Rabu, 02 November 2011

DAKWAH MENURUT AL-QUR'AN


DA’WAH[1] MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN

A.    Pendahuluan
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang pandangan al-Qur’an mengenai da’wah, yang meliputi pengertian da’wah, metodologi da’wah, objek da’wah serta tujuannya.
Pembahasan akan dimulai dengan penjelasan mengenai definisi da’wah, kemudian barulah masuk ke dalam pembahasan pokok dari makalah ini, seperti term-term yang dipakai al-Qur’an untuk menunjukkan da’wah, pelaku, objek dan materi da’wah menurut al-Qur’an serta metodologi da’wah tersebut.
Untuk menjelaskan berbagai istilah-istilah penting  yang berhubungan dengan ayat al-Qur’an penulis akan lebih banyak merujuk ke dalam kitab Mufradât Alfâdz al-Qur’ân karya Râghib al-Ashfahâniy. Dan untuk mendapatkan ayat-ayat yang berhubungan dengan da’wah ini penulis menggunakan kitab bantu Mu’jam mufahrasy li Alfâdz al-Qur’an karya Muhammad Fuad ‘abd al-Baqiy dan kitab Mu’jam al-Mausû’iy li Alfâdz al-Qur’ân. Sedangkan untuk melihat penafsirannya penulis akan merujuk ke dalam berbagai kitab tafsir seperti Tafsîr al-Misbah, Tafsîr al-Marâghiy dan Tafsîr ibn Katsîr serta berbagai kitab tafsir lainnya.
B.     Da’wah Menurut Pespektif al-Qur’an
1.      Pengertian Da’wah
1
 
