Rabu, 02 November 2011

KONFIRMASI HADÎTS AHÂD DENGAN AL-QUR’ÂN SUNNAH AL-MUSYHÛRAH DAN ‘UMÛM AL-BALWA


KONFIRMASI HADÎTS AHÂD DENGAN AL-QUR’ÂN
SUNNAH AL-MUSYHÛRAH DAN ‘UMÛM AL-BALWA

A.    Pendahuluan
Untuk menentukan diterima atau tidaknya sebuah hadits, ulama hadîts telah menetapkan kaidah-kaidah ke-shahîh-annya. Di mana semua itu telah dituangkan secara rinci dalam pembahasan-pembahasan ilmu musthalah al-hadîts. Namun belakangan, para fuqaha yang berkepentingan menggunakan hadîts sebagai sumber hukum, tidak berhenti pada pengujian yang ditetapkan oleh muhadditsin. Mereka menambah beberapa kriteria pengujian lagi sehingga hadîts betul-betul diyakini sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi dan dapat dijadikan sebagai hujjah serta diamalkan. Di antara pengujian tersebut adalah mengkonfirmasikan hadîts Nabi dengan al-Qur’ân, sunnah masyhûrah dan ‘umum al-balwa.
Di dalam makalah ini penulis akan mencoba mengupas secara singkat terkait persoalan ini yang meliputi: Bagaimana pandangan ulama (muhaddits dan fuqaha’) mengenai konfirmasi hadîts dengan ketiga hal di atas, Dalil-dalil yang dipakai para ulama terkait dengan pendapatnya, serta contoh praktis mereka di dalam mengkonfirmasikan hadîts tersebut.
B.     Konfirmasi Hadîts dengan Al Qur’an
  1. Pandangan Muhaddits terhadap Konfirmasi Hadîts dengan Al Qur’an
Adapun kaidah yang dipakai muhadîts mengenai hal ini adalah: “Penilaian terhadap matan hadîts, jika matan tersebut bertentangan atau menyalahi al-Qur’ân –di mana tidak mungkin ditempuh jalan untuk mengkompromikan, atau jalan untuk naskh, karena tidak diketahui mana riwayat yang datang lebih dahulu dan yang datang kemudian-, maka hadîts-nya ditolak serta dihukum dha’îf  atau maudhû’[1]
Adapun dalil yang mereka pakai terkait dengan kaidah ini adalah sebagai berikut:
a.       Hadîts
اذا حدثتم عني حديثا فاعرضواه على كتاب الله تعالى, ان وافق فاقبلوه, وان خالف فردوه[2]
Artinya: “Jika kalian menerima sebuah hadîts diriku, maka bandingkanlah dengan al-Qur’ân/ kitab Allâh SWT. Jika dia bersesuaian dengan al-Qur’ân maka terimalah, tetapi jika ia menyalahi maka janganlah diterima”.
Tetapi Imam Al-Khithâbiy membantah hadîts ini dan menilainya sebagai hadîts maudhû’ yang dibuat-buat kaum Zindiq. Menurutnya hadîts ini menyalahi hadits berikut ini:
اوتيت الكتاب ومثله معه[3]
Artinya : “ Kamu di beri kitab  serta sesuatu yang semisalnya (Sunnah).
Pendapat Al-Khithâbiy ini kemudian dikuatkan dengan pendapat Al-Syaukâniy, di mana menurutnya hadîts di atas adalah maudhû’ dan di tolak dengan alasan menyalahi al-Qur’ân Surat al-Hasyr ayat 7:
وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh amat keras hukumannya.
Jika dicermati pendapat al-Syaukâniy di atas meskipun ia menolak hadîts di atas, tetapi secara tidak langsung ia tetap menerima konfirmasi hadîts dengan al-Qur’ân, karena secara tidak langsung ia membatalkan hadîts tersebut juga dengan ayat al-Qur’ân
b.      Al-Qur’ân
Yaitu firman Allâh di dalam Surat al-Hâqqah ayat 44-47
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ . لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ. ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ. فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
Artinya: Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.

Jadi pada dasarnya sesuatu yang disampaikan Rasul Allâh selalu sejalan dengan al-Qur’ân karena pada hakekatnya sesuatu yang berasal dari Rasul pun adalah berasal dari Allâh, dan nabi tidak akan mungkin menyalahi Allâh. Maka ketika suatu perkataan menyalahi al-Qur’ân, niscaya perkataan itu bukanlah perkataan Rasul Allâh.
Dari kaidah yang dipakai ulama hadîts di atas, satu hal yang mesti digarisbawahi, bahwa ulama tidak mau tergesa-gesa di dalam menilai dha’îf  atau Maudhû’ sebuah hadîts. Mengingat mereka meyakini fungsi atau kedudukan hadîts tersebut terhadap kitab suci al-Qur’ân. Di antara fungsi Sunnah terhadap al-Qur’ân itu adalah: Sebagai bayân (penjelasan) al-Qur’ân, baik itu bayân takhshîs terhadap lafaz ‘umum ayat, bayân taqyîd terhadap yang muthlâq dari ayat, bayân tafshîl terhadap sesuatu yang mujmal, bayân naskh, maupun bayân tasyri’[4]
Maka boleh jadi sesuatu hadîts yang pada awalnya dianggap menyalahi al-Qur’ân, dapat dikompromikan, atau dipandang sebagai pen-takhshis sesuatu yang ‘umum, menjelaskan sesuatu yang global, menasakh jika ia datang kemudian. Tetapi jika tidak bisa diselesaikan dengan salah satu dari beberapa pendekatan di atas, barulah dapat dinilai dha’îf  maupun maudhû’. Di antara ulama hadîts yang dengan jelas menggunakan al-Qur’ân sebagai penguji hadîts ahâd adalah Ibn Jauziy.[5]
  1. Pandangan Fuqaha’ mengenai Konfirmasi Hadîts dengan Al-Qur’ân
Mengenai konfirmasi hadîts dengan al-Qur’ân terdapat perbedaan pandangan di antara ulama Fiqh, terutama antara Abu Hanifah bersama aliran Hanafiyah dengan Imam al-Syâfi’i bersama penerusnya.
Bagi Abu Hanifah, hadîts yang menyalahi al-Qur’ân menunjukkan bahwa hadîts itu bukanlah berasal dari nabi. Menurutnya, menolak hadîts ahâd  yang menyalahi al-Qur’ân tersebut tidak dapat diartikan sebagai sikap pengingkaran terhadap beliau, tetapi itulah bukti iman yang benar terhadap nabi dan terhadap al-Qur’ân, karena seorang nabi tidak akan mungkin mengatakan sesuatu yang jelek (menyalahi al-Qur’ân), jika nabi melakukan hal itu tentulah Allâh akan menghukum beliau (sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur’ân Surat al-Haqqah: 44-47 di atas.[6]
Pendapat Abu Hanifah ini juga diikuti oleh ulama Hanafiyah.[7] Ini tampak dari pernyataan al-Syarkhâsiy yang mengatakan bahwa kewajiban beramal dengan hadîts ahâd selagi tidak ada nash selainnya.  Dan ia akan menjadi tertolak jika bertentangan dengan al-Kitab (al-Qur’ân ataupun Sunnah masyhûr), beliau mengistilahkan khabar[8] ahâd yang menyalahi al-Qur’ân atau Sunnah tersebut sebagai khabar yang gharîb atau sadz.[9] Di dalam pembahasan lebih rincinya beliau mengistilahkan dengan munqati’ bâtin.[10] Adapun alasan yang dikemukan oleh al-Syarkhâsiy adalah bahwa al-Qur’ân sifatnya adalah qat’i, sedangkan kebersambungan hadîts ahâd sifatnya masih dzhanniy/dikeragui, jadi ketika keduanya bertentangan, tentulah yang paling logis adalah menolak yang meragukan karena ada yang meyakinkan, dan tidak mungkin sebaliknya.[11]
Untuk menguatkan pendapatnya Hanafiyah menggunakan dalil Naqli dan ‘aqli di antaranya:
a.       Hadîts Nabi yang semakna dengan riwayat Abi Hurairah
تكثر الأحاديث لكم بعدي فاذا روي لكم عني حديثا فاعرضواه على كتاب الله تعالى, فما وافقه فاقبلوه واعلموا انه مني, وما خالفه فردوه واعلموا اني منه بريء
b.      Hadîts riwayat dari Jabir ibn Mut’im
ما حدثتم عني مما تعرفون فصدقوابه, وما حدثتم عني مما تنكرون فلا تصدقوا, فاني لا أقول المنكر
c.       Hadîts riwayat dari ‘Âisyah
ما بال أناس يشترطون شرطا ليس في كتاب الله , من اشترط شرطا ليس في كتاب الله تعالى فهوباطل, وان اشترط مائة شرط, شرط الله أحق واوثق
d.      Merupakan sebuah perbuatan bid’ah dan memperturutkan hawa nafsu jika harus mengikuti sesuatu khabar ahâd yang bertentangan dengan al-Qur’ân. Yang semua itu dibangun di atas pondasi keragu-raguan. Sedangkan al-Qur’ân merupkan ashl.
e.       Kenyataan sejarah menunjukkan jika para sahabat nabi Muhammad SAW juga menolak hadîts ahâd yang dianggapnya bertentangan dengan al-Qur’ân. Shalah al-Dîn Ibnu Ahmad al-Idlibiy mencatat beberapa orang sahabat yang melakukan kritik terhadap hadîts yang diriwayatkan oleh sahabat lain. Mereka antara lain adalah Siti ‘Aisyah, ‘Umar ibn Khatâb,[12] ‘Ali ibn abi Thâlib, ‘Abd Allâh ibn Mas’ûd, dan Abd Allâh ibn ‘Abbâs. Tetapi, di antara sekian sahabat yang melakukan pengujian terhadap hadîts ini, yang paling intens adalah Siti ‘Aisyah.[13]
Contoh ‘A’isyah pernah mengkonfirmasikan Riwayat Ibn ‘Umar tentang sabda Nabi SAW: (ان الميت يعذب ببعض بكاءأهله عليه) “Seorang mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya yang masih hidup”. Beliau menkonfirmasikanya dengan firman Allâh surat al-An’âm: 164: وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. Karena itu ‘Aisyah menolak riwayat yang dikemukakan oleh Ibn ‘Umar tersebut[14]
Berbeda dengan pendapat di atas, Imam al-Syâfi’i justru menolak teori Hanafiyah ini. Menurutnya hadîts ahâd dapat dipakai bersamaan dengan al-Qur’ân, dan dapat saja men-takhsîs bahkan dapat menetapkan hukum baru di luar al-Qur’ân.[15] Tidak ada hadîts yang bertentangan dengan al-Qur’ân. Karena itu, hadîts tidak boleh ditolak jika secara ilmu Musthalah Hadîts sudah memenuhi kriteria ke-sahih-an. Jika terlihat bertentangan, maka penyelesaiannya adalah dalam bentuk takhshîsh dan taqyîd. Sebelumnya al-Syâfi’i mematahkan argumentasi Hanafiyah di atas dengan meneliti masing-masing dalil yang diajukan sebelumnya.
Terkait dengan hadîts (ما جاءكم عني فاعرضواه على كتاب الله تعالى, فما وافقه فأنا قلته, وماخالفه فلم اقله), menurut al-Syâfi’iy hadîts ini tidak diriwayatkan oleh seorang perawi-pun yang kuat hadîts-nya baik besar maupun kecil, serta menurutnya hadîts ini munqati’ dan diriwayatkan oleh perawi yang majhûl.[16] Begitu juga halnya dengan hadîts ( تكثر الأحاديث لكم بعدي فاذا روي لكم...)[17]
Sedangkan mengenai hadîts (ما حدثتم عني مما تعرفون فصدقوابه...) -yang juga merupakan hadîts yang semakna dengan hadîts sebelumnya-  menurut al-Baihâqiy juga munqati’.[18]  Adapun terkait dengan hadîts, menurut Rif’at Fauzi ‘abd al-Muthâlib juga tidak bisa dijadikan dalil, karena yang dimaksud hadîts ini adalah syarat yang tidak sesuai dengan al-Qur’ân, bukan hadîts. Maka dalam hal ini hadîts tidak bisa disamakan dengan syarat yang dimaksud hadîts. Terkait dengan keterangan bahwa al-Qur’ân dan Sunnah masyhûr adalah ashl, menurut Rif’at hal ini juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak hadîts yang ahâd[19]
Sedangkan Imam Malik, menurut al-Damîniy, beliau juga meninggalkan hadîts ahâd yang bertentangan dengan zhahir al-Qur’ân. Tetapi di dalam penolakannya tersebut tidak didasarkan kepada pertentangannya dengan zhahir al-Qur’ân saja, tetapi justru beliau juga mengujinya dengan ‘amal ahl al-Madinah. Di antara contoh hadîts yang beliau tolak adalah mengenai melaksanakan haji bagi orang yang telah meninggal dan hadîts mengenai jilatan anjing.[20] 
  
  1. Contoh praktek ulama di dalam mengkonfirmasikan hadîts Nabi Muhammmad SAW dengan al-Qur’ân adalah sebagai berikut:
a.       Hadîts mengenai anak hasil perzinahan tidak akan masuk sorga
عن ابى هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لايدخل الجنة ولد زنى ولا والده ولد ولده
Artinya: Hadîts Dari abi Hurairah, Ia berkata: Rasul Allâh SAW telah bersabda: “Tidak akan masuk sorga anak hasil perzinahan, begitu juga orang tua dan cucunya”
Terkait dengan hadîts ini ibn Jauziy berkata ( ثم اي ذنب لولد الزنى حتى يمنعه من دخول الجنة )[21] dan menurutnya hadîts ini tidak dapat diterima karena bertentangan dengan ayat al-Qur’ân surat al-An’am ayat 164[22]
ٍوَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya: Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan."
b.      Hadîts yang menjelaskan bahwa umur dunia adalah 7000 tahun, dan kita sekarang –umat nabi Muhammad- berada pada tahun 1000 yang terakhir.
Ibn Jauziy mengomentari hadîts ini dengan mengatakan bahwa hadîts ini menunjukkan kedustaan yang sangat nyata mengingat ia menyalahi al-Qur’ân Surat al-A‘raf ayat 187
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَاقُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: "Bilakah terjadinya?" Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba". mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: "Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allâh, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui".
Serta al-Qur’ân Surat Luqman  ayat 34
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ ...
Artinya: Sesungguhnya Allâh, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat…

c.       Hadîts tentang sembelihan:
ذِبْحُ المُسْلِمِ عَلىَ اسمِ اللهِ يُسَمَّى أوْ لمَ ْيُسَمْ
Artinya: Sembelihan seorang muslim adalah atas nama Allâh, baik disebutkannya nama Allâh atau tidak (ketika penyembelihan itu).
Hadîts ini menurut ulama Hanafiyah menyalahi zhahir ayat al-Qur’ân yang menyatakan bahwa sembelihan harus dilakukan dengan menyebut nama Allâh. Firman Allâh Surat al-An’âm: 21:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Artinya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allâh ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan…

C.     Konfirmasi Hadîts dengan al-Sunnah al-Musyhûrah
1.      Pandangan Ulama Mengenai Konfirmasi Hadîts dengan al-Sunnah al-Musyhûrah
Hadîts masyhûr menjadi penguji hadîts ahâd , menurut kalangan Hanafiyah, adalah karena hadîts masyhûr bersifat yaqin al-qalbi, sedangkan hadîts ahâd  lebih bersifat ‘ilm al-zhan. Dari sini, maka hadîts masyhûr lebih dekat hubungannya kepada Nabi.[23]Menurut mereka, Ketika terjadi pertentangan antara keduanya, hal ini menunjukkan jika khabar yang tidak masyhûr tersebut bukan bersumber dari Rasul Allâh.[24] Sebagaimana hadîts ahâd yang menyalahi al-Qur’ân disebutnya dengan munqati’ bâtin, maka yang menyalahi Sunnah masyhûr-pun dinamakan munqati’ bâtin, demikian juga nantinya terhadap hadîts ahâd yang menyalahi ‘umum al-balwa.[25]
Sedangkan Imam al-Syâfi’i –sebagaimana mengenai konfirmasi hadîts dengan al-Qur’ân- ia juga menolak pendapat Hanafiyah ini. Hadîts ahâd baginya  tidak boleh ditolak begitu saja, karena ia  juga dapat berfungsi sebagai mukhashshîsh dan muqayyîd bagi hadîts masyhûr.
Jadi Perbedaan pandangan Hanafiyah dengan Syâfi’iyah mengenai konfirmasi hadîts ahâd dengan hadits masyhûr ini sebetulnya berasal dari perbedaan pandangan akan kebolehan hadîts ahâd untuk men-takhshîsh, men-taqyid ataupun me-naskh hadits masyhûr. Berikut penulis rinci satu persatu.
a.       Am dan khâsh
Bagi ulama Hanafiyah, bentuk ‘am dari Sunnah mutawatir dan masyhur, tidak boleh ditakhshis kecuali dengan yang sederajat dengannya (mutawatir dan masyhur pula). Maka hadits ahad tidak bisa dijadikan pentakhshish bagi hadits masyhur. ‘Abd al-Azis al-Bukhâriy[26] mengatakan, ‘am dari al-qur’an dan Sunnah tidak boleh ditakhshish dengan khabar ahad, karena ia bersifat zhanniy yang tidak boleh mentakhshish sesuatu yang qath’i[27]
Sedangkan menurut Imam al-Syâfi’I ‘am khabar masyhur bisa saja ditakhshish dengan khabar ahad, sebagaimana beliau mengungkapkan,”والحديث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كلام عربي, ما كان منه عام المخرج عن رسول الله – كماوصفت في القرأن- يخرج عاما وهو يراد به العام, و يخرج عاما وهو يراد به الخاص (ويبقى على عمومه) حتى تاتي دلالة عن النبي صلى الله عليه و سلم بانه اراد به خاصا دون عاما [28]
b.      Muthlaq dan  muqayyad
Sedangkan terkait dengan muthlaq dan muqayyad masing-masing ulama berpendapat sesuai dengan pendapat mereka terkait dengan ‘am dan khash.[29]
c.       Naskh
Terkait dengan naskh khabar masyhur dengan khabar ahad, ulama juga berbeda pendapat. Bagi Hanafiyah khabar ahad tidak boleh menasakh Khabar masyhur, sebagaimana perkataan ‘abd al-azis al-Bukhâriy ( ).
Sedangkan bagi Imam al-syafi’iy dan ahmad serta ahl zhahir, mereka membolehkan naskh. Sedangkan sebahagian ulama yang lain berpendapat bahwa naskh dengan khabar ahad telah ada pada zaman rasul, tetapi tidak berlaku untuk zaman setelahnya.[30]

2.      Contoh praktek ulama di dalam mengkonfirmasikan hadîts Nabi Muhammmad SAW dengan
Contoh hadîts yang menjelaskan bahwa Rasulullah memutuskan perkara berdasarkan saksi dan sumpah ditolak oleh kalangan Hanafiyah, karena hadîts ahâd  ini menyalahi hadîts masyhûr di mana Rasulullah saw bersabda:
البينة على المدعي, واليمين على المدعي  عليه, وفي رواية على من انكر 
Artinya: “Sesungguhnya barang bukti diajukan oleh si penggugat, dan sumpah dibebankan kepada si tergugat”.
Sedangkan Imam al-Syâfi’i –sebagaimana mengenai konfirmasi hadîts dengan al-Qur’ân- ia juga menolak pendapat Hanafiyah ini. Hadîts ahâd  tidak boleh ditolak begitu saja. Seperti halnya terhadap al-Qur’ân, hadîts ahâd  juga dapat berfungsi sebagai takhshîsh dan taqyîd. Jadi menurut Imam Syâfi’i, dalam kasus-kasus tertentu, diperbolehkan memutuskan perkara dengan saksi dan sumpah.
Bila terlihat pertentangan dengan hadîts lainnya, baik ahâd  maupun masyhûr, maka dilakukan dengan beberapa penyelesaian. Edi Safri menyatakan bahwa secara umum cara yang ditempuh oleh Syâfi’i dalam menyelesaikan hadîts-hadîts yang kelihatan bertentangan adalah dengan jalan kompromi, naskh dan tarjîh.[31]
D.    Konfirmasi Hadîts dengan al-Umum al-Balwa
‘Umum al-balwa adalah persoalan-persoalan syara’ yang seharusnya diketahui setiap orang. Hal ini karena persoalan-persoalan tersebut berkenaan dengan semua orang.
1.      Pendapat Ulama Mengenai Konfirmasi Hadîts dengan Umum al-Balwa
Kelompok ulama Hanafiyah menjadikan ‘umum al-balwa sebagai penguji hadîts ahâd  ini. Abi Hasan al-Karkhiy mengatakan: (لا يقبل خبر الواحد اذا ورد فيما تعم به البلو, اي فيما يمس الحاجة اليه في عموم الأحوال). Bagi mereka hadîts-hadîts yang berkaitan dengan ‘umum al-balwa mestilah diriwayatkan secara mutawâtir atau masyhûr. Kerena bagaimana mungkin sesuatu yang menyangkut kepentingan orang banyak hanya diketahui oleh satu atau dua orang saja. Karena itu jika hadîts menyangkut persoalan ‘umum al-balwa diriwayatkan secara ahâd, tidak dapat diterima.
Pendapat kelompok Hanafiyah ini bertolak belakang dengan jumhur ulama ushul, fuqaha dan muhadditsîn, di mana mereka tidak membedakan persoalan ‘umum al-balwa dengan yang bukan ‘umum al-balwa. Karena itu bagi mereka tidak ada persoalan dengan hal ini.[32]
Kelompok yang menolak pengujian hadîts ahâd dengan umum al-balwa mengemukakan beberapa alasan, baik naqliy maupun ‘aqli di antaranya adalah:[33]
a.       Dalil al-Qur’ân Surat al-Taubah:122
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْوَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Artinya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Menurut Imam al-Syâfi’iy ayat ini menunjukkan jika ada kewajiban bagi orang yang mendalami agama untuk memperingatkan yang lainnya maupun hanya dengan khabar ahâd.
b.      Dalil berupa ijma’ para sahabat yang beramal dengan hadîts ahâd yang menyangkut kepentingan bersama, Seperti hadîts riwayat ‘Aisyah tentang wajibnya mandi yang diakibatkan bertemunya dua khitan,[34] pada hal hadîts ini juga merupakan khabar ahâd. Bahkan sifat para sahabat tergambar dari riwayat Ibn Umar berikut ini:
كنا نخابر أربعين سنة حتى روي لنا رافع ابن خديج ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذالك[35]
c.       Dalil ‘aqli, bahwa perawi yang ‘adil dan tsiqah, kebenarannya akan menghilangkan dzhan, sehingga mengamalkannya –di dalam rangka menghilangkan dzhan- merupakan sebuah kewajiban.
2.      Contoh Praktek konfirmasi Hadîts dengan Umum al-Balwa
Di antara contoh-contoh hadîts ahâd yang ditolak oleh ulama Hanafiyah karena dianggap menyangkut umum al-balwa adalah sebagai berikut:
a.       Hadîts tentang menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudu’
عن بشرة بنت صفوان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من مس ذكره فليتوضأ [36]
Artinya: Hadîts riwayat dari Bisyrah bint Shafwan, dari Rasul Allâh SAW. Belia bersabda:“Siapa yang menyentuh kemauannya hendaklah ia kemali berwudu’.”
Terkait dengan hadîts ini, al-Syarkhâsiy –seorang ulama dari kalangan Hanafiyah- mengatakan bahwa ia tidak menerima hadîts ini mengingat hadîts ini hanya diriwayatkan oleh Bisyrah, padahal hadîts ini semestinya harus diketahui oleh orang banyak. Baginya seperti sesuatu yang mustahil jika nabi hanya memberitahukan kepada seorang Bisyrah perkara-perkara yang menyangkut kepentingan bersama, apalagi Bisyrah adalah seorang perempuan yang tidak terkait lansung dengan hadîts ini.[37]
b.      Hadîts tentang kewajiban berwudu’ bagi orang yang telah membawa jenazah,[38] hadîts tentang menjaharkan basmalah di dalam shalat,[39] hadîts mengangkat tangan ketika berdiri ketika rukuk dan ketika mengangkat kepala,[40] dan beberapa hadîts ahâd lainnya.
Riwayat yang terkait dengan hal di atas ditolak oleh Hanafiyah dengan alasan terkait dengan umum al-Balwa.



[1] Musfir ‘Azm Allâh al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, (Riyad: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1984), h. 117 
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Pembahasan lebih rinci silahkan lihat Muhammad ‘Ajjâj al-Khâtib (selanjutnya ditulis dengan ‘Ajjâj al-Khâtib), Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mustalahuhu, ( Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 46-50. Terkait dengan poin terakhir ini (bayan tasyrî’) memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, ada yang menerimanya dan ada yang menolak. Di antara ulama yang mengakui adanya bayan tasyrî’ ini adalah Imam al-Syâfi’iy dan Ibn Qayyim. Pendapat Imam al-Syâfi’iy tertuang di dalam ungkapannya berikut:
وما سن رسول الله صلى الله عليه و سلم فيما ليس فيه حكم فبحكم الله سنه 
Dan Ibn Qayyim juga sependapat dengan Imam al-Syâfi’iy, dengan mengatakan:
  فما كان منها زائدا على القرأن فهو تشريع مبتدأ من النبي صلى الله عليه و سلم, تجب طاعته فيه ولا تحل معصيته, ولا هذا تقديما على كتاب الله بل امتثال لما امر الله به من طاعة رسوله
[5] Beliau adalah al-Imam al-‘Allamah al-Hâfidz Jamal al-Dîn abu al-Farraj ‘Abd al-Rahmân ibn abiy al-Hasan ‘Aliy ibn Muhammad ibn ‘Aliy ibn ‘abd Allâh ibn ‘abd Allâh ibn Hammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ja’far ibn ‘abd Allâh ibn Qâsim ibn Muhammad ibn abiy Bakr al-Shiddiq al-Qursyiy al-Taimiy al-Bakriy al-Baghdâdiy al-Hanbaliy (yang biasa dikenal dengan Ibn Jauziy). Usaha pengujian beliau terhadap hadîts ahad dapat tergambar di dalam kitab maudhû’at-nya. Sehingga Musfir ‘Azm Allâh al-Damîniy telah merangkumnya di dalam kitab khusus yang berjudul, Maqâyis Ibn Jauziy fi Naqd Mutûn al-Sunnah min khilâl Kitâbihi al-Maudhû’ât. Mengenai biografi singkatnya lihat Musfir ‘Azm Allâh al-Damîniy, Maqâyis Ibn Jauziy fi Naqd Mutûn al-Sunnah min khilâl Kitababihi al-Maudhû’ât, (Jeddah: Dar al-Madiniy, 1984), h. 48
[6] Al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Op Cit, h. 287 atau lihat Rif’at Fauzi Abd al-Muthâlib, Tawtsiq al-Sunnah fi Qarni al-Tsani al-Hijri Asasuhu wa Ittijahuhu, (Qahirah: Maktabah al-Khanatiji, 1981), h. 289
[7] Di antara ulama-ulama Hanafiyah yang dimaksud antara lain Al-Syarkhâsiy dan ‘Abd al-Azîs al-Bukhâriy. Al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Op Cit, h. 347-348
[8] Istilah khabar, Sunnah dan hadîts adalah istilah yang sering dipakai di dalam penyebutan hadîts nabi. Meskipun di dalam mendefenisikan ketiga hal ini terkadang terdapat perbedaan di antara para ulama, tetapi khusus di dalam makalah ini, ketika disebutkan salah satu dari tiga istilah ini, maka yang penulis maksud adalah sama, yaitu hadîts nabi Muhammad baik Qauliy,  fi’liy  maupun taqrir beliau.   
[9]Ibid, h. 289, atau Abd al-Muthâlib, op Cit, h. 289-290
[10] Lihat Imam Abiy al-Barakât ‘abd Allâh ibn Ahmad atau Hâfizh al-Dîn al-Nasafiy, Kasy al-Asrâr Syarh al-Mushannif ‘ala al-Asrar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, [t.th]), h  46-55
[11] Ibid, beliau mengungkapkan sebagi berikut: (ما خالف كتاب الله تعالى فانه مردود منقطع, لأن الكتاب ثابت متعين, وفي اتصال خبرالوحد برسول الله صلى الله عليه وسلم شبهة, فكان رد ما فيه شبهة باليقين احق منرد اليقين به    )
[12] ‘Umar ibn Khattab pernah menolak hadîts riwayat Fatimah bint Qais terkait dengan tidak adanya nafqah bagi wanita ditalak Mabtûtah, dengan alasan menyalahi ayat al-Qur’ân Qs. al-Thalaq:1. Lihat. Muhammad Musthafa A’zhamiy, Minhaj al-Naqdi ‘inda al-Muhadditsîn, Nasyatuhu wa Târikhuhu, (Riyad: Maktabah al-Kautsar,1410H), Cet. III, h. 77,
Bahkan Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthâlib mengutip ungkapan ‘Umar terkait riwayat tersebut dengan mengatakan:
لا ندع كتاب ربنا وسنة نبينا بقول امرأة لا ندرى صدقت ام كذبت حفظت ام نسيت
Lihat ‘Abd al-Muthâlib, Op Cit, h. 296   
[13] Shalâh al-Din Ibn Ahmad Al-Idlibiy, Minhâj Naqd al-Matn ‘inda Ulamâ al-Hadîts al-Nabawiy,  (Beirut: Dar al-Afâq al-Jadîdah, 1983), h. 108-143
[14] Al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Op Cit, h. 62-63. Imam Badr al-Din al-Zarkasiy menjelaskan bahwa ketika ‘Aisyah mendengar riwayat Ibn umar ini, maka ia berkata:
يغفر الله لأبي عبد الرحمن اما انه لم يكذب ولكنه نسي او اخطأ انما مر رسول الله صلى الله عليه و سلم على يهدية يبكى عليها فقال: انهم ليبكون عليها وانها لتعذب في قبرها
Kemudian beliau juga mengungkapkan “cukuplah kalian berpegang dengan Al-Qur’ân (surat al-An’am:164)” Lihat. Imam Badr al-Din al-Zarkasyi, Al-Ijabah li Irad ma istadrakathu ‘Aisyah ‘ala al-Shahabah, (Terj. Wawan Djunaidi Soffandi, ‘Aisyah Mengoreksi Para Sahabat), (Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2001), h. 144-145
[15] Abd al-Muthâlib, Op Cit, h. 302)
[16]Al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Loc Cit. Perawi majhûl yang dimaksud Imam al-Syâfi’i menurut al-Baihâqiy adalah Khalid ibn Abi Karimah. Kemudian al-Baihâqi menegaskan pendapat Imam al-Syâfi’i di atas dengan menjelaskan bahwa riwayat tersebut diriwayatkan dari jalur lain, dan semuanya dha’îf. ‘Abd al-Muthâlib, Op Cit, h.299-300
[17] Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthâlib menjelaskan jika perawi hadîts ini juga majhûl yaituYazid ibn Rabi’ah, yang tida ada yang mengetahui jika ia telah meriwayatkan hadîts dari Rabi’ah. Ibid, h. 290
[18] Bahkan Ibn Hazm telah merinci kualitas hadîts ini dengan melakukan penilaian terhadap jalur sanad-nya yang berbeda-beda, di antaranya: a. Pada jalur pertama terdapat nama Husain ibn ‘Abd Allâh yang menurut beliau, perawi ini adalah perawi yang gugur hadîts-nya dan tertuduh zindiq, b. Jalur kedua juga ada perawi yang majhûl, dan riwayatnya mursal, c. Jalur ketiga dengan lafaz لا يمسك الناس علي شيئا لا احل الا ما احل الله في كتابه..., yang menurut beliau juga mursal.d. Jalur keempat pada sanad-nya terdapat nama ‘Amru ibn abiy ‘Amru, yang menurut ibn Hazm juga dha’îf, serta perawi yang lain juga majhûl. e. Jalur kelima lafaznya mirip dengan riwayat yang ketiga tetapi juga mursal dan perawi-nyapun majhûl. f. Jalur keenam dengan lafaz اذا حدثتم عني بحديث يوافق الحقن فخذوا به حدثت به او لم أحدث , menurut Ibn Hazm perawinya juga ada yang dha’îf, bahkan Kazzab. Ibid, h. 291-292
[19] Ibid, h. 295
[20] ini akan dijelaskan pada poin contoh praktek ulama di dalam pengujian hadîts ahâd dengan al-Qur’ân
[21] Artinya: Lalu dosa apakah yang diperbuat oleh anak hasil perzinahan, sehingga menghalanginya untuk masuk sorga. Lihat Al-Damîniy
[22] Lihat al-Damîniy, Maqâyis Ibn Jauziy, Op Cit, h. 48
[23] ‘Abd al-Muthâlib, Op cit, h. 322 Satu hal yang mesti digaris bawahi adalah bahwa Hanafiyah berbeda di dalam mendefenisikan Hadîts masyhûr, dibanding jumhur, bagi mereka yang dimaksud dengan hadîts masyhûr adalah Hadîts yang diriwayatkan dengan tidak mutawâtir pada tingkatan sahabat, dan mutawâtir pada tingkatan berikutnya. Ini penulis pahami dari defenisi berikut ini: (وهو ما كان من الاحد في الأصل ثم انتشر حتى نقله قوم لا يتوهم تواتؤهم على الكذب, وهم القرن الثاني من بعد الصحابة, ومن بعدهم) Lihat al-Nasafiy, Op Cit, h. 11
[24] ‘Abd al-Muthâlib, Op Cit, h. 323
[25]  Al-Nasafiy, Op Cit, h. 52
[26] Beliau termasuk salah seorang ulama dari kalangan Hanafiyah
[27]  Al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah,Op Cit, h. 248
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Ibid
[31] Edi Safri, Al-Imam al-Syâfi’i, Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 97
[32] Al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Op Cit,  h. 476
[33] ------- , Khabr al-Wâhid fi al-Sunnah wa Atsaruhu fi Fiqh al-Islamiy, (Qahirah: Dar al-Syuruq, [t.th]), h. 90-91
[34] Riwayat yang dimaksud adalah: اذا التقى الختانان وجب الغسل انزل او لم ينزل فعلته أنا ورسول الله صلى الله عليه وسلم . Hadîts ini diriwayatkan oleh al-Tirmîdziy di dalam bab Thaharah, Imam al-Nasa’I di dalam Bab Wujub al-Ghusl, serta juga ada hadîts dari jalur Abi Hurairah yang diriwayatkan Muslim.
[35] Ibid
[36] Hadîts diriwayatkan oleh Malik, al-Syâfi’iy, Ibn Huzaimah dan Ibn Majah, serta di-shahih-kan oleh al-Daruqutniy, al-Baihaqiy dan al-Hazimiy. Selain Bisyrah bint Shafwan, sebetulnya hadîts ini juga diriwayatkan lewat jalur Abi Hurairah oleh Ahmad, Ibn Hibbân, al-Baihâqiy, al-Thabrâniy, al-Syâfi’i al-Bazzar serta al-Daruqutniy. ------- , Khabr al-Wâhid fi al-Sunnah wa Atsaruhu fi Fiqh al-Islamiy, Op Cit, h. 89
[37] Syarkhâsiy mengatakan ( لم نعمل بحديث الوضوء من مس ذكر, لأن بشرة تفردت بروايته مع عموم الحاجة لهم الى معرفته, فالقول بأناالنبي عليه وسلم خصها بتعليم هذا الحكم, معاانها لا تحتاج اليه ولم يعلمه سائر الصحابةمع شدة حاجتهم اليه شبه المحال)
[38] Hadîts yang dimaksud adalah:
عن ابى هريرة قال: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من غسل ميتا فاليغتسل ومن حمله فاليتوضأ (رواه الخنسة)
------- , Khabr al-Wâhid fi al-Sunnah wa Atsaruhu fiFiqh al-Islamiy, Op Cit,  h. 90
[39] Hadîts yang dimaksud adalah:
عن ابن عمر قال: صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم و ابى بكر و عمر فكانوا يجهرون بسم الله الرحمن الحيم (أخرجه الدارقطنى)
Ibid.
[40] Hadîts yang dimaksud adalah:
عن ابن عمر قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم اذا قام الى الصلاة رفع يديه حتى يكون مجدو منكبيه ثم يكبر, فاذا اراد ان يركع رفع مثل ذالك, واذا رفع رأسه من الركوع رفعها ايضا وقال سمع الله لمن حمده ربنا لك الحمد (متفق عليه)
Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar