Rabu, 02 November 2011

KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM


KEADILAN DAN PENEGAKAN HUKUM

A.    Pendahuluan
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pandangan al-Qur’an mengenai keadilan dan penegakan hukum, yang meliputi perintah al-Qur’an untuk berlaku adil di dalam hukum, etika yang diajarkan al-Qur’an di dalam proses penegakan hukum/peradilan serta Ancaman bagi mereka yang tidak mau menegakkan hukum.
Pembahasan akan dimulai dengan penjelasan mengenai term-term al-Qur’an yang berkaitan dengan keadilan dan penegakan hukum, perintah al-Qur’an untuk berlaku adil di dalam hukum, etika yang diajarkan al-Qur’an di dalam peroses penegakan hukum serta Ancaman al-Qur’an bagi mereka yang tidak mau menegakkan hukum. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, penulis akan merujuk ke dalam berbagai kitab tafsir seperti Tafsîr al-Misbah dan Tafsîr al-Marâghiy. Adapun untuk mendapatkan riwayat-riwayat yang mendukung penafsiran penulis akan merujuk kepada Tafsîr Dur al-Mantsûr karya al-Suyûthiy serta Kitab hadîts yang mu’tamad. Khusus untuk menjelaskan berbagai istilah-istilah penting  yang berhubungan dengan ayat al-Qur’an penulis akan lebih banyak merujuk ke dalam kitab Mufradât Alfâdz al-Qur’ân karya al-Ashfahâniy.
B.     Term-term di Dalam al-Qur’an yang Berkaitan Dengan Penegakan Hukum.
Di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan penegakan hukum, di antaranya adalah adl, hukm, dan qist.
1
 
Kata ‘adl  adalah bentuk mashdar dari kata kerja عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً. Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf  ‘ain (عَيْن), dâl (دَال), dan lâm (لاَم), yang makna pokoknya adalah اَلْاِسْتِوَاء  (keadaan lurus) dan اَلْاِعْوِجَاج  (keadaan menyimpang).[1] Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber­tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem­peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Al-Ashfahâniy menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’.[2] Se­mentara itu, di dalam al-Mu’jam al-Washit kata ‘adl  diartikan dengan memberikan apa yang menjadi hak seseorang dan menagih apa yang menjadi kewajibannya.[3] Sedangkan menurut al-Maraghiy yang memberikan makna kata ‘adl  dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’/dengan jalan yang paling dekat.[4]
Kata عَدْل di dalam berbagai bentuk­nya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Qur’an. Kata ini di dalam al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa —paling tidak— ada empat makna keadilan. Dan Salah satu di antaranya bermakna persamaan. Maka Inilah makna yang berkaitan dengan pembahasan penegakan hukum.[5] Di antara ayat tersebut adalah: QS. al-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. al-Syûrâ [42]: 15, QS. al-Mâ’idah [5]: 8, QS. al-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak.
Kata hukm  berasal dari kata حكم – يحكم- حكما yang pada dasarnya berarti mencegah. Seperti pada kata حكمة الدابة  yang berarti mencegahnya dengan cara mengikat. Adapun kata الحكم بالشيء berarti menilai dan menetapkan sesuatu/ان تقضى بأنه كذا.....[6]
Kata حكم dengan berbagai derivasinya di dalam al-Qur’an memiliki banyak arti diantaranya: bermakna sesuatu yang berkesan di dalam hati seperti pada QS. al-Haj: 52, bermakna sesuatu yang tegas dan jelas seperti pada QS. Muhammad: 20 dan ali ‘Imran: 7, bermakna hikmah seperti pada QS. al-Baqarah: 129, atau bermakna sifat Allah  seperti pada QS. al-Baqarah: 32 serta bermakna memberi keputusan hukum (yang menjadi objek kajian di dalam makalah ini).[7]   
Adapun kata قسط pada dasarnya berarti نصيب بالعدل (pembagian yang  adil)[8]. Dalam berbagai bentuk derivasinya kata ini memiliki arti yang bermacam-macam, bahkan arti yang saling bertolak belakang. Di Samping bermakna adil kata ini juga bisa berarti mengambil bagian atau hak orang lain, seperti pada QS. Jin: 15.[9]  
C.    Keadilan dan Penegakan Hukum Menurut Perspektif al-Qur’an
1.      Dorongan Berlaku Adil Dalam Hukum
Keadilan    merupakan   sebuah   azas   pokok   di   dalam   hukum.[10]
Sehingga Allah menuntut kepada para penegak hukum untuk senantiasa menghukum secara adil, sebagaimana pada firman-Nya berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Nisa’: 58)
Lewat ayat ini Allah menyuruh kepada manusia untuk melaksanakan amanah-amanah yang telah dibebankan kepada mereka. Baik amanah tersebut berkaitan dengan sesama manusia, maupun amanah terhadap Allah, serta menyeru kepada penegak hukum untuk berlaku adil di dalam menghukum.
Jika diperhatikan di antara kedua perintah di atas, yaitu antara perintah menunaikan amanah dan perintah berlaku adil di dalam menghukum, terdapat perbedaan redaksi. Perintah untuk menunaikan amanah bersifat umum, sedangkan perintah berlaku adil di dalam hukum menggunakan lafaz syartiyahوَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ”. Ini mengisyaratkan bahwa seluruh manusia memikul amanah bagi masing-masing indifidunya, sedangkan menetapkan hukum bukanlah wewenang setiap indifidu, melainkan ia adalah tanggung jawab kepada orang-orang tertentu yang telah memenuhi syarat sebagai penegak hukum. [11]
Dari kata اهلها dan وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاس menunjukkan bahwa objek penunaian amanah dan berlaku adil di dalam hukum, berlaku terhadap siapapun juga, tidak terbatas hanya sesama muslim. Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras.  Ayat al-Qur’an yang menegaskan hal ini cukup banyak. Salah satunya di antaranya adalah teguran Allah terhadap Nabi saw yang hampir saja terpedaya oleh dalih seorang muslim yang munafik yang bermaksud menyalahkan seorang Yahudi. Dalam konteks inilah turun firman Allah al-Nisa’: 105
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[ (al-Nisa’: 105)
Mayoritas ahli tafsir mengemukakan satu peristiwa yang mereka nilai berhubungan dengan turunnya ayat ini. Kesimpulannya adalah bahwa ada seorang yang bernama Thu’mah ibn ‘Ubairiq yang mencuri perisai milik tetangganya yang bernama Qatadah ibn Nu’man. Perisai itu berada di dalam sebua kantong berisi tepung. Thu’mah menyembunyikan perisai tersebut di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid ibn Sâmin. Rupanya kantong tempat perisai itu bocor. Ketika pemilik perisai tersebut mengetahui kehilangan perisainya, ia bertanya kepada Thu’mah tetapi ia bersumpah bahwa ia tidak mengetahuinya. Melalui teteskan tepung mereka menemukan perisai tersebut di rumah Zaid ibn Sâmin, Yahudi itu. Tentu saja ia menolak tuduhan dan mengatakan bahwa Thu’mahlah yang menitipkan perisai tersebut kepadanya. Beberapa orang Yahudi ikut menjadi saksi kebenaran Zaid ibn Sâmin. Namun keluarga Thu’mah mengadu kepada Nabi saw dan membela Thu’mah. Rasul hampir saja terpengaruh oleh dalih-dalih yang dikemukakan pihak Thu’mah, dan terlintas dipikiran beliau hendak menghukum Zaid ibn Sâmin, sehingga turunlah ayat di atas.[12]    
Adapun Makna Kata ‘adl  di dalam ayat di atas diartikan ‘sama’, yang men­cakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, me­nuntut hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebut­an nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, ke­­sungguh­an mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhâwiy bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di per­tengahan dan mempersamakan’.[13] Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat ke­manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Makna keadilan di dalam proses hukum, seperti yang dipahami oleh tokoh-tokoh tafsir di atas sesuai dengan sikap Rasul di dalam melaksanakan proses hukum,. Ini seperti yang terdapat di dalam hadîts beliau berikut ini:
عن على رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا جلس إليك الخصمان فلا تكلم حتى تسمع من الآخر كما سمعت من الأول[14]
Dari Ali Radhiya Allâh 'anhu bahwa Rasul Allâh Shala Allâh  'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang yang berselisih duduk menghadapmu (untuk meminta keputusan hukum), maka janganlah engkau berkata (memutuskan) sebelum engkau mendengar (keterangan) yang lain sebagaimana mendengarkan yang pertama.
 Sehingga dipahami –berdasarkan hadîts ini- bahwa antara kedua pihak yang berperkara memiliki hak yang sama di dalam proses hukum tersebut.
 Di dalam ayat lain ditegaskan bahwa perlakuan adil tersebut tidak memandang faktor kedekatan, faktor keluarga maupun harta. Seperti pada ayat berikut:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (al-Nisa’: 135)
Di dalam ayat ini Allah menuntut orang-orang yang beriman untuk dapat menjadi penegak keadilan. Perintah berlaku adil di dalam bahasa Arab diungkapkan dengan berbagai lafaz diantara اعدلوا, كونوا مقسطين, كونوا قائمين بالقسط dan  كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ. Masing-masing kata ini memiliki tingkat ketegasan yang berbeda-beda.  Kata اعدلوا berarti “berlaku adillah”, ini biasanya dipakai dalam keadaan normal. Adapun kata yang lebih tegas dari kata اعدلوا adalah كونوا مقسطين yang berarti “jadilah orang-orang yang adil”, dan kata yang lebih tegas lagi adalah كونوا قائمين بالقسط yang berarti “jadilah-pennegak-penegak keadilan”. Adapun ungkapan yang paling tegas adalah seperti di dalam Qs. al-Nisa’; 135 di atas yaitu dengan kata كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ yang berarti “jadilah penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya”[15]
Bersikap adil tersebut berlaku terhadap diri sendiri, orang tua,  keluarga terdekat, yaitu tanpa memandang kedekatan-kedekatan tersebut dan tidak terpengaruh oleh kekayaan masing-masing yang berperkara. Peringatan Allah di dalam ayat ini tidak lain adalah karena pada kenyataannya menunjukkan bahwa faktor keluarga dan harta sangat dapat mempengaruhi keobjektifan seseorang di dalam menghukum.
Dengan faktor kedekatan, seorang hakim bisa saja menzalimi pihak lain, dan karena kekayaan seorang hakimpun dapat berlaku aniaya terhadap orang yang miskin. Atau sebaliknya karena merasa kasihan terhadap kondisi orang yang miskin seorang hakim bisa saja tidak lagi berlaku adil. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Nabi, ketika beliau ditemui oleh dua pihak yang berperkara, salah satunya adalah orang kaya, sedangkan yang lain adalah miskin. Sehingga Nabi merasa tersentuh dengan yang miskin, dan beliau meyakini bahwa yang miskin tersebut tidak akan mungkin berbuat zhalim terhadap yang kaya,    Sehingga Allah menurunkan ayat ini: إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بهما.[16]
Di sini Allah menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan kondisi-kondisi pribadi, di luar perkara tersebut tidak patut untuk menyebabkan seorang hakim menyimpang dari kebenaran. Dan Allah-lah yang lebih tahu akan kemaslahatan, maka seorang hakim tersebut dituntut untuk menegakkan keadilan sebagaimana mestinya. Demikian juga bagi mereka yang mengetahui permasalahan tersebut, mereka dituntut untuk dapat menjadi saksi secara adil, sehingga hukum dapat berlaku secara benar dan tepat.
Perintah Allah untuk berlaku adil di dalam hukum terhadap siapapun juga, termasuk non-muslim, juga digambarkan di dalam QS.  al-Maidah: 42 berikut:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْوَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah: 42)
Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari ayat ke 41 yang menceritakan sikap-sikap orang Yahudi yang suka mendengarkan kebohongan.  Maka di dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Rasul bahwa jika mereka  mendatangi Rasul untuk meminta putusan terhadap perkara yang timbul sesama mereka, maka Allah memberi dua pilihan. Pilihan yang pertama yaitu memberi putusan dan yang kedua berpaling dari mereka, dengan tidak  memberikan putusan apa-apa.
Menurut Quraish Shihab penggunaan kata إِنْ/ jika atau seandainya ketika memberi pilihan kepada Rasul untuk memberi putusan atau tidak, adalah untuk menunjukkan bahwa Rasul tidak antusias untuk memberi putusan, karena Rasul yakin bahwa mereka sebenarnya tidaklah menuntut keadilan , tetapi menuntut sesuatu putusan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Alternatif yang diberikan oleh ayat ini disebabkan oleh adanya dua hal yang bertentangan. Dari satu sisi, keharusan menegakkan keadilan menuntut Nabi untuk memberikan putusan, tetapi di sisi lain, karena mereka bukanlah menuntut keadilan, maka jika Nabi memutuskan dengan adil, mereka akan menolaknya, dan ini berarti pelecehan terhadap Nabi.[17]          
Walau bagaimanapun rahasia dari dua buah alternatif yang diberikan Allah terhadap  Rasul, -menurut penulis- satu hal yang mesti dilakukan oleh Nabi dan penegak hukum lainnya adalah jika mereka memberi putusan kepada siapapun harus berlaku adil dan tidak zalim. Apalagi dari ayat-ayat yang menuntut untuk penegakan keadilan di atas, beberapa di antaranya ditutup dengan sifat Allah yang menunjukkan bahwa Ia Maha Mengetahui, seperti فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا dan إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
Lafaz-lafaz ini,  selain sebagai kabar gembira bagi mereka yang menghukum dengan adil, juga merupakan ancaman bagi para penegak hukum, ia mengisyaratkan bahwa jika seorang hakim berlaku curang di dalam menghukum, maka Allah melihat, mendengar, bahkan mengetahui dengan sedetil-detilnya akan semua itu. Sebagaimana hadîts Nabi berikut:
أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك[18]   
Artinya:
Engkau menyembah  Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihatnya, niscaya Ia tetap melihatmu 
Dan tuntutan untuk berlaku adil di dalam menghukum tidak hanya terhadap Nabi Muhammad Saw, Namun juga terhadap Nabi terdahulu. Salah satunya adalah sebagaimana yang dialami oleh Dawud as, di mana beliau didatangi oleh dua pihak yang berperkara, mereka meminta nabi Dawud untuk memberi putusan yang adil terhadap perkara mereka tersebut. Seperti pada QS. Shad: 22  
إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ
Artinya:
Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Shad: 22)

2.      Etika Peradilan
Supaya penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya dan sesuai dengan nilai keadilan, maka di dalam al-Qur’an telah diisyaratkan berbagai etika peradilan di antaranya adalah:
1)      Berlaku adil dan objektif di dalam proses hukum
Di dalam proses hukum, seorang hakim harus bersikap objektif dan memperlakukan orang yang berperkara secara sama. Yaitu tanpa membedakan apakah mereka keluarga dekat ataupun jauh, miskin atau kaya, seakidah ataupun tidak. Karena ketika seseorang memandang kedekatan, kekayaan dan akidah, maka pada waktu itu ia akan melihat sebuah masalah dengan subjektif dan bisa berlaku curang di dalam menghukum.  Sehingga Allah menyuruh orang yang beriman untuk tetap dan senantiasa  berlaku adil terhadap siapapun juga, termasuk kepada keluarga terdekat, orang kaya ataupun miskin, bahkan terhadap seseorang yang tidak disenangi. Hal ini seperti pada firman Allah QS. al-Nisa’: 135 di atas dan QS. Al-Maidah: 8 berikut:
يَا أَيُّهَآ الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ للَّهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Di dalam Qs. Al-Nisa’: 135 Allah menyuruh orang yang beriman untuk berlaku adil kepada siapapun juga, meskipun salah satu di antara yang berperkara tersebut adalah orang tua dan keluarga terdekat. Penyebutan lafaz وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ, menunjukkan bahwa faktor kedekatan keluarga ini biasanya dapat mempengaruhi objektifitas seorang hakim. Sehingga Allah memperingatkan agar jangan sampai berlaku curang karena hal ini. Rasul Saw, sebagai seorang yang menjadi hakim, juga menegaskan keteguhan sikap beliau bahwa faktor keluarga tidak akan melunturkan objektifitasnya, meskipun terhadap anaknya sendiri seperti pada hadîts berikut:
إنما أهلك الذين قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه الحد وايم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطعت يدها[19]
Artinya:
Sesungguhnya kebinasaan orang­-orang sebelummu itu hanyalah karena mereka tidak mau menghukum terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh golongan terhormat, sedangkan kalau yang mencuri itu golongan rendah mereka laksanakannya Demi Allah, seandainya Fathimah bint Muhamamd mencuri, pasti aku potong tangannya"
Dari lafaz إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا , ini menunjukkan bahwa faktor ekonomipun bisa menghilangkan objektifitas 0seorang hakim. Boleh jadi karena ingin mengharapkan imbalan dari salah seorang yang berperkara, atau karena merasa kasihan terhadap pihak yang miskin. Maka melalui ayat ini Allah mengatakan bahwa penegakan hukum Allah (keadilan) lebih utama dibandingkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi tersebut.
Adapun dari lafaz وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُو, dipahami bahwa terlarang bagi seorang hakim untuk berbuat curang karena kemarahannnya terhadap seseorang. Jadi di dalam menghukum ia harus mengabaikan faktor emosionalnya. Ini sesuai dengan hadîts berikut: 
وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( لَا يَحْكُمُ أَحَدٌ بَيْنَ اِثْنَيْنِ, وَهُوَ غَضْبَانُ )[20] 
2)      Menjauhi Suap dan Hadiah
Agar proses peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya, Allah dan Rasul-Nya melarang untuk melakukan sogok/suap. Sebagaimana pada Ayat berikut:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (al-Baqarah)
Di dalam ayat ini Allah melarang untuk memakan harta sesama manusia dengan cara yang bathil, yaitu mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan oleh hukum dan tidak sejalan dengan tuntutan Ilahi.
Salah satu dari bentuk mengambil hak dengan cara bathil adalah dengan cara menyogok. Dalam ayat ini diibaratkan dengan kata تُدْلُوا بِهَا, yang pada dasarnya berarti menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh air. Timba tersebut tidak tampak oleh orang lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur. Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwenang memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu secara tidak sah.[21] Sehingga ayat di atas dapat diartikan sebagai berikut: “Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan menurunkan timbamu kepada hakim, yakni yang berwenang memutuskan, dengan tujuan supaya kamu dapat memakan sebagian harta  dari pada harta orang lain dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu telah mengetahui.[22]      
Meski yang dilarang di dalam ayat ini adalah perilaku menyogok, maka secara tersirat juga larangan bagi penerima sogok. Karena hal tersebut dapat mempengaruhi putusan hukum, dan menzhalimi pihak lain, dan tidak tegaknya hukum Allah. Larangan suap ini juga terdapat di dalam hadîts Nabi, yang mengungkapkan bahwa Allah melaknat orang yang menyogok dan yang disogok, seperti berikut ini:
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : لعن الله الراشي و المرتشي[23]
Artinya:
Dari Rasul Allâh saw, beliau bersabda: Allah melaknat yang memberikan sogok dan yang diberi sogok.
Di samping larangan menerima sogok, hal lain yang mesti dihindarkan oleh seorang hakim adalah menerima hadiah karena ditakutkan hadiah tersebut mempengaruhi putusan beliau di dalam menghukum. Sikap untuk tidak mau menerima hadiah, agar ini tidak menghalangi seseorang di  dalam mengambil sebuah putusan. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh Sulaiman ketika beliau menerima hadiah melalui utusan ratu Saba’, sebagaimana pada ayat berikut:
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا ءَاتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا ءَاتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ تَفْرَحُونَ
Artinya:
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. (QS. al-Naml: 36)
Ungkapan Sulaiman أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ, beliau tujukan kepada pimpinan delegasi ratu Saba’ agar disampaikan kepada ratunya. Maksudnya adalah beliau menolak hadiah tersebut. Ini, karena Nabi Sulaiman merasa bahwa hadiah tersebut  bagaikan sogokan yang bertujuan menghalangi beliau melaksanakan suatu kewajiban.[24]
3)      Keburukan tergesa-gesa di dalam menjatuhkan hukuman
Salah satu etika di dalam peradilan bagi seorang hakim, adalah tidak tegesa-gesa di dalam mengambil sebuah keputusan. Karena ketergesa-gesaan di dalam menetapkan sebuah putusan, bisa menzhalimi suatu kelompok atau satu pihak. Prinsip ini sesuai dengan Qs. Al-Hujurat: 6
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (al-Hujurat)
Meskipun ayat ini bercerita tentang orang fasik. Namun di sini dapat diambil pelajaran bahwa di dalam hal apapun juga, seseorang tidak boleh tergesa-gesa mengambil sebuah keputusan, hingga mereka mengetahui sebuah urusan tersebut dengan jelas dan terang. Karena ketergesaan di dalam memutuskan sesuatu bisa mengakibatkan terzaliminya suatu pihak,  dan ini akan mengakibatkan penyesalan bagi penetap keputusan di kemudian waktu. Sebagaimana Nabi saw, yang  hampir saja melakukan kesalahan karena mendengarkan perkataan bohong dari al-Walid ibn ‘Uqbah mengenai al-Harits yang ditugaskan Nabi untuk mengumpulkan zakat hingga akhirnya Allah menurunkan ayat ini.[25]
4)      Keputusan hukum berdasarkan apa yang tampak
Di dalam menghukum, yang dijadikan patokan adalah apa yang tampak, bukan berdasarkan perilaku atau kebiasaan pihak yang berperkara ketika berada di luar masalah ini. Sehingga faktor pribadi dari yang berperkara bukanlah termasuk bahan pertimbangan di dalam penetapan hukum. Hal ini tergambar di dalam kisah Yusuf beserta para saudaranya berikut:
قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ نَأْخُذَ إِلَّا مَنْ وَجَدْنَا مَتَاعَنَا عِنْدَهُ إِنَّا إِذًا لَظَالِمُونَ

Artinya:
Berkata Yusuf: "Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim." (QS. Yusuf: 79)
Meskipun di dalam kisah ini merupakan rekayasa Yusuf untuk dapat bertemu dengan saudaranya Benyamin, namun dari lafaz قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ أَنْ نَأْخُذَ إِلَّا مَنْ وَجَدْنَا مَتَاعَنَا عِنْدَهُ dapat diambil pelajaran bahwa dari nabi-nabi terdahulupun, di dalam menetapkan putusan mereka berpedoman kepada apa yang mereka dapati, bukan hanya berdasarkan persangkaan yang lemah. 
Di samping ke empat etika peradilan di atas, al-Maraghiy juga menyebutkan beberapa syarat, sehingga seorang hakim dapat menghukum secara adil, di antaranya yaitu:
a.       hakim harus memahami da’wah dan jawaban dari masing-masing pihak, sehingga ia betul-betul memahami duduk permasalahan
b.      Tidak berpihak kepada salah satu pihak yang bertikai
c.       Memahami hukum yang berlaku[26]
3.      Ancaman bagi yang tidak Menegakkan Hukum Sesuai dengan Ketentuan Allah.
Salah satu tujuan Allah menurunkan kitab-Nya –baik kepada Nabi Muhammad Maupun kepada nabi-nabi terdahulu- adalah agar dapat dijadikan sebagai panduan di dalam menghukum. Sebagaimana firman Allah:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Artinya:
Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (al-Baqarah: 213)
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa pada awalnya manusia adalah satu, namun  kemudian diantara manusia tersebut saling berselisih. Sehingga untuk menghindari dan menyelesaikan  perselisihan-perselisihan tersebut Allah mengutus para rasul dan menganugrahkan kepada mereka kitab-Nya. Dengan kitab-kitab inilah para nabi memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Jadi tujuan utama penurunan Kitab ini adalah sebagai sumber dan panduan, baik bagi Nabi maupun bagi para penegak hukum, di dalam menetapkan hukuman.    
Tetapi setelah diturunkannya kitab, pada kenyataannya manusia masih tetap berselisih. Perselisihan di antara manusia bukan karena keterangan dari kitab  tersebut tidak jelas, melainkan karena kedengkian di antara mereka  sendiri. Kedengkian ini lahir dari keinginan untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya[27]
Maka sebuah kewajiban bagi penegak hukum untuk menegakkan hukum sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah di dalam kitab-Nya.
Di samping ayat yang menegaskan bahwa tujuan kitab itu adalah sebagai sumber hukum, di dalam ayat lain juga dijelaskan bagaimana Allah mencela mereka yang telah menerima kitab, namun tidak menghukum sesuai dengan kitab tersebut. Seperti kaum Yahudi dan Nasrani, mereka disebutkan di dalam al-Qur’an sebagai orang yang kafir, zhalim, dan fasiq.  Seperti pada Firman-Nya di dalam QS. Al-Maidah: 44, 45 dan 47   
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالْأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآَيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kishashnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
وَلْيَحْكُمْ أَهْلُ الْإِنْجِيلِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik
Para ulama berbeda mengenai penyebutan kata al-kâfirûn, al-zhâlimûn dan al-fâsiqûn di ujung masing-masing ayat, apakah ia ditujukan  kepada umat Islam atau kepada yang bukan Islam (Yahudi dan Nasrani). Menurut abiy Shalih ayat ini semuanya ditujukan bagi orang-orang kafir, bukan terhadap umat Islam, sedangkan menurut al-Dhahak dan ibn Juraij ayat ini ditujukan bagi ahli al-Kitab. Sedangkan menurut al-Sya’biy penyebutan   al-kâfirûn ditujukan kepada orang yang Islam sedangkan fâsiqûn ditujukan bagi orang Nasrani. Menurut ibn ‘Abbas kâfirûn ditujukan kepada mereka yang tidak menghukum dengan hukum Allah yang dikarenakan pengingkaran mereka terhadap hukum tersebut, sedangkan zhâlimûn dan fâsiqûn ditujukan bagi mereka yang tidak menghukum dengan hukum Allah, tetapi masih mengakui keberadaannya. Adapun menurut abiy Ja’far, mereka yang menyembunyikan hukum Allah dan kemudian berhukum dengan hukum yang lain, sebagaimana orang-orang Yahudi, berarti mereka adalah orang-orang yang kafir.[28]
Dari pendapat-pendapat di atas, serta memperhatikan hubungan antara konteks ayat, dapat disimpulkan beberapa poin yaitu:     
d.      Bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum Allah, sementara mereka menyembunyikan kebenaran hukum tersebut,  sebagaimana orang Yahudi Maka berarti mereka adalah orang yang kafir.
e.       Bagi mereka yang menghukum dengan hukuman yang tidak sesuai dengan yang ditentukan, yaitu tidak menegakkan pembalasan yang seimbang, maka mereka adalah orang yang zhalim.
f.       Dan terakhir, bagi mereka yang tidak menghukum sesuai dengan hukum Allah, sementara mereka mengetahui kebenaran hukum tersebut, sebagaimana orang Nasrani berarti mereka adalah orang yang fasiq.

C. Penutup
  1. Kesimpulan
Dari pembahasan singkat terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai keadilan dan penegakan hukum dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an menuntut kepada para penegak hukum untuk menghukum secara adil terhadap siapapun juga. Kemudian untuk terciptanya keadilan dan tegaknya hukum al-Qur’an mengajarkan etika peradilan bagi para penegak hukum yaitu: bersikap adil dan objektif, menjauhi suap dan hadiah, menghukum berdasarkan kenyataan yang tampak dan tidak tergesa-gesa di dalam menetapkan putusan. Terakhir manusia harus menegakkan hukum, sesuai dengan ketentuan Allah yang terdapat di dalam kitab-Nya. Bagi mereka yang tidak menghukum dengan ketentuan yang telah ditetapkan berarti mereka sama dengan orang yang kafir, zhalim atau fasiq.

  1. Saran
Berhubung penulis tidak sempat menelusuri seluruh ayat (beserta penafsirannya) yang di sana terdapat kata-kata yang berhubungan dengan penegakan hukum ini, maka demi keutuhan pembahasan, penulis mengharapkan juga ada  peneliti lain yang mau membahas tema ini





















DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Ashfahâniy, Abiy al-Qâsim Al-Husain ibn Muhammad ibn Mufadhdhal, al-ma’ruf bi al-Rhâghib, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002

Al-Baidhâwiy, Nasir al-Dîn abiy Sa’id ‘abd Allâh ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syairhâziy, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, CD. Maktabah al-Syamilah

Al-Bukhâriy, Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Ju’fiy, al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh ‘Alaihi wa Sallam, Beirut : Dar Ibn Katsîr, 1987

Al-Baihaqiy, Abiy Bakr Muhammad ibn Husain ibn ‘Aliy, al-Sunan al-Kubra wa fi Dzailihi al-Jauhar al-Naqiy, Haidrabad: Majlis Dairah al-Ma’arif al-Nizhamiyyah al-Kâinah, 1344 H

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah (Tahqiq),  al-Mu’jam al-Washîth, [t.tp]: Dar al-Da’wah, [t.th]
Ibn Manzur, Al-Imam al-‘Alamah, Lisân al-Arab, Beirut: Dar al-Shadir, [t.th]

Al-Marâghiy, Ahmad Mushthafa, Tafsîr al-Marâghiy, Mesir: Markaz Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Bâbiy al-Halabiy, 1946

Al-Naisbûriy, Muhammad ibn ‘abd Allah Hâkim, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990

Al-Naisaburiy, Muslim bin al-Hajâj Ibn Muslim al-Qusyairiy, al-Jâmi’ al-Musamma bi Shahih al-Muslim, Beirut : Dar al-jail Beirut, [t.th]

Al-Nasa’iy, Abiy ‘abd al-Rahmân Muhammad ibn Syu’aib, al-Mujtaba min al-Sunan, Halb: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, 1986

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2008  

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,  Bandung: Mizan, 1998

Al-Sijistaniy, Dâwud Sulaiman ibn ‘Asy’ats, Sunan abiy Dâwud, Beirut: Dal al-Kutub al-‘Arabiy, [t.th]

Al-Suyûthi, ‘Abd al-Rahmân ibn Kamal Jalâl al-Din, Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Beirut: Dar al-Fikr, 1993
Al-Syaibâniy, Abiy ‘abd Allah Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, Kairo: Mu’assasah al-Qurtubiyyah, [t.th]

Al-Thabariy, Abiy Ja’far Muhammad ibn Jarîr ibn Yazid ibn Katsîr ibn Ghalib al-Amuliy , Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl Ayy al-Qur’an, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000

Al-Tirmidziy, Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurah, Sunan al-Tirmidziy, wa Hua al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘an Rasul Allâh Saw wa Ma’rifah al-Shahih wa Ma’lul wa ma ‘alaih al-‘Amal, Riyad: Dar al-Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, [t.th]

‘Umar, Ahmad Mukhtar, al-Mu’jam al-Maushû’iy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm wa Qirâ’âtuhu, Qism al-Alfadz Riyadh: Muassasah Sutur al-Ma’rifah, 1423

Al-Zuhailiy, Wahbah, Al-Qur’ân al-Karim Bunyânuhu al-Tasyri’iyyat wa Khashâisuhu al-Hadariyyat, Terj. Muhammad Lukman Hakim, Al-Qur’an Paradigma Hukum dan Peradaban, Surabaya: Risalah Gusti, 1996





[1] Al-Imam al-‘Alamah Ibn Manzur, Lisân al-Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, [t.th]), Jilid. Ke- 11, h. 430
[2] Abiy al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad ibn Mufadhdhal, al-ma’rûf bi al-Rhâghib al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 551 
[3] Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah (Tahqiq),  al-Mu’jam al-Washîth, ([t.tp]: Dar al-Da’wah, [t.th]), Juz. ke-2, h. 588
[4] Ahmad Mushthafa al-Marâghiy, Tafsîr al-Marâghiy, (Mesir: Markaz Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Bâbiy al-Halabiy, 1946), Juz. ke-5, h. 69
[5] Adapun makna lain dari kata ini adalah dalam arti ‘seimbang’. Pengertian ini ditemukan di dalam QS. al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, اَلَّذِىْ خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ = [Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan men­jadi­kan [susunan tubuh]mu seimbang).
Selain itu kata ‘adl juga berarti ‘me­me­lihara kewajaran atas ber­lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke­mungkin­an untuk itu’. Dan ini adalah ketika keadilan dinisbahkan kepada Allah.
Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan­dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat,  (Bandung: Mizan, 1998), h. 114-117
[6]  Al-Ashfahâniy, op,cit., h. 248 
[7] Rincian ini dapat dilihat pada Ahmad Mukhtar ‘Umar, al-Mu’jam al-Maushû’iy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm wa Qirâ’âtuhu, Qism al-Alfadz (Riyadh: Muassasah Sutur al-Ma’rifah, 1423), h. 149-150
[8]  Al-Ashfahâniy, op.cit.,  h. 670 
 [9] Ibid
[10] Keadilan sebagai azas pokok di dalam hukum, ini tidak hanya dipandang dari segi proses penegakan hukum. Namun keadilan ini telah dimulai dari prinsip syariat Islam itu sendiri yang menjunjung persamaan, yaitu dengan tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit etnik dan keturunan. Prinsip inilah yang membuat manusia tertarik kepada Islam. Lihat Wahbah al-Zuhailiy, Al-Qur’ân al-Karîm Bunyanuhu al-Tasyri’iyyat wa Khashâisuhu al-Hadariyyât, Terj. Muhammad Lukman Hakim, Al-Qur’an Paradigma Hukum dan Peradaban, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 191
[11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Vol. ke-2, h. 481  
[12] Lihat  ‘Abd al-Rahmân ibn Kamal Jalâl al-Din al-Suyûthi, Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz. ke-2, h. 674
[13] CD. Maktabah al-Syamilah, Nasir al-Dîn abiy Sa’id ‘abd Allâh ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syairhâziy al-Baidhâwiy (selanjutnya ditulis dengan al-Baidhâwiy), Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl (selanjutnya ditulis dengan Asrâr al-Takwîl al-Khâthib), Juz. ke-1, h. 205
[14] Lihat Abiy ‘abd Allah Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâniy, (Selanjutnya ditulis dengan Imam Ahmad), Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Mu’assasah al-Qurtubiyyah, [t.th]), Juz. I, h. 96. atau Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurah al-Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy, wa Hua al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘an Rasul Allâh Saw wa Ma’rifah al-Shahih wa Ma’lul wa ma ‘alaih al-‘Amal, (Riyad: Dar al-Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, [t.th]), Juz. ke-3, h. 618
[15] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op.cit., Vol. ke-2, h. 616   
[16] Al-Marâghiy, op.cit. Juz. ke-5, h. 179
[17] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op.cit., Vol. ke-3, h. 101
[18] Lihat Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Bukhâriy al-Ju’fiy (selanjutnya disebut al-Bukhâriy), al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh ‘Alaihi wa Sallam, (Beirut : Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz. ke-1 h. 27, dan Dâwud Sulaiman ibn ‘Asy’ats al-Sijistaniy, Sunan abiy Dâwud, (Beirut: Dal al-Kutub al-‘Arabiy, [t.th]),  Juz. ke-4, h. 359
[19] Al-Bukhâriy, op.cit., , Juz, ke-3, h. 1366, dan Abiy ‘abd al-Rahmân Muhammad ibn Syu’aib al-Nasa’iy, al-Mujtaba min al-Sunan, (Halb: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, 1986),  Juz. ke-8, h. 72, serta Abiy Bakr Muhammad ibn Husain ibn ‘Aliy al-Baihaqiy (selanjutnya ditulis dengan al-Baihaqiy), al-Sunan al-Kubra wa fi Dzailihi al-Jauhar al-Naqiy, (Haidrabad: Majlis Dairah al-Ma’arif al-Nizhamiyyah al-Kâinah, 1344 H), Juz. 8, h. 281  
[20] Muslim bin al-Hajâj Ibn Muslim al-Qusyairiy al-Naisaburiy (Selanjutnya disebut dengan Muslim), al-Jâmi’ al-Musamma bi Shahih al-Muslim, (Beirut : Dar al-jail Beirut, [t.th]), Juz. ke-5, h. 132
[21] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op.cit., Vol. ke-1, h. 414 
[22] Ibid
[23] Muhammad ibn ‘abd Allah Hâkim al-Naisbûriy (selanjutnya ditulis dengan al-Hâkim), al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), Juz. ke-4, h. 115
[24]  Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op.cit., Vol. ke-10, h. 222 
[25] Adapun kisah yang dimaksud adalah Asbab al-Nuzul dari QS. Al-Hujurat: 6, di mana al-Harits ibn Dharar mengahadap kepada Rasul, kemudian beliau memeluk Islam dan membayar zakat. Setelah itu beliau meminta izin kepada Rasul untuk kembali kepada kaumnya dengan tujuan mengajak kaumnya tersebut memeluk Islam dan membayar zakat. Dan beliau juga meminta kepada Rasul agar nanti mengirim utusan untuk mengambil zakat yang akan beliau kumpulkan.
Setelah al-Harits  berhasil mengumpulkan zakat dari kaumnya, waktu yang telah dijanjikanpun tiba namun ternyata utusan Rasul tidak juga kunjung datang, sehingga ia menyangka Rasul marah kepadanya.
Berdasarkan hal tersebut ia memutuskan untuk langsung berangkat mengantarkan zakat tersebut kepada Rasul. Pada waktu bersamaan Rasul juga mengutus al-Walid ibn ‘Uqbah untuk mengambil zakat tersebut. Tetapi setelah separoh jalan, ia kembali menghadap kepada Rasul saw dan mengatakan: “Sesungguhnya al-Harits menolak untuk membayar zakatnya kepadaku, bahka ia hampir saja membunuhku” Maka rasul kembali membentuk utusan yang baru untuk dikirim kepada Harits. Tetapi ketika utusan itu baru keluar dari Rasul, tiba-tiba datanglah Harits bersama rombongannya dan berpapasan dengan  utusan tersebut. Lalu Harits berkata kepada utusan tersebut: “Hendak kemanakah kalian diutus?” Mereka menjawab: “Kami diutus untuk menemuimu”, harits kembali bertanya: “Mengapa?” Mereka berkata; “sesungguhnya Rasul telah mengutus kepadamu al-Walid ibn ‘Uqbah, lalu ia melaporkan bahwa kamu tidak mau membayar zakatmu kepadanya dan bahkan kamu hendak membunuhnya”
              Harits berkata: “Tidak demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan membawa perkara yang haq, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula pernah aku kedatangannya”Ketika harits menghadap Rasul, maka Rasul berkata: “Kamu tidak mau membayar zakat, dan bahkan kamu bermaksud untuk membunuh utusanku”. Harits menjawab:  “Tidak, demi Allah yang telah mengutusmu dengan membawa perkara yang haq” Sehingga turunlah ayat ini.  Lihat al-Suyuthiy, op.cit, Juz. ke-7, h. 557 
[26] Al-Maraghiy, op. cit. Juz. ke-5, h. 72  
[27] Quraish Shihab, op. cit, juz. ke-1, h. 456  
[28] Abiy Ja’far Muhammad ibn Jarîr ibn Yazid ibn Katsîr ibn Ghalib al-Thabariy al-Amuliy , Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl Ayy al-Qur’an, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000), Juz. ke-10, h. 332-357

2 komentar:

  1. izin copas yah, syukron tulisanx sangat membantu.

    BalasHapus

  2. LegendaQQ.Net

    Pilihan Terbaik Untuk Permainan Kartu Sang LEGENDARIS !!!
    Min Depo 20Rb !!!
    Kartu Para Sang LEGENDA !!!
    WinRate Tertinggi !!!


    Kami Hadirkan 7 Permainan 100% FairPlay :

    - Domino99
    - BandarQ
    - Poker
    - AduQ
    - Capsa Susun
    - Bandar Poker
    - Sakong Online

    Fasilitas BANK yang di sediakan :

    - BCA
    - Mandiri
    - BNI
    - BRI
    - Danamon

    Tunggu apalagi Boss !!! langsung daftarkan diri anda di Legenda QQ

    Ubah mimpi anda menjadi kenyataan bersama kami !!!
    Dengan Minimal Deposit dan Raih WD sebesar" nya !!!

    Contact Us :
    + live chat : legendapelangi.com
    + Skype : Legenda QQ
    + BBM : 2AE190C9

    BalasHapus