Kata da’wah telah menjadi bahasa Indonesia, dakwah, yang berarti mengajak (menyeru) untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam.[2] Dalam bahasa Arab berakar kata dengan huruf د، ع، و (dal, ain, dan waw) yang berarti dasar kecenderungan sesuatu disebabkan suara dan kata-kata.[3] Dari akar kata ini terangkai menjadi asal kata da’a–yad’u-da’watan, yang memiliki beberapa arti di antaranya: a. Al-da’wah ila al-tha’âm (memanggil makan), b. Da’a lahu (berdo’a/menyeru), c. Da’ahu fi ishlah al-Dîn (mengajak kepada kebaikan agama). Kata da’a-yad’u-du’âan, da’wahu, berarti menyerunya. Kemudian dari kata da’i, jamak da’ât, muannats-nya dâ’iyah, jamak-nya dâ’iyât, berarti orang yang mengajak manusia kepada agama yang dianutnya atau kepada mazhabnya.[4]  
Secara istilah, kata da’wah berarti menyeru atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mungkar yang dilarang oleh Allah Swt dan rasul-Nya agar manusia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ini sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Ali Mahfûzh (murid Syaikh Muhammad ‘Abduh, sebagai pencetus gagasan dan penyusunan pola ilmiah ilmu da’wah) seperti pada kutipan berikut ini:
حث الناس على الخير و الهدى و الامر بالمعروف و النهي عن المنكر ليفوزوا بسعادة العاجل والأجل
Artinya:
Mendorong manusia berbuat kebaikan dan petunjuk, menyuruh berbuat ma’ruf dan maencegah dari perbuatan yang mungkar, supaya mereka memperoleh keberuntungan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”[5]
Di samping definisi di atas, Bahi al-Khuliy juga mendefinisikan da’wah, yaitu memindahkan situasi manusia kepada situasi yang lebih baik.[6]  Sedangkan Muhammad ‘Abduh mendefinisikan da’wah dengan ishlah, yaitu memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang mukmin untuk memeluk Islam.[7]
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa da’wah adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang bertujuan untuk mengajak manusia kepada Islam dan berakhlak mulia agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.      Term-term yang Digunakan al-Qur’an dalam menunjukkan  da’wah
Di dalam al-Qur’an, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan erat dengan da’wah ini, di antaranya adalah da’wah, nida’ dan tablîgh.
    Kata da’wah dan berbagai turunannya di dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 211 buah, dengan rincian dalam bentuk mashdar 10 kali, fi’il madhi  sebanyak 30 kali, fi’il mudhâri’ sebnyak 112 kali, isim fâ’il sebanyak 7 kali dan yan seakar dengan kata du’a sebanyak 20 kali.[8]
Namun dari keselurahan ayat yang mengandung kata da’wah dan turunannya ini, tidak semuanya yang bermakna ajakan seseorang terhadap orang lain kepada kebaikan (sebagaimana yang menjadi topik pembahsan pada makalah ini), melainkan juga ada yang bermakna do’a dan permohonan seseorang kepada Allah, seperti yang terdapat di dalam QS. al-Baqarah: 186, Yunus: 10, al-Ra’du: 14,  Ibrahim: 44, al-Anbiyâ’: 15 serta al-Rûm: 25, atau ajakan ke neraka, yang pelakunya syetan seperti yang terdapat dalam QS. Fathir: 6, dan ajakan kepada selain jalan Allah yang pelakunya adalah musuh-musuh nabi seperti pada QS. Al-Qamar: 6,  ataupun ajakan orang musyrik sebagaimana pada QS. Al-Baqarah: 221, serta  ajakan Allah untuk masuk sorga sebagaimana yang terdapat pada QS. Yunus: 25.
   Sedangkan kata nidâ’ berasal dari kata nâda-yunâdi yang pada dasarnya berarti meninggikan dan menjelaskan suara. Namun ia di dalam ayat al-Qur’an juga dipakai untuk makna seruan untuk beriman kepada Allah[9]
Kata nida’ dan berbagai turunannya di dalam al-Qur’an terdapat sebanyak 53 kali, ada yang dalam bentuk mashdar, fi’il mâdhi, fi’il mudhâri’ dan isim fâ’il.[10] Namun dari keselurahan ayat yang mengandung kata nida’ dan turunannya ini, tidak semuanya yang bermakna ajakan seseorang terhadap orang lain kepada kebaikan (sebagaimana yang menjadi topik pembahsan pada makalah ini), melainkan hanya sebagaian kecil saja. Di sana ada yang bermakna do’a kepada Allah, seperti yang terdapat di dalam QS. Maryam: 3,  atau ajakan untuk shalat/azan (QS. Al-Maidah: 85), memanggil dengan suara lantang (QS. al-Qalam: 48), hari kiamat (QS. Ghafir: 32), memanggil (QS. Fushshilat: 44), majlis manusia (QS. Al-Angkabut: 29 dan Maryam: 73) dan makna lainnya. [11]
Adapun kata tablîgh merupakan mashdar dari kata ballagha-yuballighu yang di dalam al-Qur’an berarti menyampaikan sesuatu berita. Kata  Ini merupakan turunan dari kata balagha, yablughu. Adapun kata balagha itu sendiri di dalam al-Qur’an bermakna sampainya sesuatu kepada yang dimaksud.[12]   
Kata balagha dan berbagai turunannya di dalam al-Qur’an terdapat + sebanyak 77 kali, ada yang dalam bentuk mashdar, fi’il madhi, fi’il mudhâri’ dan isim fâ’il, dalam bentuk mufrad maupun tsulatsi mazid .[13]
Namun dari keselurahan ayat yang mengandung kata balagha/tablîgh dan turunannya ini, tidak semuanya yang bermakna ajakan seseorang terhadap orang lain kepada kebaikan (sebagaimana yang menjadi topik pembahsan pada makalah ini), melainkan hanya sebagaian kecil saja. Di sana ada yang bermakna: titik puncak (puncak rasa takut) seperti pada ayat QS. al-Ahzâb: 10, hampir (hampir sampai ajal) pada QS. al-Thalaq: 2, usia baligh seperti pada QS. al-Qashash: 14, dan akhir sesuatu atau tujuan seperti pada QS. al-Najm: 30) dan makna lainnya.[14]
3.      Kewajiban dan Urgensi Da’wah
Da’wah memiliki nilai yang sangat urgen terhadap perkembangan agama. Untuk itu ayat al-Qur’an sangat menekankan kepada umat manusia untuk selalu terlibat langsung di dalam proses da’wah tersebut, baik individual maupun kolektif. Allah berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(Q.S. Ali Imran/3: 104)
Jika من /min dalam ayat di atas (minkum) adalah min bayaniyah, maka da’wah menjadi kewajiban setiap orang (individual), tapi jika min itu adalah min tab’idhiyyah (menyatakan sebagian) maka da’wah menjadi kewajiban kolektif umat atau fardhu kifayah. Kedua pengertian itu dapat digunakan sekaligus. Untuk hal-hal yang mampu dilakukan secara individual (fardhu ‘ain), sedangkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan secara kolektif, maka da’wah menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Setiap orang wajib ber-da’wah, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara pasif dalam arti diri dan kehidupannya dapat menjadi contoh hidup dari keluhuran dan keutamaan ajaran Islam.
Kewajiban setiap individu ber-da’wah, di samping dinyatakan oleh ayat di atas juga ditegaskan oleh Rasul Allah SAW.
بلغوا عني ولو آية[15]
“Sampaikanlah yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat...”
Seruan para pengemban da’wah kepada Islam juga dipuji oleh Allah SWT. Padahal tidak ada pujian yang lebih berharga selain pujian dari-Nya. Dia SWT berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’.” (Qs. Fushshilat: 33).
Dalam kitabnya Sayyid Quthub menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Kalimat-kalimat da’wah yang diucapkan sang da’i adalah paling baiknya kalimat, ia berada pada barisan pertama di antara kalimat-kalimat yang baik yang mendaki ke langit.”[16]
Disamping perintah langsung dan ungkapan pujian bagi para pelaku da’wah, Allah juga menyampaikan janji-janji kesenangan bagi para pelaku da’wah ataupun ancaman bagi mereka yang melalaikannya. Di antara janji Allah tersebut adalah:
a.       Allah akan meninggikan derajat para pelaku da’wah sebagaimana QS. Ali Imran: 110.[17] Di dalam ayat Ini Allah menjelaskan bahwa umat Nabi memiliki derajat sebagai umat terbaik. Salah satu yang menjadikan mereka umat terbaik, selain karena faktor iman adalah karena faktor kesediaan mereka untuk melaksanakan da’wah, yaitu menyeru kepada kebaikan dan berperan aktif mencegah kemungkaran. Selain itu Nabi juga mengungkapkan bahwa  bagi mereka yang mau membentangkan jalan kebaikan, sehingga oran lain mau menngikuti jalan tersebut (ber-da’wah),  dijanjikan kebaikan sebagaimana kebaikan bagi mereka yang mengikuti jalan mereka tersebut.[18]  
b.      Dengan ber-da’wah akan terhindar dari kebinasaan dan laknat Allah. Bukti sejarah telah memperlihatkan bagaimana Allah telah membinasahkan Fir'aun beserta orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya. Demikian juga bagaimana Allah telah melaknat Bani Isra’il karena keengganan mereka untuk ber-da’wah (QS. al-Maidah: 78-79). Serta dengan ber-da’wah akan menghindarkan manusia dari kerugian (QS. al-‘Ashr: 3)
4.      Pelaku, Objek dan Tujuan Da’wah Menurut al-Qur’an
Di antara pelaku da’wah yang dijelaskan al-Qur’an adalah para nabi (termasuk Nabi Muhammad) dan ummat Islam.  
Di dalam Qs. Al-Syura: 15 Allah menyuruh kepada Rasul untuk menyeru umatnya agar bersatu dan beristiqamah di jalan Allah serta tetap istiqamah di dalam ber-da’wah tersebut.[19] Begitu juga  di dalam Surat al-Qashash: 87 Nabi Muhammad disuruh oleh Allah untuk ber-da’wah kepada orang musyrik.
Adapun kewajiban ber-da’wah bagi umat  Islam seperti yang terdapat di dalam QS. Ali ‘Imran: 104. Di dalam ayat tersebut Allah menyeru umat Islam agar ada segolongan umat dari mereka yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh hal-hal yang ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya ada yang memahami ayat ini memerintahkan berd’wah kepada umat Islam yang hukumnya fardhu kifayah, dan ada pula yang menganggapnya fardhu ain (kewajiaban bagi tiap indifidu). Selain dari ayat di atas pada ayat 110 dari surat ali ‘Imran juga mengisyaratkan bahwa pelaku da’wah adalah umat Islam, sehinggga Allah memuji mereka dengan sebutan khaira ummah (umat terbaik).
Dikarenakan kedua ayat di atas datang dalam bentuk jama’ yaitu kata كم (kalian) dan تم  (kalian), bahkan ada kata امة, maka ada yang memahami bahwa da’wah yang dilakukan tersebut hendaknya dilakukan secara terorganisir, bukan sendiri-sendiri. Ini semua tergambar di dalam kehidupan Nabi sendiri, di mana di dalam ber-da’wah beliau bukan mengandalkan kekuatan beliau sendiri, melainkan juga andil dari para sahabat lainnya.[20]   
Sedangkan objek da’wah, di dalam al-Qur'an, ini lebih banyak di-mahzuf-kan (tidak diungkapkan dengan jelas) dari pada disebutkan secara jelas, kecuali dalam surat 46:31 disebutkan dengan istilah qaumana. Qaum secara bahasa adalah sekelompok manusia yang berhimpun (bersatu) lantaran ada dasar atau alasan yang sama untuk berhimpun dalam suatu kelompok.[21] Namun jika dirujuk kepada ayat sebelumnya,  yaitu ayat 29 clan 30 (dalam surat yang sama), maka akan diketahui bahwa qaum yang dimaksud di sini bukanlah manusia. Kedua ayat itu menjelaskan bagaimana sekelompok jin menerima pesan al-Qur'an, setelah dihadapkan Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw. Jin itu menerima pesan-­pesan al-Qur'an dari Muhammad, kemudian mereka berkewajiban menyampaikan pesan al-Qur'an tersebut kepada kelompok jin lainnya. Maka yang dimaksudkan dengan qaum dalam ayat itu ialah kelompok jin yang mendengarkan ajaran al-Qur'an dari kelompok jin lain yang secara langsung menerima ajaran al-Qur'an dari Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian kata qaum yang terdapat dalam surat 46:31 itu bukan berarti sekelompok manusia, tetapi dimaksudkan di situ adalah kelompok jin.
Dari uraian di atas kesan yang dapat diambil adalah, dengan tidak disebutkannya objek da’wah secara jelas, kecuali dalam surat 46:31, bahwa objek da’wah itu adalah seluruh umat manusia. Hal ini tampaknya suatu yang sudah dimaklumi. Sedangkan dalam surat 46:31 disebutkan dengan istilah qaumana, hat ini menunjukkan bahwa selain manusia ada objek da’wah yang lain yaitu jin.
Meski demikian di dalam al-Qur’an tidak ada  keterangan lebih lanjut mengenai bagaimana ber-da’wah kepada jin ini. Sehingga dapat dipahami bahwa ber-da’wah kepada jin bukanlah merupakan sebuah kewajiban manusia.
Sedangkan untuk menjelaskan tujuan dan materi da’wah al-Qur’an mengungkapkannya dengan berbagai term, di antarannya: khair, ma’rûf, sabîli rabbika, dan rabbika, al-Islâm.
Di antara ayat yang mengungkapkan dengan kata khair adalah pada QS. Ali ‘Imran: 104. Imam Ibnu Katsîr dalam kitab tafsirnya menjelaskan kata “al-khair”  di dalam QS. Ali ‘Imran: 104 -berdasarkan hadîts nabi- adalah bermakna al-Qur’an dan al-Sunnah,[22] Sehingga Quraish Shihab mengartikan khair dengan nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.[23] sedangkan tafsir Jalalain menjelaskan maksud dari kata “al-khair” adalah Islam.[24]
Sedangkan ma’rûf  adala seuatu yang baik menurut pandangan umum masyarakat, sejauh hal itu sejalan dengan al-Khair (kebenaran universal yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah.[25]
Adapun kata sabîli Rabbika terdapat dalam QS. al-Nahl: 125. Kata Sabîli rabbika  diartikan oleh Quraish Shihab dengan ajaran Islam.[26] Dan terkadang Jalan Allah ini diungkapkan dengan kata Rabb saja seperti pada QS. al-Hajj: 67 dan al-Qashash: 87, yang maknanya juga sama yaitu Islam. Atau terkadanng diungkapkan langsung dengan kata al-Islâm, sebagaimana yang terdapat di dalam QS. al-Shaf: 7.
Berdasarkan Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa da’wah tersebut memiliki dua tujuan yaitu: a. mengajak untuk memeluk agama Islam. Ini objeknya adalah mereka yang belum memeluk Islam. dan b. mengajak untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan yang universal yang sesuai dengan ajaran Islam sebagamana yang tedapat di dalam al-Qur’an dan al-sunnah. Baik kebenaran itu telah dikenal oleh masyrakat umum maupun belum.
5.      Metode[27] Da’wah menurut al-Qur’an
Supaya da’wah bisa berjalan sukses maka harus dilakukan dengan cara-cara atau metodologi yang tepat. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bagaimana cara seseorang tersebut mengajak orang lain kepada apa-apa yang telah digariskan oleh Allah. Di antara ayat tersebut adalah QS. al-Nahl: 125 berikut:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Berdasarkan ayat ini, setidakna ada tiga metode da’wah yang mesti dikembangkan, yaitu: Metode hikmah, metode Mau’izhah al-hasanah dan mujadalah allati hia ahsan. Menurut al-Râziy ayat di atas berisikan perintah dari Allah kepada Rasulnya untuk menyeru manusia kepada Islam dengan salah satu dari tiga cara di atas.[28] Pendapat di atas dipertegas oleh Sayyid Quthub, bahwa upaya membawa orang lain kepada Islam hanyalah melalui metode yang telah ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an.[29] Ketiga metode di atas disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang dihadapi. Namun bukan berarti masing-masing metode tertuju untuk masyarakat tertentu pula, akan tetapi secara  prinsip semua metode dapat dipergunakan kepada semua masyrakat.[30]    
a.       Metode hikmah
Kata hikmah berasal dari bahasa Arab yang akar katanya ha-ka-ma, bentuk jama’-nya hikam, yaitu pengetahuan yang mengandung kebenaran dan mendalam.[31]  Kata hikmah di dalam al-Qur’an memiliki makna yang berfariasi,[32] namun setidaknya para ulama telah menjelaskan makna hikmah yang terdapat di dalam QS. al-Nahl: 125, yang memiliki kaitan erat dengan metode da’wah ini. Menurut al-Râziy makna hikmah di dalam ayat ini adalah hujjah yang qath’i,[33] al-Thabariy mengartikannya dengan wahyu yang diberikan kepada nabi Muhammad, [34] al-Marâghiy mengartikannya dengan المقالة المحكمة با الدليل الموضح المحيل الشبهة[35] (perkataan yang benar lagi tegas dengan menggunakan dalil yang menjelaskan dan menghilangkan keraguan).
Adapun Sayyid Quthub menjelaskan  bahwa da’wah bi al-hikmah adalah ber-da’wah dengan memperhatikan keadaan serta tingkat kecerdasan penerima da’wah, memperhatikan kadar materi da’wah yang disampaikan kepada audiens, sehingga ia tidak dibebani oleh materi da’wah tersebut, karena belum siap mental untuk menerimanya. Memperhatikan cara menyampaikan da’wah dengan perasaan, tidak memancing kemarahan, penolakan, kecemburuan, dan terkesan  berlebih-lebihan sehingga tidak mengandung hikmah di dalamnya.[36] Dalam Tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan hikmah antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Dia adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga berarti sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau yang lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang besar atau yang lebih besar.[37]
Memperhatian seluruh penafsiran di atas, dapat disimpulkan bahwa metode da’wah bi al-hikmah adalah metode da’wah yang menggunakan ilmu, dengan bahasa yang menyentuh, sesuai dengan kedaan orang yang diseru, serta berdasarkan kebenaran, baik secara akal maupun nilai al-Qur’an.
Di antara bentuk da’wah bi al-hikmah adalah ber-da’wah dengan lemah lembut. Ini sebagaimana yang telah diperintahkan Allah kepada Nabinya Musa dan Harun untuk menyeru Fir’aun, QS. Thoha: 42-44:
اذْهَبْ أَنْتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلا تَنِيَا فِي ذِكْرِي .اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Artinya:
Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku; Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, Sesungguhnya dia Telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".

b.      Metode Mau’izhah al-hasanah
Kata mau’izhah adalah perubahan kata dari akar kata dasar wa-‘a-zha ayang artinya memberi nasehat, memberi peringatan, kepada seseorang dengan menjelaskan akibat-akibat dari sesuatu.[38] 
Sedangkan yang dimaksud dengan da’wah bi al-mau’izhah al-hasannah menurut Sayyid Quthub adalah da’wah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk ke dalam perasaan dengan lemah lembut. Tidak berskap menghardik, memarahi dan mengancam dalam hal-hal yang tidak perlu, tidak membuka aib atas kesalahan-kesalahan mereka yang diseru. Oleh karena itu sikap lemah lembut dalam menyampaikan ajaran Islam kepada mereka, pada  umumnya mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci serta mendatangkan kebaikan.[39] Selain itu beliau juga mengartikan mau’izhah dengan nasehat dan pengajaran yang diberikan kepada masyarakat umum yang bersifat menggembirakan dengan mengemukakan kebaikan Islam.[40]
Di samping itu juga ada mufassir yang mengartikan mau’izhah dengan argumentasi yang dapat menanamkan keyakinan dan mudah dicerna oleh umum. Ini seperti yang dikemukakan al-Râziy dan al-Maraghiy.[41]
Berdasarkan penafsiran-penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mau’izhah di dalam da’wah adalah mengajak dengan cara mengemukakan argumentasi yang dapat menyenangkan mereka yang diseru, atau justru sebaliknya, memberi peringatan yang dapat membuat mereka jera melakukan kemaksiatan.
c.       Metode mujadalah al-lati hia ahsan
Kata mujadalah pada dasarnya bermakna berbantah atau berdebat. Di dalam al-Qur’an ada yang bermakna positif, dan juga ada yang bermakna negatif (berbantah yang membawa kepada pertikaian). Sedangan makna mujadalah di dalam QS. al-Nahl: 125, menurut ahli tafsir adalah mujadalah yang tidak membawa kepada pertikaian. Seorang yang ber-da’wah apabila dibantah tentang suatu pesan yang disampaikannya, ia harus memberi sanggahan (jawaban) terhadap bantahan tersebut, jika disanggah untuk kesekian kalinya iapun harus memberikan jawaban argumentasi yang lebih jelas sehingga sampai pada suatu kebenaran, bahkan jawaban yang diberikan dapat memuaskan orang banyak.[42] Al-Biqa’iy menafsirkan  mujadalah di sini dengan usaha mengeluarkan mereka yang diseru dari faham yang bathil tersebut dengan mengemukakan berbagai hujjah. Dan di dalam menyampaikan hujjah dan argumen tersebut mestilah dengan cara lemah lembut, halus dan tenang. [43]
   Disamping tiga metode da’wah di atas, seorang juru da’wah juga memperhatikan beberapa hal, diantaranya:
a.       Bersabar dalam da’wah
Ketika da’wah tidak segera mendapat respon dari masyarakat, maka Allah mengingatkan kepada nabi dan umumnya kepada da’i bahwa tugas mereka bukanlah memastikan orang yang diseru tersebut mejadi seuatu yang diharapkan Allah, melainkan mereka hanya bertugas sebagai balâgh  dan nazîr (pemberi peringatan). Allah-pun mengingatkan bahwa rintangan,  dan penolakan da’wah itu tidak hanya terjadi pada nabi Muhammad  dan umatnya saja melainkan hal ini juga dialami oleh nabi-nabi sebelumnya (QS. Ali Imran: 184), dan nabi-nabi itupun bersabar mengahadapinya sebagaimana pada QS. Al-An’am: 34 berikut:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
 Artinya:
Dan Sesungguhnya Telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. dan Sesungguhnya Telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.
b.      Ikhlas dan melakukan pendekatan emosional.
Di dalam mengajak ke dalam agama Allah, dan menyampaikan peringatan, para Nabi Allah selalu menegaskan bahwa mereka ber-da’wah, bukan karena motif materi, melainkan mereka melakukannya dengan penuh rasa kasih sayang terhadap umatnya. Ini dapat dilihat di dalam banyak ayat, bahwa para nabi setiap kali ber-da’wah kepada umatnya selalu mengungkapkan bahwa mereka ber-da’wah tersebut bukan mengharapkan imabalan materi. Salah satunya seperti yang tampak pada QS. Al-Syura: 23  berikut ini:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
Artinya:
“... Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan ...”
Adapun makna ayat ini menurut Sayyid Quthub adalah bahwa Nabi di dalam ber-da’wah tidak mengharapkan imbalan. Da’wah yang beliau lakukan hanyalah didorong oleh rasa kasih sayang dan kedekatan Rasul dengan mereka.[44] Ungkapan bahwa nabi berda’wah tersebut tidak mengharapkan imbalan ini merupakan bentuk usaha nabi melakukan pendekatan emosional dengan orang yang beliau seru, beliau tidak mengharapkan imbalan materi dari mereka, sebagaimana yang mereka persangkakan, melainkan itu semua ia lakukan semata-mata demi kebahagiaan mereka. Ungkapan seperti ini tidak hanya berhubungan dengan nabi Muhammad, melainkan juga nabi-nabi sebelumnya seperti Nuh (QS. Hud: 29), Musa (QS. Al-syura’: 26) dan nabi-nabi lainnya.

C. Penutup
  1. Kesimpulan
Dari pembahasan singkat terhadap ayat-ayat al-Qur’an mengenai da’wah dapat disimpulkan bahwa:
a.       Da’wah merupakan sesuatu yang diwajibkan Allah kepada Para Nabi dan Ummatnya, termasuk umat Islam di manapun dan kapanpun. Yaitu dengan tujuan membawa manusia semuanya ke dalam agama Islam dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai Islam
b.      Supaya da’wah berjalan sesuai dengan yang diharapkan, mestilah dilakukan dengan metode yang diajarkan. Di antaranya dengan hikmah, mau’izhah, mujadalah yang baik. Selain itu juga harus dibarengi dengan kesabaran dan keikhlasan dari seorang da’i.
  1. Saran
Berhubung penulis tidak sempat menelusuri seluruh ayat (beserta penafsirannya) yang di sana terdapat kata-kata yang berhubungan dengan da’wah ini, maka demi keutuhan pembahasan, penulis mengharapkan juga ada  peneliti lain yang mau membahas tema ini

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Ashfahâniy, Abiy al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad ibn Mufadhdhal, al-ma’rûf bi al-Rhâghib, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002

‘Abd al-Bâqiy, Muhammad Fu’ad, Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm, Qahirah: Dar al-Hadîts, 1364H

Al-Biqa’iy, Burhan al-Dîn abiy al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar,  Nazm al-Durar fi Tanâsub al-Ayat  wa al-Suwar, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H

Al-Bukhâriy, Abiyy ‘abd Allah Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ja’fiy, al-Jâmi’ al-Shahih al-Mukhtashar  al-Musnad min Hadits Rasûl Allah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Beirut: dar ibn Katsir, 187)

Ibn Faris, Abiy al-Husain Ahmad ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, tahqiq ‘abd al-Salam Muhammad Harun, Beirut: Dar al-Fikr, 1979

Ibn Katsîr, Abu al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar al-Qursyiy al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, Tahqiq Sami Muhammad Salamah, Majma’ al-Mulk Fahd: Dar al-Thayyibah, 1999

Al-Mahalliy, Jalâl al-Dîn Ahmad ibn Muhammad dan Jalâl al-Dîn ‘abd  al-Rahmân ibn Abiy Bakr  al-Suyûthiy, Tafsîr Jalaian, Qahirah: Dar al-Hadits, [t.th]

Mushthafa, Ibrahim, dkk, al-Mu’jam al-Washîth, Istanbul: Dar al-Da’wah, 1989

Al-Naisabbûriy, Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi,  al-Jâmi’ al-Shahih al-Musamma bi Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Jail, [t.th]

Quthub, Sayyid, fi Zhilâl al-Qur’ân, Kairo: Dar al-Syuruq, [t.th]

Al-Râziy, Fakh al-Dîn Muhammad ibn ‘umar al-Tamimiy al-Syafi’iy, Mafâtih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2000

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2008

Syahruddin, Amir, dkk, Capita Selekta Da’wah, Jakarta: kartika Insan Lestari, 2003

Al-Thabariy, Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir, Jami' al Bayan Li Ta'wil Ay  al-Qur'an, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000

Al-Thabathaba’iy, Muhammad Husain,  al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1991

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990

‘Umar, Ahmad Mukhtar, al-Mu’jam al-Maushû’iy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm wa Qirâ’âtuhu, Qism al-Alfadz, Riyadh: Muassasah Sutur al-Ma’rifah, 1423 H

Al-Zamakhasyariy, Abiy al-Qâsim Muhammad ibn ‘Umar al-Khawarizmiy, Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl, Beirut: dar al-Ihyâ’ al-Turâts, [t.th]


[1] Meskipun di dalam kamus bahasa Indonesia penulisan katanya adalah “dakwah”, namun di alam makalah ini penulis mengikuti pedoman transliterasi dengan penulisan da’wah, karena kata ini di dalam bahasa Arab terdiri dari tiga huruf yaitu: د - ع - و
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-3, Jilid. 2,  h. 181
[3] Abiy al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyya, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, tahqiq ‘abd al-Salam Muhammad Harun (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), Juz. 2, h. 279
[4] Ibrahim Mushthafa, dkk, al-Mu’jam al-Washîth, (Istanbul: Dar al-Da’wah, 1989), h. 286 
[5] Sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syahruddin, dkk, dari kitab Ali Mahfûdz, Hidayah al-Mursyidin, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1952), h. 18, Lihat. Amir Syahruddin, dkk, Capita Selekta Da’wah, (Jakarta: Kartika Insan Lestari, 2003), h. 7
[6] Ini sebagaimana yang dikutip oleh Amir Syahruddin, dkk, dari kitab Muhammad al-Bahi al-Khuliy, Tazkirah al-Dhu’ah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1978), h. 27, Lihat. Ibid
[7] Ibid.
[8] Muhammad Fu’ad ‘abd al-Bâqiy, Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm, (Qahirah: Dar al-Hadîts, 1364H), h. 257-260
[9]  Abiy al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad ibn Mufadhdhal, al-ma’rûf bi al-Rhâghib al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâz al-Qur’ân, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 796
[10] ‘Abd al-Bâqiy, op.cit., h. 691
[11] Rincian ini dapat dilihat pada Ahmad Mukhtar ‘Umar, al-Mu’jam al-Maushû’iy li Alfâdz al-Qur’ân al-Karîm wa Qirâ’âtuhu, Qism al-Alfadz (Riyadh: Muassasah Sutur al-Ma’rifah, 1423), h. 437-438
[12] Al-Ashfahâniy, op.cit., h. 144
[13] ‘Abd al-Bâqiy, op.cit., h. 134-135
[14]  Ahmad Mukhtar ‘Umar, op.cit., h. 101
[15] Abiy ‘abd Allah Muhammad ibn Ismâ’îl al-Bukhâriy al-Ja’fiy, al-Jâmi’ al-Shahih al-Mukhtashar  al-Musnad min Hadîts Rasûl Allah wa Sunanihi wa Ayyamihi, (Beirut: dar ibn Katsir, 187), Juz. 3, h. 3274
[16] Sayyid Qutub, fi Zhilâl al-Qur’ân, (Kairo: Dar al-Syuruq, [t.th]), Jld. h
[17] Redaksi ayatnya adalah seperti berikut ini:
كنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Artinya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.
[18] Adapun hadits yang dimaksud adalah:
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ
Lihat. Muslim ibn al-Hajjaj ibn Muslim al-Qusyairi al-Naisabbûriy,  al-Jâmi’ al-Shahih al-Musamma bi Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail, [t.th]), Juz. ke 3, h. 86
[19] Adapun redaksi ayatnya adalah:
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آَمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
Artinya:
Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".
[20] Amir Syahruddin, dkk, op.cit., h. 18
[21]  Ibrahim Mushthafa, op.cit., h. 27
[22] Abu al-Fidâ’ Ismâ’îl ibn ‘Umar ibn Katsîr al-Qursyiy al-Dimasyqiy (selanjutnya ditulis dengan ibn Katsîr), Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, Tahqiq Sami Muhammad Salamah, (Majma’ al-Mulk Fahd: Dar al-Thayyibah, 1999), Juz. 2, h.175 
[23] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Vol. 2, h. 175
[24] Jalâl al-Dîn Ahmad ibn Muhammad al-Mahalliy dan Jalâl al-Dîn ‘abd  al-Rahmân ibn Abiy Bakr  al-Suyûthiy, Tafsîr Jalaian, (Qahirah: Dar al-Hadits, [t.th]), cet. I, h. 63 
[25] M. Quraish Shihab, lo.cit.
[26] Ibid. Vol. 7,  h. 383
[27] Kata metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Di dalam bahasa  Inggris ditulis dengan method yaitu: a way of doing anything…. Sedangkan di dalam bahasa Arab disebut dengan Sedangkan di dalam bahasa Arab disebut dengan thariqat dan Minhaj. Adapun di dalam bahasa Indonesia kata ini berarti cara yang teratur dan berfikir baik-baik untuk mencapai maksud; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan sesuatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode da’wah di sini adalah cara kerja da’wah yang dapat mengantarkan kepada tujuan dari da’wah itu sendiri.   
[28] Sebagaimana pada ungkapan beliau berikut ini:
واعلم أنه تعالى أمر رسوله أن يدعو الناس بأحد هذه الطرق الثلاثة وهي الحكمة والموعظة الحسنة والمجادلة بالطريق الأحسن
Fakh al-Dîn Muhammad ibn ‘Umar al-Tamîmiy al-Râziy al-Syafi’iy, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah, 2000), Juz. 20, h. 111
[29] Sayyid Qutub, op.cit., , Jld. h. 
[30] Muhammad Husain al-Thabathaba’iy,  al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), Juz. XII, h. 372-373  
[31] Ibrahim Mushthafa, op.cit., h. 190
[32] Di antara makna hikmah di dalam al-Qur’an adalah suatu pelajaran yang diberikan oleh Allah yang sebanding dengan Taurat dan Injil, dan makna lainnya.
[33]  Al-Râziy, op.cit., Jld. 1, h. 2768
[34]  Sebagaimana penafsiran beliau berikut ini: ( بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك
Lihat Abu Ja'far Muhammad Ibn Jarir al-Thabariy (selanjutnya disebut al-Thabariy), Jami' al Bayan Li Ta'wil Ay  al-Qur'an, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2000),Vol  17,  h. 321
[35] AL-Maraghiy, op.cit., h.  Pendapat beliau ini sejalan dengan pendapat Zamakhasyari. Labih lanjut lihat Abiy al-Qâsim Muhammad ibn ‘Umar al-Zamakhasyariy al-Khawarizmiy, Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl, (Beirut: dar al-Ihyâ’ al-Turâts, [t.th]), Juz. II, h. 601
[36] Sayyid Quthub, op.cit., h. 
[37]  M. Quraish Shihab, op.cit., Vol. 7, h. 384
[38] Ibn Manzhur, op.cit. jld. 6, h. 4873
[39]  Sayyid Quthub, op.cit., h
[40] Ibid
[41] Lihat al-Râziy, loc.cit. dan al-Maraghiy, op.cit., Juz. 14 h. 158 
[42] Al-Marâghiy, op.cit., Juz. 14, h. 161
[43] Burhan al-Dîn abiy al-Hasan Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’iy,  Nazm al-Durar fi Tanâsub al-Ayat  wa al-Suwar, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H), Juz. IV, h. 324
[44] Sayyid Quthub, op.ciit.,  Jld. h. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar