam sunnah
Rasulullah, karena sunnah adalah pemberi keterangan Al-Qur'an dan penjelas
baginya. Al-Imâm Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘abd Allah al-Zarkhâsyi, al-Burhân
fi ‘Ulûm al-Qur’aîn, (Qahirah: Dar al-Turats, 1984), Cet. III, Jilid. II,
h. 167
[15] Musfir
‘Azm Allâh al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, (Riyad: Jâmi’ah
Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1984), h. 117
[16] Abu
‘abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’îl bin
Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhâriy (selanjutnya
ditulis dengan al-Bukhâriy) , Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min
Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi, (Qahirah:
Maktabah Salafiyah, 1400 h), Juz. III, h. 190-191
[17] Di
antara defenisi sahabat yang diberikan
ulama adalah: من لقي النبي صلى الله عليه و سلم مؤمنا
به، ومات . على الإسلام. Lihat Khâlid ‘Usmân al-Sabtiy, Qawâ’id
al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, (Su’udiyah: Dar Ibn ‘Affân, 1997), Jilid. I,
h. 158. Sebagai perbandingan Lihat Abiy ‘Amru ‘Usmân ibn ‘abd al-Rahmân
al-Syahrazûriy (Ibn Shalâh), ‘Ulum al-Hadits li Ibn al-Shalâh,
(Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1991), h. 263
[18] Ibid,
Terkait dengan ini Ibn Taimiyah berkata: “Wajib diketahui bahwa Nabi telah
menjelaskan makna-makna Al-Qur'an kepada para sahabat sebagaimana telah
menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka”
[19]
Al-Shabûniy, Op Cit, h. 70
[20]
Al-Khâlidiy, Op Cit, h. 201
[21] Ibid
[22] Ibid,
h. 212
[23] Al-Bukhâriy,
Op Cit, Juz. III, h. 216
[24] Al-Rûmiy,
Op Cit, h. 78
[25] Ibid
[26]
Al-Khalidiy, h. 203
[27] Ibid
[28] Ibid
, Lihat juga al-Shabûniy, Op Cit, h. 78
[29] Ibid,
h. 213
[30] Al-Bukhâriy, Op Cit, h. 320
[31] Di
antara syarat qira’at yang shahih itu ada tiga yaitu: Memiliki jalur sanad yang
shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak menyalahi rasm
al-‘Usmaniy
[32] Mana’
al-Qaththan, Op Cit, h. 178
[33] Dan
sungguh telah diketahui bahwa al-qirâ’ât
al-syâdz, tidak boleh membaca (al-Qur’an) dengannya, tetapi
ketahuilah bahwa ia boleh dipelajari dan diajarkan, begitu juga membukukannya
ke dalam sebuah kitab, atau menjelaskannya dari sudut pandang bahasa, i’rab dan
makna, serta meng-istinbath-kan hukum syar’i darinya. Lihat
al-Khâlidiy, h. 204
[34] Mana’
Khalîl al-Qaththân, Loc Cit
[35] Beliau
masyhur dengan sebutan Imam al-Bukhâriy, pengarang kitab jami’ al-Shahih/
shahih al-Bukhâriy
[36] Beliau
lebih masyhur dengan sebutan abu Dâwud yang pengarang kitab Sunan
abiy Dâwud.
[37]
Al-Khâlidiy, h. 206-207
[38] Menurut
al-Shabûniy, ada 4 sebab yang menyebabkan dha’îf-nya tafsir bi
al-ma’tsûr yaitu: a. Tercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang
tidak, b. adanya riwayat isrâ’iliyat, c. adanya usaha kelompok mazhab
yang menisbahkan perkataan/pendapat mereka kepada para sahabat nabi, dan d.
Adanya usaha dari kaum zindiq untuk merusak agama dengan menisbahkan perkataan
dusta kepada nabi dan para sahabat ataupun tabi’in. Al-Shabûniy, Op Cit,
h. 70-71
[39]
Isrâiliyât adalah istilah yang diberikan ulama untuk riwayat atau kisah masa
lalu yang tidak berasal dari Islam, tetapi justru didapatkan dari berita ahl
al-kitab (Yahudi dan Nasrani), Al-Khâlidiy, Op Cit, h. 218
[40] Hadits riwayat al-Bukhâriy
dari Abi Hurairah, lihat Al-Khâlidiy, Ibid
[41] Ibid,
h. 413
[42] Ibid, h. 41
[43] Mana’
Khalîl al-Qaththân, Op Cit, h. 351
[44] Ibid
[45]
Al-Rumiy, Op Cit, h. 78
[46]
Al-Shabûniy, Op Cit, h. 155, pada keterangan selanjutnya beliau mengatakan bahwa al-Ra’yi
yang dimaksud oleh defenisi ini bukan al-Ra’yi/logika semata dan bukan pula
bermakna hawa nafsu.
[47] Lihat
Al-Shabûniy, Op Cit, h. 157
[48] Selain hadits ini juga ada hadits
lain yang tidak kalah celaannya terhadap tafsir bi al-ra’yi al-madzmûm ini yaitu
hadits riwayat abu Dâwud berikut:
من قال في القرأن برأيه فأصاب فقد اخطأ
Menurut al-Qurthûbiy yang
dimaksud dengan al-ra’yihi di dalam hadits ini adalah hawa nafsu. Maka
meskipun di dalam memaknai suatu ayat ia betul, maka tetap saja dianggap salah.
Dan menurut ibn ‘Atiyah, jika penafsiran tersebut berangkat dari kaidah
kebahasaan -seperti nahu- ataupun kaidah fiqih, -meskipun tidak merujuk
kepada penafsiran ulama-, maka ini tidak termasuk ke dalam maksud hadits di
atas. Ibid, h. 156
[49] Siapa
yang membahas mengenai musykil al-Qur’ân, dengan yang tidak ia ketahui
dari mazhab sahabat dan tabi’in, maka dia telah berhadapan dengan
kemarahan Allah.
[50] Siapa yang berpendapat dengan sebuah pendapat
terkait dengan al-Qur’an, padahal ia mengetahui pendapat orang lain lebih benar
darinya, maka bersiap-siaplah dengan tempat dari api neraka.
[51] Lebih
rincinya lihat al-Dzahabiy, Op cit, h. 266-269 atau al-Khâlidiy, Op Cit, h. 415-416
[52] Adapun
ayat yang dimaksud adalah QS. Al-Isrâ’: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
[53]
Sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Al-Nahl: 44
[54] Mereka
yang membolehkan tafsîr bi al-ra’yi mengatakan bahwa apa yang
disampaikan ini ada benarnya, tetapi nabi sendiri telah meninggal, sementara
tidak seluruh ayat yang beliau jelaskan. Ibid, h. 267
[55] Bagi
mereka yang membolehkan tafsîr bi al-ra’yi menjawab argumentasi ini dengan mengemukakan
keterangan sebagai berikut:
a. Bahwasanya larangan yang dimaksud hadits, adalah tafsir mengenai musykil
al-qur’an atau ayat-ayat mutasyâbih yang tidak mungkin diketahui kecuali
dengan dalil naqli
b. Bahwasanya yang dimaksud dengan “al-ra’yi” adalah logika tanpa
dalil yang jelas.
c. Bahwasanya larangan tersebut terkait bagi mereka yang menafsirkan al-qur’an
dari sisi lahiriah bahasa, dan mengabaikan akhbâr al-shahâbah. h.
268
[56]
Dijelaskan di dalam sebuah riwayat dari Abi Malikah, bahwa Abu Bakr al-Shiddîq
pernah ditanya tentang tafsir suatu kata dari ayat al-Qur’an. Namun beliau
merasa keberatan untuk menjawabnya dengan mengatakan: أي
سماء تظلني، وأي أرض تقلني، و أين أذهب، وكيف أصنع إذا قلت في حرف من كتاب الله
بغير ما أراد تبارك تعالى dan selain riwayat ini juga banyak riwayat
lain yang menjelaskan sikap sahabat lainnya yang merasa keberatan di dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an, lebih jelasnya lihat Al-Dzahabiy, Ibid, h.
269-270
[57] Lebih
rincinya lihat Ibid, h. 271-272
atau al-Khâlidiy, Op Cit, h. 416
[58] Ibid,
Adapun ayat yang dimaksud di antaranya adalah QS. Muhammad: 24
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ
عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
[59] Ibid,
Di antara ayat yang mereka maksud adalah QS. al-Nisâ’: 83.
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى
أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
[60]
Dijelaskan di dalam sebuah riwayat dari Abi Malikah, bahwa Abu Bakr al-Shiddîq
pernah ditanya tentang tafsir suatu kata dari ayat al-Qur’an. Namun beliau
merasa keberatan untuk menjawabnya dengan mengatakan: أي
سماء تظلني، وأي أرض تقلني، و أين أذهب، وكيف أصنع إذا قلت في حرف من كتاب الله
بغير ما أراد تبارك تعالى dan selain riwayat ini juga banyak riwayat
lain yang menjelaskan sikap sahabat lainnya yang merasa keberatan di dalam
menafsirkan ayat al-Qur’an, lebih jelasnya lihat Al-Dzahabiy, Ibid, h.
269-270
[61]
Al-Rûmiy, Op Cit, h. 80
[62]
Al-Dzahabiy, loc Cit
[63]
Al-Rûmiy, Loc Cit
[64] Lihat
al-Zarqâni, Op Cit. h. 67-68