Rabu, 02 November 2011

KITAB TAFSÎR BI AL-RA’YI (TAFSÎR ANWÂR AL-TANZÎL WA ASRÂR AL-TA’WÎL DAN MADÂRIK AL-TANZÎL WA HAQÂIQ AL-TA’WÎL)



A.    PENDAHULUAN
   Menurut ibn Taimiyyah, metode tafsîr terbaik adalah metode tafsîr bi al-ma’tsûr, yaitu menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan al-Sunnah, perkataan sahabat dan tabi’in serta yang terakhir yaitu dengan ijtihâd.[1] Meski demikian hal di atas sebetulnya tidaklah me-nafi-kan akan keberadaan tafsîr bi al-ra’yi. Tercatat banyak juga tafsîr bi al-ra’yi yang kedudukannya mendapatkan tempat di dalam literatur tafsîr yang ada. Di antara kitab tafsîr bi al-ra’yi itu adalah  Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl dan Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl. Namun seberapa dominankah unsur al-ra’yi di dalam tafsîr ini dibanding unsur ma’tsûr-nya, dan bagaimanakah metode penafsiran dari masing-masing tafsîr tersebut?.
Untuk menjawab masalah ini penulis akan menuangkannya di dalam makalah singkat yang berjudul “Kitab  Tafsîr bi al-Ra’yi (Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl dan Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl)”. Adapun pembahasan dari makalah ini dimulai dengan pengenalan secara sepintas mengenai istilah tafsîr bi al-ra’y, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai kedua kitab tafsîr tersebut yang terdiri dari biografi masing-masing tokoh serta metode penafsiran dari tafsîr-tafsîr tersebut, serta penilaian-penilaian ulama terhadapnya.
B.     TAFSÎR BI AL-RA’YI
1
 
Secara bahasa kata الرأي merupakan mashdar dari kata رأى، يرى yang di dalam pemakaiannya digunakan untuk penglihatan mata. Selain untuk istilah penglihatan mata, ia juga dapat digunakan terkait dengan  إعتقاد(keyakinan), تدبير  (pandangan) dan تفكير (pemikiran) atau عقل.[2] Menurut Husain al-Dzahabiy juga dapat dipakai untuk makna إجتهاد (ijtihâd) dan قياس (qiyas).[3] Selain dengan istilah ra’yi, tafsîr ini juga dikenal dengan istilah ‘aqli atau nazhriy.
Disebut dengan tafsîr ‘aqli karena memang di dalam penafsirannya, seorang mufassîr sangat memberdayakan akal dan fikirannya. Sedangkan dinamakan dengan nazhriy karena memang tafsîr ini merupakan hasil dari penelitian yang mendalam.
Sedangkan menurut Istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama yaitu: 
1)      Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan
هو ما يعتمد فيه المفسر في بيان المعنى على فهمه ا لخاص  و ستنباطه با لرأي المجرد[4]
“Yaitu tafsîr yang mufassîr-nya di dalam menjelaskan  makna hanya mengandalkan pemahaman dan meng-istinbath-kannya dengan menggunakan logika semata”
Kemudian Mana’ Khalîl al-Qaththan menambahkan keterangan yang berhubungan defenisi ini. Menurutnya yang dimaksud logika semata adalah logika yang pemahamannya tidak sejalan dengan nilai syari’at, dan biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah.[5]  
2)      Menurut Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn Sulaimân Al-Rûmiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد[6]
“Yaitu istilah untuk pe-nafsir-an al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd.
3)      Menurut al-Dzahabiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد، بعد معرفة المفسّر لكلام العرب و مناحيهم في القول، ومعرفته للألفاظ العربية ووجوه دلالتها، واستعانته في ذالك بالشعر الجاهلي، ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفته بالناسخ و المنسوخ من ايات القرأن، وغير ذالك من الأدوات التي يحتاج اليه المفسر[7]
“Yaitu istilah untuk penafsiran al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd, setelah seorang mufassîr tersebut menguasai kalam Arab dan pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa Arab, dan wujuh dilalah-nya, serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir Arab jahiliyah, asbâb al-nuzûl, mengetahui nâsikh dan mansûkh, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh para mufassîr
4)      Menurut al-Shabûniy
...يعتمد على إجتهاده المبني على اصول الصحيحة، وقواعد سليمة متبعة[8]
“Yaitu tafsîr dengan menggunakan ijtihâd, yang dibangun atas dasar yang shahîh  serta kaidah yang benar dan patut diikuti
Jika kita mencermati defenisi demi defenisi, antara satu defenisi dengan lainnya tidak ada yang sama. Meski demikian dapat disimpulkan beberapa poin yaitu:
a.       Tafsîr bi al-ra’yi adalah penafsiran yang sumber penafsirannya berasal dari ijtihâd seorang mufassir
b.      Tafsîr bi al-ra’yi ada dua yaitu tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm (yang tercela) dan tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd (terpuji)[9]
Adapun kedua tafsîr yang akan menjadi pembahasan di dalam makalah singkat ini merupakan kelompok tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy dan al-Rûmiy.[10]
C.     TAFSÎR ANWÂR AL-TANZÎL WA ASRÂR AL-TA’WÎL
  1. Biografi Imam al-Baidhâwiy
Nama lengkap beliau adalah Qhadhi al-Qudhâ’ Nashir al-Dîn abiy al-Khair ‘abd Allah ibn ‘Umar ibn Muhammad ibn ‘Âliy al-Baidhâwiy al-Syairâziy al-Fârisiy al-Syâfi’iy.[11] Beliau lahir di kota al-Baidhâ’, yang merupakan sebuah kota di wilayah Syiraz yang termasuk daerah Persia.
Imam al-Baidhâwiy berasal dari latar belakang keluarga yang terkenal dengan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Kakeknya –Muhammad ibn ‘Aliy- merupakan seorang yang ‘alim (pakar) dan menjabat sebagai qadhi, begitu juga dengan ayahnya, ‘Umar. Hal ini pulalah yang akhirnya diikuti oleh al-Baidhâwiy.
Imam al-Baidhâwiy pernah menjabat sebagai qadhi, namun jabatannya sebagai qadhi tidak berlangsung lama, karena beliau lebih memilih pindah dari kota Syiraz menuju kota Tibriz (yang masih di wilayah Persia). Di kota ini beliau mencurahkan perhatian besar untuk menulis. Dan salah satu karya beliau adalah kitab Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl.
Imam al-Baidhâwiy menguasai banyak ilmu di antaranya adalah di bidang Fiqh, Tafsîr, Usul al-Fiqh, bahasa Arab, Mantiq dan ‘ilmu Kalam. Di antara karya beliau –di samping Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl- adalah: al-Ghâyah al-Qushwa fi al-Dirâyah al-Fatwa (yang merupakan salah satu kitab Fiqih Syafi’iyyah), Minhaj al-Wushûl ila ‘Ilm al-Ushûl (merupakan mukhtashar dari kitab al-Mahshûl karya al-Râziy), kitab Thawâli’ al-Anwâr dan al-Mishbah (kitab tentang Aqidah) dan beliau juga men-syarah kitab Mashâbih al-Sunnah berbagai karya besar lainnya.[12]
Tentang akhir hayatnya ditemukan perbedaan keterangan, menurut pendapat mayoritas beliau meninggal pada tahun 685 H,[13] sedangkan al-Subkiy dan al-Asnawiy menyebutkan pada tahun 691 H.  Adapun kota tempat meninggalnya adalah di kota Tibriz.[14]
Di antara pujian ulama terhadap beliau adalah sebagai berikut: Menurut Ibn Syuhbah:صاحب المصنفات، عالم أذربيجان وشيخ تلك الناحية...  "Ia merupakan ulama terkemuka di Azerbaijan, guru dan syeikh di daerah itu... "
Al-Subkiy berkata:[15] كان إماما مبرزانظاراخيرا، صانحا متعبدا “Dia adalah imam yang lebih jeli, memiliki pandangan, shaleh dan ahli ibadah”. Sedangkan Ibn Habib berkata:  تكلم كل من الأئمة بالثناءعلى مصنفاته ولو لم يكن له غير المنهاج الوجيزلفظه المحررلكفاه “Para imam telah memuji karangan-karangannya, sekiranya ia tidak memiliki metodologi yang ringkas, lafaz yang detail itu saja sudah cukup.”     
  1. Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl
a.       Gambaran Umum Kitab
Al-Baidhâwiy   memulai   untuk   menulis   tafsir  ketika  telah  menetap   di
Tibriz.[16] Adapun nama lengkap dari kitab Tafsîr beliau ini adalah Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr ‘al-Ta’wil.
Sebelum memulai untuk menyusun kitab ini al-Baidhâwiy telah mempersiapkan diri dengan ilmu-ilmu yang sangat dibutuhkan oleh seorang mufassir, selain itu ia tidak lupa untuk meminta petunjuk kepada Allah lewat istikhârah. Barulah setelah ada kebulatan tekad, beliau akhirnya menyusun kitab ini dan ia pulalah yang memberi namanya dengan kitab Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr ‘al-Ta’wil. Ini semua dapat dilihat pada pendahuluan tafsîr-nya seperti berikut:
فإن أعظم العلوم مقدارا وأرفعها شرفا و منارا علم التفسير الذي هو رئيس العلوم الدينية ورأسها ومبنى قواعد الشرع وأساسها لا يليق لتعاطيه و التصدي للتكلم فيه إلا من برع في العلوم الدينية كلها وأصولها وفروعها وفاق في الصناعات العربية والفنون الأدبية بأنواعها ولطالما أحدث نفسي بأن أصنف في هذا الفن كتابا يحتوي على صفوة ما بلغني من عظماء الصحابة وعلماء التابعين ومن دونهم من السلف الصالحين وينطوي على نكت بارعة ولطائف رائعة استنبطتها أنا ومن قبلي من أفاضل المتأخرين وأماثل المحققين ويعرب عن و جوه القراءات المشهورة المعزوة إلى الأئمة الثمانية المشهورين والشواذ المروية عن القراء المعتبرين إلا أن قصور بضاعتي يثبطني عن الإقدام ويمنعني عن الانتصاب في هذا المقام حتى سنح لي بعد الاستخارة ما صمم به عزمي على الشروع فيما أردته والإتيان بما قصدته ناويا أن أسميه بعد أن أتممه بأنوار التنزيل وأسرار التأويل[17]
"Sesungguhnya ilmu yang paling mulia dan yang paling tinggi adalah ilmu tafsîr yang menjadi induk dan pusat dari segala ilmu agama, tempat serta pondasi kaidah-kaidah syara’. Tidak patut membahasnya kecuali mereka yang pakar di semua bidang agama, baik ushul maupun furu’, juga mumpuni dalam karya-karya bahasa Arab dan bidang sastra, serta ilmu-ilmu lainnya. Senantiasa terbersit di dalam hatiku untuk menyusun berkarya di bidang ini, berupa sebuah kitab yang mencakup sesuatu yang murni yang kudapat dari ilmu para sahabat, tabi’in, serta para salaf al-shalih, yang mengemukakan jalan-jalan qiraat yang di sandarkan kepada imam yang delapan serta qira’at yang sadz[18] yang diriwayatkan dari periwayat yang diperhitungkan. Akan tetapi keterbatasanku yang melambatkan langkahku, juga menghalangiku untuk melaksanakan ini. Hingga terlintas di dalam benakku setelah istikhârah dan ada kebulatan hati untuk memulai apa yang aku kehendaki, serta memulai apa yang aku maksudkan. Setelah aku sempurnakan aku berniat memberi namanya dengan al-anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl"      
Kitab tafsîr ini masyhûr dengan sebutan Tafsîr al-Baidhâwiy. Tafsîr ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa dan  perumpamaan yang indah serta banyak diminati para  pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (hamisy/hasyiah) terhadapnya, hingga tercatat sebanyak 83 buah kitab yang berisi hal itu. Dan, kitab yang terkenal memberikan catatan pinggir terhadap Tafsîr al-Baidhawi di antaranya adalah hasyiah Syekh Zadah[19] dan Syihâb al-Khaffajiy, al-‘Allâmah abiy al-Fadhl al-Qursyiy al-Shiddiqiy al-Kahthîb,[20] Hasyiah al-Qunawiy dan lain sebagainya.  
Kitab hasyiah yang ditulis syekh Zadah terdiri dari 4 jilid kitab, terbitan Maktabah al-Haqiqah, Istanbul Turkiy. Sedangkan yang diberi catatan pinggir oleh al-‘Allâmah abiy al-Fadhl al-Qursyiy al-Shiddiqiy al-Kahthîb, pada terbitan Dar al-Fikr, Beirut terdiri dari   jilid.[21]  
Kitab Anwâr al-Tanzîl yang dilengkapi dengan hâmisy ini keberadaannya lebih mudah di dapatkan dibanding dengan yang tidak memiliki hâmisy. Di dalam Program al-Maktabah al-Syamilah, kitab Tafsîr al-Baidhâwiy yang tidak memiliki hâmisy ini terdiri dari 1Juz/Jilid kitab dengan jumlah halaman sebanyak 554 halaman.
b.      Sistematika dan Metode Penafsiran
Sebelum memulai menafsirkan masing-masing ayat di dalam suatu surat, al-Baidhâwiy memulainya dengan keterangan mengenai konteks turunnya surat tersebut, apakah ia makiyah ataupun madaniyah,[22]  serta penjelasan mengenai jumlah ayatnya. Ini dapat dilihat pada contoh berikut ini:
سورة البقرة مدنية وأياتها مائتان و سبع وثمانون أية[23]
                        “Surat al-Baqarah adalah madaniyyah, jumlah ayatnya 287 ayat”
Begitu juga ketika beliau memulai surat ali ‘Imrân, yaitu:
 سورة ال عمران مدنية وأياتها مائتان[24]
“Surat ali ‘Imran adalah madaniyyah, jumlah ayatnya 200 ayat”
Isi kitab ini dibuat sepertil ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’ân, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsîr dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’iyyah
Sistematika penafsiran dari tafsîr Anwâr al-Tanzîl tergambar pada contoh berikut ini.
{ ذلك الكتاب } ذلك إشارة إلى { الم } إن أول بالمؤلف من هذه الحروف أو فسر بالسورة أو القرآن فإنه لما تكلم به وتقضى أو وصل من المرسل إلى المرسل إليه صار متباعدا أشير إليه به إلى البعيد وتذكيره متى أريد بـ { الم } االسورة لتذكير الكتاب فإنه خبره أو صفته الذي هو هو أو إلى الكتاب فيكون صفته والمراد به الكتاب الموعود إنزاله بنحو قوله تعالى : { إنا سنلقي عليك قولا ثقيلا } أو في الكتب المتقدمة وهو مصدر سمي به المفعول للمبالغة وقيل فعال بمعنى المفعول كاللباس ثم أطلق على المنظوم عبارة قبل أن يكتب لأنه مما يكتب وأصل الكتب الجمع ومنه الكتيبة  { لا ريب فيه } معناه أنه لوضوحه وسطوع برهانه بحيث لا يرتاب العاقل بعد النظر الصحيح في كونه وحيا بالغا حد الإعجاز لا أن أحدا لا يرتاب فيه ألا ترى إلى قوله تعالى : { وإن كنتم في ريب مما نزلنا على عبدنا } فإنه ما أبعد عنهم الريب بل عرفهم الطريق المريح له وهو أن يجتهدوا في معارضة نجم من نجومه ويبذلوا فيها غاية جهدهم حتى إذا عجزوا عنها تحقق لهم أن ليس فيه مجال للشبهة ولا مدخل للريبة  وقيل : معناه لا ريب فيه للمتقين وهدى حال من الضمير المجرور والعامل فيه الظرف الواقع صفة للنفي والريب في الأصل رابني إذا حصل فيك الريبة وهي قلق النفس واضطرابها سمي به الشك لأنه يقلق النفس ويزيل الطمأنينة وفي الحديث [ دع ما يريبك إلى ما لا يريبك ] فإن الشك ريبة والصدق طمأنينة ومنه ريب الزمان لنوائبه { هدى للمتقين } يهديهم إلى الحق والهدى في الأصل مصدر كالسرى والتقى ومعناه الدلالة  وقيل : الدلالة الموصلة إلى البغية لأنه جعل مقابل الضلالة في قوله تعالى : { لعلى هدى أو في ضلال مبين } ولأنه يقال مهدي إلا لمن اهتدى إلى المطلوب واختصاصه بالمتقين لأنهم المهتدون به والمنتفعون بنصه وإن كانت دلالته عامة لكل ناظر من مسلم أو كافر وبهذا الاعتبار قال تعالى : { هدى للناس } أو لأنه لا ينتفع بالتأمل فيه إلا من صقل العقل واستعمله في تدبير الآيات والنظر في المعجزات وتعرف النبوات لأنه كالغذاء الصالح لحفظ الصحة فإنه لا يجلب نفعا ما لم تكن الصحة حاصلة وإليه أشار بقوله تعالى : { وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين ولا يزيد الظالمين إلا خسارا } ولا يقدح ما فيه من المجمل والمتشابه في كونه هدى لما ينفك عن بيان يعين المراد منه والمتقي اسم فاعل من قولهم وقاه فاتقى والوقاية : فرط الصيانة وهو في عرف الشرع اسم لمن يقي نفسه مما يضره في الآخرة وله ثلاث مراتب :  الأول : التوقي من العذاب المخلد بالتبري من الشرك وعليه قوله تعالى : { وألزمهم كلمة التقوى }  الثاني : التجنب عن كل ما يؤثم من فعل أو ترك حتى الصغائر عند قوم وهو المتعارف باسم التقوى في الشرع وهو المعنى بقوله تعالى : { ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا }  الثالثة : أن يتنزه عما يشغل سره عن الحق ويتبتل إليه بشراشره وهو التقوى الحقيقي المطلوب بقوله تعالى : { يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته } وقد فسر قوله : { هدى للمتقين } ههنا على الأوجه الثلاثة
 واعلم أن الآية تحتمل أوجها من الإعراب : أن يكون { الم } مبتدأ على أنه اسم للقرآن أو السورة أو مقدر بالمؤلف منها وذلك خبره وإن كان أخص من المؤلف مطلقا والأصل أن الأخص لا يحمل على الأعلم لأن المراد به المؤلف الكامل في تأليفه البالغ أقصى درجات الفصاحة ومراتب البلاغة والكتاب صفة ذلك  وأن يكون { الم } خبره مبتدأ محذوف وذلك خبرا ثانيا أو بدلا والكتاب صفته و { لا ريب } في المشهورة مبني لتضمنه معنى من منصوب المحل على أنه اسم لا النافية للجنس العاملة عمل إن لأنها تقتضيها ولازمة للأسماء لزومها وفي قراءة أبي الشعثاء مرفوع بلا التي بمعنى ليس وفيه خبره ولم يقدم كما قدم قوله تعالى : { لا فيها غول } لأنه لم يقصد تخصيص نفي الريب به من بين سائر الكتب كما قصد ثمة أو صفته وللمتقين خبره وهدى نصب على الحال أو الخبر محذوف كما في { لا } ضمير فلذلك وقف على { لا ريب } على أن فيه خبر هدى قدم عليه لتنكيره والتقدير : لا ريب فيه فيه هدى وأن يكون ذلك مبتدأ و { الكتاب } خبره على معنى : أنه الكتاب الكامل الذي يستأهل أن يسمى كتابا أو صفته وما بعده خبره والجملة خبر { الم }  والأول أن يقال إنها جمل متناسقة تقرر اللاحقة منها السابقة ولذلك لم يدخل العاطف بينهما ف { الم } جملة دلت على أن المتحدى به هو المؤلف من جنس ما يركبون منه كلامهم وذلك الكتاب جملة ثانية مقررة لجهة التحدي و { لا ريب فيه } جملة ثالثة تشهد على كماله بأن الكتاب المنعوت بغاية الكمال إذ لا كمال أعلى مما للحق واليقين و { هدى للمتقين } بما يقدر له مبتدأ جملة رابعة تؤكد كونه حقا لا يحوم الشك حوله بأنه { هدى للمتقين } أو تستتبع السابقة منها اللاحقة استتباع الدليل للمدلول وبيانه أنه لما نبه أولا على إعجاز المتحدى به من حيث إنه من جنس كلامهم وقد عجزوا عن معارضته استنتج منه أنه الكتاب البالغ حد الكمال واستلزم ذلك أن لا يتشبث الريب بأطرافه إذ لا أنقص مما يعتريه الشك والشبهة وما كان كذلك كان لا محالة { هدى للمتقين } وفي كل واحدة منها نكتة ذات جزالة ففي الأولى الحذف والرمز إلى المقصود مع التعليل وفي الثانية فخامة التعريب وفي الثالثة تأخير الظرف حذرا عن إبهام الباطل وفي الرابعة الحذف والتوصيف بالمصدر للمبالغة وإيراده منكرا للتعظيم وتخصيص الهدى بالمتقين باعتبار الغاية تسمية المشارف للتقوى متقيا إيجازا وتفخيما لشأنه[25]

Berdasarkan contoh di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam menafsirkan sebuah ayat al-Baidhâwiy berusaha menjelaskan tiga aspek yaitu:
1)      Menjelaskan bentuk kata, apakah ia isim, atau fi’il. Seperti menjelaskan kata hudan. Menurut beliau kata hudan  merupakan mashdar (والهدى في الأصل مصدر), atau ketika menjelaskan bahwa muttaqi merupakan ism al-fâ’il sebagaimana pada teks: والمتقي اسم فاعل من قولهم وقاه فاتقى والوقاية
2)       Menjelaskan makna dan maksud ayat beserta kata-katanya. Di dalam menjelaskan makna ayat terkadang beliau menggunakan ayat lain sebagai penegas makna dari kata-kata tersebut. Seperti ketika beliau menjelaskan bahwa kata hudan merupakan lawan dari kata dhalalah: وقيل : الدلالة الموصلة إلى البغية لأنه جعل مقابل الضلالة في قوله تعالى : { لعلى هدى أو في ضلال مبين } 
Selain itu terkadang beliau juga menjelaskan maksud ayat secara  terperinci yang dikaitkan dengan kajian hikmah dan pembahasan kalam, seperti ketika beliau ingin menjelaskan maksud taqwa -di dalam menjelaskan al-muttaqin.  Menurutnya taqwa tersebut secara istilah meiliki tiga tingkatan yaitu: pertama, memelihara diri dari azab yang kekal dikarenakan dengan menjauhi syirik, kedua. Menjauhi perbuatan dosa dan ketiga, membersihkan diri dari/hati dari sesuatu yang melalaikannya dari kebenaran. Ini tergambar pada penggalan penafsiran berikut ini:
وهو في عرف الشرع اسم لمن يقي نفسه مما يضره في الآخرة وله ثلاث مراتب :  الأول : التوقي من العذاب المخلد بالتبري من الشرك وعليه قوله تعالى : { وألزمهم كلمة التقوى }  الثاني : التجنب عن كل ما يؤثم من فعل أو ترك حتى الصغائر عند قوم وهو المتعارف باسم التقوى في الشرع وهو المعنى بقوله تعالى : { ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا }  الثالثة : أن يتنزه عما يشغل سره عن الحق   [26]
Sedangkan mengenai pembahasan kalam, beliau juga menyebutkan pandangan beberapa aliran seperti Khawârij, Mu’tazilah dan Jumhur. Seperti ketika beliau menjelaskan imân yang meliputi tiga aspek yaitu: tashdiq, iqrar dan ‘amal. Seperti yang terdapat di dalam penggalan tafsîr berikut ini:
وأما في الشرع : فالتصديق بما علم بالضرورة أنه من دين محمد صلى الله عليه و سلم كالتوحيد والنبوة والبعث والجزاء ومجموع ثلاثة أمور : اعتقاد الحق والإقرار به والعمل بمقتضاه عند جمهور المحدثين والمعتزلة والخوارج فمن أخل بالاعتقاد وحده فهو منافق ومن أخل بالإقرار فكافر ومن أخل بالعمل ففاسق وفاقا وكافر عند الخوارج وخارج عن الإيمان غير داخل في الكفر عند المعتزلة والذي يدل على أنه التصديق وحده أنه سبحانه وتعالى أضاف الإيمان إلى القلب فقال : { أولئك كتب في قلوبهم الإيمان } { وقلبه مطمئن بالإيمان } { ولم تؤمن قلوبهم } { ولما يدخل الإيمان في قلوبكم } وعطف عليه العمل الصالح في مواضع لا تحصى وقرنه بالمعاصي فقال تعالى : { وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا } { يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم القصاص في القتلى } { الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم } مع ما فيه من قلة التغيير فإنه أقرب إلى الأصل وهو متعين الإرادة في الآية إذ المعدى بالياء هو التصديق وفاقا ثم اختلف في أن مجرد التصديق بالقلب هل هو كاف لأنه المقصود أم لا بد من انضمام الإقرار به للمتمكن منه ولعل الحق هو الثاني لأنه تعالى ذم المعاند أكثر من ذم الجاهل المقصر وللمانع أن يجعل الذم للإنكار لا لعدم الإقرار للمتمكن منه[27]
3)      Menjelaskan i’râb. Ini biasanya setelah beliau menjelaskan maksud dari ayat. Di dalam penggalan tafsîr di atas beliau memulai ungkapan dengan واعلم أن الآية تحتمل أوجها من الإعراب. Kemudian beliau menjelaskan i’râb satu-persatu contoh:
أن يكون { الم } مبتدأ على أنه اسم للقرآن أو السورة أو مقدر بالمؤلف منها وذلك خبره والكتاب صفة ذلك  وأن يكون { الم } خبره مبتدأ محذوف وذلك خبرا ثانيا أو بدلا والكتاب صفته[28]
Penafsiran yang dilakukan al-Baidhâwiy dalam hal i’râb, ma’ani, dan bayan merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu.[29] Akan tetapi, al-Baidhâwiy meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilah-nya dan berpegang pada madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam.[30] Selain itu, juga merujuk pada kitab al-Tafsîr al-Kabîr milik al-Râziy dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam,[31] serta  Jâmi’ at-Tafsîr karya al-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.[32]
Meski banyak melakukan tinjauan kebahasaan di dalam penafsiran, namun di dalam kitab tafsîr ini juga mengemukakan riwayat, terutama mengenai penjelasan keutamaan surat. Dan berbeda denga tafsîrbi al-ma’tsûr pada umumnya di dalam mengemukakan hadîts al-Baidhâwiy tidak mengemukakan jalur sanad-nya. Seperti ketika beliau ingin menjelaskan keutamaan surat al-Fatihah beliau mengemukakan hadîts seperti berikut ini:
 والشافية الشفاء لقوله عليه الصلاة السلام هي شفاء من كل داء   [33]
“Dan (surat al-Fatihah) merupakan obat sebagaimana hadîts Nabi SAW: ‘dia adalah obat dari sekalian penyakit” 
Selain menampilkan riwayat yang berhubungan dengan keutamaan sebuah surat pada awal pembahasan, untuk menutup pembahasan sebuah suratpun biasanya al-Baidhâwi juga menampilkan banyak riwayat Nabi. Dan disinilah celah masuknya hadîts-hadîts dha’îf atau palsu, dan cerita israiliyat[34] ke dalam kitab Anwâr al-Tanzîl ini. Ini sebagaimana yang ditulis Muhammad abiy Syuhbah, di dalam kitab al-Israiliyyat wa al-Maudhû’ât fi kutub al-Tafsîr. [35]
Adapun contoh beliau menampilkan riwayat di ujung-ujung pembahasan sebuah surat adalah ketika beliau menutup pembahasan surat al-Baqarah dengan menampilkan riwayat berikut ini:
وعنه عليه السلام [ أنزل الله تعالى آيتين من كنوز الجنة كتبها الرحمن بيده قبل أن يخلق الخلق بألفي سنة من قرأهما بعد العشاء الأخيرة أجزأتاه عن قيام الليل ] وعنه عليه الصلاة و السلام [ من قرأ الآيتين من آخر سورة البقرة في ليلة كفتاه ] وهو يرد قول من استكره أن يقال سورة البقرة وقال : ينبغي أن يقال السورة التي تذكر فيها البقرة كما قال عليه الصلاة و السلام [ السورة التي تذكر فيه البقرة فسطاط القرآن فتعلموها فإن تعلمها بركة وتركها حسرة ولن يستطيعها البطلة قيل : يا رسول الله وما البطلة ؟ قال : السحرة ][36]
Selain itu beliau juga melakukan pembahasan yang berhubungan dengan hukum, dan biasanya dengan sangat simpel dan sederhana. Selain itu beliau juga menampilkan riwayat sejauh diperlukan seperti pada contoh berikut ini:
قال الله تعالى { إن ترك خيرا } والخير هو المال الكثير وعن عائشة رضي الله تعالى عنها : أن رجلا أراد أن يوصي فسألته كم مالك فقال : ثلاثة آلاف فقالت : كم عيالك قال : أربعة قالت : إنما قال الله تعالى { إن ترك خيرا } وأن هذا لشيء يسير فاتركه لعيالك { الوصية للوالدين والأقربين } مرفوع بكتب وتذكير فعلها للفصل أو على تأويل أن يوصي أو الإيصاء ولذلك ذكر الراجع في قوله : { فمن بدله } والعامل في إذا مدلول كتب لا الوصية لتقدمه عليها وقيل مبتدأ خبره { للوالدين } والجملة جواب الشرط بإضمار الفاء كقوله :  ( من يفعل الحسنات الله يشكرها ... والشر بالشر عند الله مثلان )  ورد بأنه إن صح فمن ضرورات الشعر وكان هذا الحكم في بدء الإسلام فنسخ بآية المواريث

c.       Penilaian ulama terhadap kitab Anwâr al-Tanzîl
Al-Dzahabiy memberi pujian kepada kitab Anwâr al-Tanzîl, bahwa kitab ini mendapat karunia dari Allah SWT, ini terbukti dengan diterimanya kitab ini oleh jumhur kaum terhormat dan terkemuka. Sedangkan pengarang Kasyf al-Dzunnun menilai bahwa kitab ini adalah kitab yang agung dan kaya akan penjelasan (وتفسيره هذا كتاب عظيم الشأن غني عن البيان...).[37] 
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa tafsîr Anwâr al-Tanzîl ini disebut dengan tafsîr bi al-ra’yi karena lebih mengutamakan pemahaman ayat dengan banyak melakukan pendekatan bahasa. Adapun urutannya di dalam penafsiran yaitu terlebih dahulu menjelasakan pemahaman ayat, kemudian I’râb. Dan jika dianggap perlu, barulah beliau menampilkan riwayat untuk mendukung penafsiran beliau.

D.    Tafsîr Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl
1.      Biografi Imam al-Nasafiy
Nama lengkap beliau adalah Abiy al-Barakât ‘abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafiy, yang lahir di Nasaf, kota Sind yang terletak antara Jihun dan Samarkand.[38]
Al-Nasafiy merupakan ulama yang menguasai berbagai bidang ilmu. Beliau adalah imam yang memiliki pandangan yang luas lagi mendalam, tokoh di bidang Fiqh dan Ushul Fiqih, menguasai ilmu Hadîts dan serta ilmu Tafsîr. Mereka yang membaca karya-karyanya akan melihat ketelitian, ketepatan penggunaan bahasa, kefokusan, dan sarat informasi yang beragam dalam ruang lingkup yang sempit. Hal ini dapat menyulitkan mereka yang bukan pakar untuk mengadopsi dan memahami pemikirannya.
Imam al-Nasafiy belajar kepada banyak guru, diantara yang termasuk gurunya adalah Syams al-'Aimmah al-Kurdiy, Ahmad bin Muhammad al-'Itabi dan deretan nama-nama besar lainnya. Sebagai seorang ulama yang ternama di massanya, al_Nasafiy juga meninggalkan karya yang tidak sedikit, di dalam berbagai bidang ilmu,  Di antara karya Imam Nasafiy tersebut adalah: Matan al-Wafiy fi al-Furu’, yang kemudian kitab ini beliau syarah di dalam kitab al-Kafi fi Syarh al-Wafi, Kanz al-Daqâ’iq (di bidang Fiqh), Manar al-Anwâr fi Ushul al-Fiqh, 'Umdah al-'Aqa'id fi Ushûl al-Dîn dan berbagai karya lainnya, termasuk kitab Tafsîr Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl yang menjadi pembahasan di dalam makalah ini.[39]
Imam Nasafiy adalah sosok yang zuhud, shaleh dan takwa. Di samping aktif dalam kegiatan ilmiah, pengkajian dan penelitian, la merupakan pakar kenamaan di masanya dan masa sesudahnya. Allah memberikan keberkahan terhadap banyak karyanya. Hingga kemudian men­jadi rujukan dan objek studi bagi ulama setelahnya. Hal ini karena ke­cermatan beliau serta pilihan kata dalam setiap karyanya yang lugas dan tidak berbelit-belit.[40]
Berkat kecerdasan dan keluasan ilmunya, al-Nasafiy memperoleh apresiasi dari banyak ulama, seperti al-‘Asqalaniy menyebut beliau dengan sebutan علامة الدنياAllamah al-Dunya. Lain lagi dengan al-Hâfizh ‘abd al-Qâdir dalam Thabaqat-nya, sebagai mana yang dikutip oleh al-‘Asqalaniy, ia menulis sebagai berikut:
أحد الزهاد المتأخرين صاحب التصانيف المفيدة في الفقه والأصول...
Salah seorang zuhud yang hidup di abad terakhir, yang memiliki karya-karya bermanfaat di bidang fiqih dan ushul...[41]
Sebagai ulama ahlu sunnah, al-Nasafiy mempunyai sikap yang tegas dan jelas terhadap setiap penyimpangan dalam penafsiran al-Qur’ân, terutama terhadap tafsîr al-Kassyâf. Dirinya tidak hanya mengkritisi pemikiran Mu'tazilah dalam tafsîr al-Kassyâf, namun juga seluruh buku-buku teologis karyanya.
Al-Nasafiy wafat pada tahun 701 Hijriyah di kota 'Aidzaj yang ter­letak di antara Khuzistan dan Ashfahan.[42] Sedangkan di dalam kitab Thabaqat al-Mufassirun, karya al-Adnarawiy disebutkan bahwa al-Nasafiy meninggal pada tahun 710 H di kota Baghdad.[43]
2.      Tafsîr Madârik al-Tanzîl
a.       Latar Belakang Penulisan dan Gambaran Umum Kitab
Nama lengkap dari  karya Imam Nasafiy ini adalah Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta`wil. Tafsîr ini merupakan salah satu di antara sekian banyak tafsîr yang dika­tegorikan sebagai tafsîr ilmiah yang cermat, tidak berbelit dan tidak terlalu ringkas.
Penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh adanya permintaan dari seseorang kepada al-Nasafiy untuk menulis sebuah karya tafsîr yang terbebas dari pengaruh berbagai faham, terjauh dari bid’ah dan riwayat yang bathil, serta memperhatikan aspek kebahasaan. Pada awalnya beliau merasa keberatan untuk menulisnya, namun pada akhirnya beliau memutuskan untuk melanjutkan niat yang mulia tersebut. Setelah beliau berhasil merampungkan penulisan kitab tafsîr ini dalam waktu yang singkat, maka beliau langsung yang memberikan nama karyanya ini dengan Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta`wil. Ini semua seperti yang beliau tulis di dalam muqaddimah kitab Madârik al-Tanzîl berikut:
 قدسألني من تتعين إجابته كتابا وسطا في تأويلات، جامعا لوجوه الإعرب و القراءات، متضمنا لدقائق العلم البديع و الإشارات، حاليا بأقاول اهل السنة و الجماعة، خاليا عن الأباطل أهل البدعة و الضلالة ليس با لطويل الممل، ولا با لقصير المخل... وأتمته في مدة يسيرة، وسميته بمدارك التنزيل و حقائق التأويل....[44]  
 "Adalah seorang yang pintanya sangat sulit bagiku untuk tidak memperkenankannya memintaku me­nulis sebuah buku yang netral tentang penakwilan. Di samping menghimpun bentuk-bentuk i’râb (gramatika Arab) dan qiraat, juga mengandung badi' dan dan isyârat yang mendalam, Sarat dengan pendapat ahl al-sunnah dan tidak dirasuki kekeliruan ahli bid'ah dan kese­satan. Tafsîr ini bukan merupakan buku yang berbelit dan menjenuhkan. juga tidak terlalu sederhana sehingga didapati banyak kekurangan … Setelah aku menyempurnakan penulisannya di dalam waktu yang cukup singkat, maka saya menamai kitab ini dengan Madârik al-Tanzîl wa Haqâ’iq al-Ta`wîl "
Di dalam penulisannya, kitab tafsîr ini banyak diilhami oleh dua kitab tafsîr yaitu Tafsîr al-­Baidhâwiy dan al-Kassyâf. Dari Tafsîr al-Baidhâwiy ia mengadopsi kedalaman makna, pemahaman yang rasional, dan kelugasan dalam penafsiran. Sedangkan dari tafsîr Zamakhsyari, ia mengadopsi analisis bahasanya. Meski demikian al-Nasafiy tidak mengikuti Zamakhsyari di dalam segala hal, melainkan ia juga banyak berseberangan dengan pendapat Zamakhsyari. Dirinya membantah setiap pendapat yang menyalahi al-Asy'ari dengan menggunakan metodologi Zamaksyari. la men­debat dan mengkritisi metodologi dan alasan-alasannya. AL-Nasafi sangat konsen mem­bantah Zamaksyari, tetapi bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri adopsinya ter­hadap tulisan-tulisan Zamaksyari, setidaknya dalam al-Balâghah al-Qur'âniyyah.
Di dalam kitab yang diterbitkan oleh Dar al-Fikr, Beirut yang tidak mencantumkan tahun terbitnya, kitab Madârik al-Tanzîl ini terdiri dari  jilid  
b.      Sistematika Kitab dan Metode Penafsiran
Setiap kali al-Nasafiy ingin memulai penafsiran di dalam sebuah surat, beliau selalu mendahuluinya dengan keterangan ringkas mengenai apakah ayat tersebut Makiyah atau Madaniyah serta jumlah ayat yang bersangkutan:
سورة البقرة مدنية وهي مائتان وست أو سبع وثمانون آية[45]
Surat al-Baqarah merupakan surat Madaniyah, yang terdiri dari 286 atau 287 ayat
سورة آل عمران نزلت بالمدينة وهي مائتا آية[46]
Surat Ali ‘Imran merupakan surat Madaniyah, yang terdiri dari 200 ayat

Namun di dalam banyak surat lainnya, selain menjelaskan tentang Makiyah atau Madaniyah, serta jumlah ayatnya, beliau juga menampilkan riwayat-riwayat dan pendapat yang berhubungan dengan nama dan keutamaan surat tersebut, seperti pada awal penafsiran surat al-Fatihah, beliau menulis seperti berikut ini:
فاتحة الكتاب مكية وقيل مدنية ، والأصح أنها مكية ومدنية ، نزلت بمكة حين فرضت الصلاة ثم نزلت بالمدينة حين حولت القبلة إلى الكعبة. وتسمى أم القرآن للحديث قال عليه السلام " لا صلاة لمن لم يقرأ بأم القرآن "[47]
Fatihah al-Kitab merupakan ayat Makiyah, dan ada pula yang berpendapat bahwa ia Madaniayah. Dan yang lebih benar adalah bahwa ia adalah Makiyah sekaligus Madaniyah. Turun di Mekah ketika di-fardhu-kannya ibadah shalat, kemudian turun di Madinah ketika perubahan arah kiblat ke Ka’bah. Dan dinamakan dengan um al-Qur’ân, sesuai dengan hadîts Nabi SAW “Tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca um al-Qur’ân (al-Fatihah).”
Dari contoh ini dapat disimpulkan bahwa al-Nasafiy di dalam kitab tafsîr-nya tetap menggunakan riwayat, namun riwayat tersebut tidak lagi ditampilkan lengkap dengan jalur-jalur sanad-nya.
Untuk mengetahui metode penafsiran dari kitab Tafsîr Madârik al-Tanzîl dapat dipahami dari contoh berikut ini, yaitu ketika beliau menafsirkan ayat ke 100 dari surat al-Taubah:
{ وَالسَّـابِقُونَ } مبتدأ { الاوَّلُونَ } صفة لهم { مِنَ الْمُهَـاجِرِينَ } تبيين لهم وهم الذين صلوا إلى القبلتين ، أو الذين شهدوا بدراً أو بيعة الرضوان { وَالانصَارِ } عطف على { الْمُهَـاجِرِينَ } أي ومن الأنصار وهم أهل بيعة العقبة الأولى وكانوا سبعة نفر ، وأهل العقبة الثانية وكانوا سبعين { وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـانٍ } من المهاجرين والأنصار فكانوا سائر الصحابة. وقيل : هم الذين اتبعوهم بالإيمان والطاعة إلى يوم القيامة والخبر { رَّضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ{  بأعمالهم الحسنة {وَرَضُوا عَنْهُ } بما أفاض عليهم من نعمته الدينية والدنيوية { وَأَعَدَّ لَهُمْ }  عطف على  رَّضِىَ { جَنَّـاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الانْهَـارُ } مِن تَحْتِهَا ...[48]
{وَالسَّـابِقُونَ} posisinya sebagai mubtada’/subjek, {الاوَّلُونَ} merupakan sifat bagi ‘mereka’/hum.
{مِنَ الْمُهَـاجِرِين} pembedaan terhadap mereka yang shalat menghadap dua kiblat dengan mereka yang mengikuti perang Badar atau mereka yang terikat perjanjian Bai'ah al-Ridwan.
{وَالانصَار} ‘athaf (penyambungan) dengan kata "al-Muhâjirin" maksudnya adalah juga dari kelompok al-Anshar, Mereka adalah ahl Bai'ah al-Aqa­bah pertama yang terdiri dari tujuh orang dan ahl Bai'ah al-Aqabah kedua yang terdiri tujuh puluh orang, { وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَـانٍ } yaitu mereka yang mengikuti al-Muhajirin dan al-Anshar yakni para sahabat semuanya, Sumber lain menyatakan yaitu Orang-orang yang mengikuti mereka di dalam keimanan dan keta’atan hingga kiamat.
{رَّضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ} Allah ridha kepada mereka sebab per­buatan shaleh yang mereka lakukan. Adapun posisinya adalah sebagai khabar/prediket
{وَرَضُوا عَنْهُ} dan mereka ridha kepada-Nya karena karunia duniawi dan akhirat yang dianugrahkan kepada mereka. {وَأَعَدَّ لَهُمْ} merupakan ‘athaf dengan kalimat "radhiya".
{جَنَّـاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الانْهَـارُ} yakni semakna dengan “min tahtiha”

Dari contoh ini dapat disimpulkan beberapa poin yaitu:
1)      Di dalam menafsirkan ayat, al-Nasafiy menafsirkan potongan demi potongan ayat
2)      Di dalam menafsirkan Al-Nasafiy sangat memperhatikan Ilmu Nahu. Ini terbukti dari contoh di atas, di mana al-Nasafiy menjelaskan mana yang berfungsi sebagai mubtada’, khabar, ma’tuf dan lain sebagainya. Namun bila dibanding dengan tafsîr al-Baidhâwiy apalagi dengan al-Kasysyaf, tafsîr ini tidak berpanjang lebar menyangkut masalah i’râb. Beliau hanya menjelaskannya selagi hal itu mendukung penafsiran dan penjelasan. Seperti pada contoh berikut ini:
{ ذَالِكَ الْكِتَـابُ }  أي ذلك الكتاب الذي وعد به على لسان موسى وعيسى عليهما الصلاة والسلام ، أو ذلك إشارة إلى الم ، وإنما ذكّر اسم الإشارة والمشار إليه مؤنث وهو السورة ، لأن الكتاب إن كان خبره كان ذلك في معناه ومسماه مسماه فجاز إجراء حكمه عليه بالتذكير والتأنيث ، وإن كان صفته فالإشارة به إلى الكتاب صريحاً لأن اسم الإشارة مشار به إلى الجنس الواقع صفة له ، تقول : هند ذلك الإنسان أو ذلك الشخص فعل كذا ، ووجه تأليف ذلك الكتاب مع الم إن جعلت الم إسماً للسورة أن يكون الم مبتدأ وذلك مبتدأ ثانياً والكتاب خبره والجملة خبر للمبتدأ الأول ، ومعناه أن ذلك هو الكتاب الكامل كأن ما عداه من الكتب في مقابلته ناقص[49]
3)      Meski al-Nasafiy lebih banyak menjelaskan ayat dari segi makna dan bahasa, namun terkadang juga menjelaskannya dengan menampilkan ayat, hadîts, maupun pendapat sahabat (Ma’tsûr), seperti ketika beliau menjelaskan makna hudan  di awal surat al-Baqarah:
والهدى مصدر على فعل كالبكى وهو الدلالة الموصلة إلى البغية بدليل وقوع الضلالة في مقابلته في قوله : { أؤلئك الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَـالَةَ بِالْهُدَى }وإنما قيل هدى { لِّلْمُتَّقِينَ } والمتقون مهتدون لأنه كقولك للعزيز المكرم : " أعزك الله وأكرمك " ، تريد طلب الزيادة على ما هو ثابت فيه واستدامته كقوله { اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ }  ، أو لأنه سماهم عند مشارفتهم لاكتساء لباس التقوى متقين كقوله عليه السلام " من قتل قتيلاً فله سلبه " وقول ابن عباس رضي الله عنهما : إذا أراد أحدكم الحج فليعجل فإنه يمرض المريض ، فسمى المشارف للقتل والمرض قتيلاً ومريضاً.[50]
Selain itu, tafsîr al-Nasafiy kerap menyentuh aliran-aliran Fiqih dalam beberapa ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum, namun ia membahasnya secara sederhana dan tidak berpanjang lebar atau berbelit-belit. Contoh di dalam menafsirkan Surat al-Baqarah:222 berikut ini:
{ فَاعْتَزِلُوا النِّسَآءَ فِي الْمَحِيضِ } [البقرة : 222] فاجتنبوهن أي فاجتنبوا مجامعتهن. وقيل : إن النصارى كانوا يجامعونهن ولا يبالون بالحيض ، واليهود كانوا يعتزلونهن في كل شيء ، فأمر الله بالاقتصاد بين الأمرين. ثم عند أبي حنيفة وأبي يوسف رحمهما الله يجتنب ما اشتمل عليه الإزار ، ومحمد رحمه الله لا يوجب إلا اعتزال الفرج. وقالت عائشة رضي الله عنها : يجتنب شعار الدم وله ما سوى ذلك. { وَلا تَقْرَبُوهُنَّ }مجامعين أو ولا تقربوا مجامعتهن { حَتَّى يَطْهُرْنَ }  بالتشديد كوفي غير حفض أي يغتسلن وأصله " يتطهرون " فأدغم التاء في الطاء لقرب مخرجيهما. غيرهم يطهرن أي ينقطع دمهن ، والقراءتان كآيتين فعملنا بهما وقلنا له أن يقربها في أكثر الحيض بعد انقطاع الدم وإن لم تغتسل عملاً بقراءة التخفيف ، وفي أقل منه لا يقربها حتى تغتسل أو يمضي عليها وقت الصلاة عملاً بقراءة التشديد ، والحمل على هذا أولى من العكس لأنه حينئذ يجب ترك العمل بإحداهما لما عرف ، وعند الشافعي رحمه الله لا يقربها حتى تطهر وتتطهر دليله قوله تعالى : { فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ }  فجامعوهن فجمع بينهما { مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ } من المأتى الذي أمركم الله به وحلله لكم وهو القبل[51]

c.       Kritikan dan Penilaian terhadap kitab Madârik al-Tanzîl
Secara umum terdapat beberapa kritik yang ditujukan terha­dap tafsîr Nasafiy. Di antaranya, penjelasan yang miskin terhadap banyak pendapat berkenaan dengan ayat-ayat yang menjadi hujjah beragam aliran. Al-Nasafiy hanya menyebutkan dan terkesan enggan menjelaskan. la seakan berasumsi dengan popularitas pendapat tersebut di banyak kalangan dan kelanggengannya.[52] Misalnya, ketika is menafsirkan firman Allah berikut ini:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu raha­siakan); dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui” (QS Al-Mulk [67]: 14).
Menurutnya, dengan ayat ini Allah membantah anggapan bahwa diri-Nya tidak mengetahui dengan segala penciptaan yang Samar, rahasia dan tampak. Karakter Tuhan adalah Yang Maha Mengetahui rahasia dan esensi segala sesuatu. Terdapat penegasan tentang pencip­taan ungkapan-ungkapan yang sekaligus merupakan bukti bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan hamba." Abu Bakar bin al-Umam dan Ja'far ibn Harb menyebutkan, "Kalimat "man" me­rupakan bentuk maf’ul (objek). Sementara al-fâ'il (subjek) yang tidak disebutkan adalah Allah." Keduanya dalam hal ini menafikan penciptaan perbuatan hamba." Namun pembahasan mengenai kajian kalam terhenti sampai di sana.
Meski telah sangat hati-hati, tetapi dalam tafsîrnya masih ada dijumpai isra'iliyyat. Semisal saat menafsirkan firman Allâh di dalam surat al-Naml: 16. Diriwayatkan konon seekor merpati berkata, "Andai makhluk ini tidak pernah tercipta." Mendengar itu, merak menyahut, "Sebe­rapa engkau memberikan pinjaman, seberapa itu pula orang akan membayar padamu." Al-Nasafiy kemudian menginventarisasi tiap jenis burung tanpa mengomentarinya. Bahkan kehilangan kehati­-hatiannya kala menyebutkan ungkapan yang sama sekali tidak memiliki sandaran hadîts yang shahîh. Adapun riwayat yang dimaksud seperti dalam kutipan berikut ini:
{ وَوَرِثَ سُلَيْمَـانُ دَاوُادَ } ورث منه النبوة والملك دون سائر بنيه وكانوا تسعة عشر قالوا : أوتي النبوة مثل أبيه فكأنه ورثه وإلا فالنبوة لا تورث { وَقَالَ يَـا أَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنطِقَ الطَّيْرِ } تشهيراً لنعمة الله تعالى واعترافاً بمكانها ودعاء للناس إلى التصديق بذكر المعجزة التي هي علم منطق الطير. والمنطق كل ما يصوت به من المفرد والمؤلف المفيد وغير المفيد ، وكان سليمان عليه السلام يفهم منها كما يفهم بعضها من بعض. روي أنه صاحب فاختة فأخبر أنها تقول : ليت ذا الخلق لم يخلقوا ، وصاح طاوس فقال : يقول : كما تدين تدان ، وصاح هدهد فقال : يقول : استغفروا الله يا مذنبين ، وصاح خطاف فقال : يقول : قدموا خيراً تجدوه. وصاحت رحمة فقال : تقول : سبحان ربي الأعلى ملء سمائه وأرضه. وصاح قمري فأخبر أنه يقول : سبحان ربي الأعلى وقال : الحدأة تقول كل شيء هالك إلا الله والقطاة تقول من سكت سلم والديك يقول اذكروا الله ياغافلون والنسر يقول يابن آدم عش ما شئت آخرك الموت والعقاب يقول في البعد من الناس أنس. والضفدع يقول : سبحان ربي القدوس ...[53]
Namun Volume hadîts isra'iliyyat di dalam tafsîr al-Nasafiy jumlahnya sangat minimal sekali. Semaksimal mungkin ia berusaha untuk tidak menyentuhnya. Di samping selektif dalam memilah-milah banyak hadîts. Terbukti al-Nasafiy tidak menyebutkan hadîts-hadîts palsu berkenaan keutamaan surah-surah dalam Al-Qur’ân.
Inilah di antara penilaian terhadap kitab tafsîr al-Nasafiy ini, sebagaimana yang ditulis oleh Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud.[54]
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa tafsîr Madârik al-Tanzîl ini disebut dengan tafsîr bi al-ra’yi karena lebih mengutamakan pemahaman ayat dengan banyak melakukan pendekatan bahasa. Meski demikian ia tetap menampilkan ayat, hadîts dan riwayat sejauh dianggap perlu, meskipun dalam jumlah yang tidak banyak.
E.     Penutup
1.      Kesimpulan
Dari pembahasan singkat mengenai dua kitab tafsîr ini dapat disimpulkan bahwa kitab ini dikelompokkan ke dalam tafsîr bi al-ra’yi karena di dalam penafsirannya lebih menekankan aspek kebahasaan, berupa makna kata, posisi i’rab dan maksud ayat yang bersangkutan. Untuk mendapatkan makna ini beliau merujuk ke dalam penafsiran terdahulu seperti al-Kasysyâf karya al-Zamkhasyariy. Sedangkan ayat lain, hadits Nabi dan riwayat para sahabat sifatnya adalah untuk mendukung penafsiran dari kitab-kitab ini.
2.      Saran-saran
Karena penulis lebih banyak memberikan contoh dari surat al-Baqarah, maka alangkah baiknya jika dibandingkan dengan penafsiran beliau pada ayat-ayat lainnya. hingga mendapatkan kesimpulan yang lebih universal. Terakhir penulis menyadari bahwa pada makalah amat jauh dari kesempurnaan, maka untuk itu penulis mengharapkan saran kontributif dari kita semua. Amin

























DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Adnarawiy, Ahmad ibn Muhammad, Thabaqat al-Mufassirûn, Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1997

Anwar, Rosihon, Samudera al-Qur’an, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001

Al-Ashfahâniy, ‘Allâmah al-Rhâghib, Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, Damaskus; Dar al-Qalam, 2002

Al-Asqalâniy, Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar abiy al-Fadh al-Syâfi’iy, al-Durar al-Kaminah fi A’yân al-Mi-ah al-Tsaminah, [t.t]: [t.tp], [t.th]

Ibn ‘Âsyur, Muhammad Fâdhil, al-Tafsîr wa Rijâluhu, Mesir: Majma’ Buhuts al-Islamiy, 1970

Al-Baidhâwiy, Nasir al-Dîn abiy Sa’id ‘abd Allâh ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syairhâziy, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, Hamisy al-‘Allâmah abiy al-Fadhl al-Qursyiy al-Shiddiqiy al-Kahthîb, Beirut: Dar al-Fikr, [t.th] 

Al-Dzahabiy, Muhammad Husain, al-Tafsîr wal-Mufassirûn, Qahirah: Maktabah al-Wahbah, 1995

Al-Hanafiy, Muhammad ibn Muslih al-Dîn Muhy al-Dîn, Hasyiyah syekh al-Zadah ‘ala Tafsîr al-Qhâdiy al-Baidhâwiy, Istanbul: Maktabah al-Haqiqah, 1998

Ibn Katsîr, al-Imam al-Jalil al-Hafizh ‘Imad al-Dîn abiy al-Fida’ Ismail al-Dimasyqiy, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, [t.t], Al-Muassasah al-Qurtubiyyah, [t.th]

Al-Khâlidiy, Shâlah ‘abd al-Fattâh, Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002

Al-Khawarizmiy, Abiy al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar al-Zamkhasyariy, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, [t.th]

Mahmud, Mani’ ‘abd al-Halim, Manhaj al-Mufassirîn, terj. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Rajawali Pers, 2006

Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, Qahirah, Dar al-Ma’arif, [t.th]

Al-Nasafiy, Abiy al-Barakât ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmud, Tafsîr al-Nasafiy al-Musamma bi Madarik al-Tanzil wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Beirut: Dar al-Nafâisy, 2005

________, Tafsîr al-Nasafiy al-Musamma bi Madarik al-Tanzil wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]

Al-Qaththân, Mana’ Khalîl, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, [t.kt]: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973

Al-Raziy, Muhammad ibn ‘Umar ibn Husain al-Syafi’iy, Tafsir al-Fakh al-Raziy al-Masyhur bi Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981

Al-Rûmiy, Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn Sulaimân, Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422

Al-Shabûniy, Muhammad ‘Aliy Al-Tibyân fi ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003

Al-Subkiy, al-Imâm al-‘Allâmah Taj al-Dîn ib ‘Aliy ibn Kâfiy, al-Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, Tahqiq Mahmud Muhammad al-Thanahiy [t.t]: Hijr, 1413 H[1]

Abiy Syuhbah, Muhammad Muhammad, al-Israiliyyat wa al-Maudhû’ât fi kutub al-Tafsîr, [t.t]: Maktabah al-Sunnah, [t,th]

Ibn Taimiyyah, Taqiy al-Dîn abiy al-‘Abbâs Ahmad ibn ‘abd al-Halim al-Harrâniy, Majmu’ al-Fatawa, [t.t]: Dar al-Wafa’, 2005


[1] Taqiy al-Dîn abiy al-‘Abbâs Ahmad ibn ‘abd al-Halim ibn Taimiyyah al-Harrâniy, Majmu’ al-Fatawa, ([t.t]: Dar al-Wafa’, 2005), Juz. XII, h. 363. Pendapat ibn Taimiyah ini juga didukung oleh ibn Katsîr, sehingga beliau memuatnya di dalam Muqaddimah Tafsir al-Qur’an al-Azhîm, beliau menulis seperti berikut:
إن أصح الطرق في ذلك أن يُفَسَّر القرآن بالقرآن، فما أُجْمِل في مكان فإنه قد فُسِّر في موضع آخر، فإن أعياك ذلك فعليك بالسنة فإنها شارحة للقرآن وموضحة له... إذا لم تجد التفسير في القرآن ولا في السنة ولا وجدته عن الصحابة، فقد رجع كثير من الأئمة في ذلك إلى أقوال التابعين، كمجاهد بن جَبْر  فإنه كان آية في التفسير...
Lihat al-Imam al-Jalil al-Hafizh ‘Imad al-Dîn abiy al-Fida’ Ismail ibn Katsîr al-Dimasyqiy (selanjutnya ditulis dengan Ibn Katsir), Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, ([t.t], Al-Muassasah al-Qurtubiyyah, [t.th]), Juz I, h. 6-12   
[2] ‘Allâmah al-Rhâghib al-Ashfahâniy, Mufradât Alfâdz al-Qur’ân, (Damaskus; Dar al-Qalam, 2002), H. 374 atau Ibn manzhur, Lisan al-Arab, (Qahirah, Dar al-Ma’arif, [t.th]), Jld. III, h. 1537
[3] Muhammad Husain al-Dzahabiy, al-Tafsîr wal-Mufassirûn, (Qahirah: Maktabah al-Wahbah, 1995), Juz. I, h. 183
[4] Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, ([t.kt]: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973), h. 351
[5] Ibid
[6] Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn Sulaimân Al-Rûmiy, Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, (Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422) h. 78
[7] Al-Dzahabiy, Loc Cit
[8] Muhammad ‘Aliy al-Shabûniy, Al-Tibyân fi ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 155, pada keterangan  selanjutnya beliau mengatakan bahwa al-Ra’yi yang dimaksud oleh defenisi ini bukan al-Ra’yi/logika semata dan bukan pula bermakna hawa nafsu.  
[9] Tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm adalah usaha menafsirkan al-Qur’ân tanpa memiliki dasar ilmu, Cuma memperturutkan nafsu, atau justru dilakukan oleh orang yang tidak mengerti kaidah bahasa dan syari’at, dan berbagai motif-motif lainnya.  Sedangkan tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd adalah tafsîr bi al-ra’yi yang sesuai dengan tujuan syari’at dan terjauh dari kebodohan dan kesesatan, atau sesuai dengan defenisi yang disampaikan al-Dzahabiy dan al-Shabûniy.
[10] lihat Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy (selanjutnya disebut dengan al-Khâlidiy), Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 425-430 dan al-Rûmiy, Op Cit, h. 103
[11] Imam al-Baidhâwiy digelari dengan al-qhadiy karena beliau pernah menjabat sebagai qadhi di Kota Siraz dan Baidha’, sedangkan Baidhâwiy itu sendiri merupakan pe-nisbah-an ke kota Baidha’, dan Syiraziy adalah nisbah ke kota Syiraz dan al-Farisiy-pun merupakan nisbah kekota Persia, yang merupakan daerah yang di sana terdapat kota Baidha’ dan Syiraz.   Lihat Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy (selanjutnya disebut dengan al-Khâlidiy), Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 425, sedangkan al-Syâfi’iy merupakan penisbahan karena beliau merupakan salah seorang tokoh dari kelompok Syaf’iyyah, sehingga nama beliau juga terdapat di dalam kitab al-Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra. Lihat al-Imâm al-‘Allâmah Taj al-Dîn ib ‘Aliy ibn Kâfiy al-Subkiy(selanjutnya ditulis dengan al-Subkiy), al-Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra, Tahqiq Mahmud Muhammad al-Thanahiy ([t.t]: Hijr, 1413 H), cet. II, Juz VIII, h. 157  
[12] Muhammad Fâdhil ibn ‘Âsyur, al-Tafsîr wa Rijâluhu, (Mesir: Majma’ Buhuts al-Islamiy, 1970),h. 91     
[13] Di antara yang berpendapat seperti ini adalah ibn Katsîr dan ibn Hubaib serta al-Shalah al-Shafadiy  
[14] Lihat Ahmad ibn Muhammad al-Adnarawiy (selanjutnya ditulis dengan al-Adnarawiy), Thabaqat al-Mufassirûn, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1997), h. 263
[15] Di dalam diungkapkan sebagai berikut :
كان إماما مبرزا نظارا صالحا متعبدا زاهدا
Al-Adnarawiy loc Cit
[16] Menurut ibn ‘Asyur, al-Baidhâwiy pindah ke kota Tibriz pada tahun 650 Hijriyah, jadi berkemungkinan beliau mulai menulis kitab tafsir pada pertengahan abad ketujuh Hijriah. IbnAsyur, Op Cit, h. 92
[17] Nasir al-Dîn abiy Sa’id ‘abd Allâh ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syairhâziy al-Baidhâwiy (selanjutnya ditulis dengan al-Baidhâwiy), Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl (selanjutnya ditulis dengan Asrâr al-Takwîl al-Khâthib), hamisy al-‘Allâmah abiy al-Fadhl al-Qursyiy al-Shiddiqiy al-Kahthîb (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), Juz. I, h. 5-6  
[18] Al-Qirâ’ât al- Syâdz yaitu Qirâ’ât yang dinisbahkan kepada imam-imam qurra’ dari kalangan tabi’in dan tabi’ tabi’in yang tidak memenuhi syarat Qirâ’ât Shahîh.[18] Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan al-qirâ’ât syâdz adalah: ما لم يصح سنده (Qirâ’ât yang sanad nya tidak shahîh ).[18] 
   Di antara yang termasuk al-qirâ’ât syâdz tersebut adalah Qirâ’ât yang disandarkan kepada imam qurra’ yang empat yaitu:
a)       Ibn Muhaishin, yaitu Muhammad ibn ‘abd al-rahman al-Sahm al-Makiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat Makkah
b)       Al-A’masy, yaitu Sulaiman ibn Mihran al-Kûfiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat Kufah
c)       Hasan ibn Yasâr al-Bashriy, yaitu yang merupakan imam qurra’ dari Bashrah
d)      Al-Yazidiy, yaitu Yahya ibn Mubârak al-‘Adawiy al-Bashriy yang juga merupakan imam Qurra’ dari Bashrah.
Lihat Mana’ al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, ([t.kt]: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973), h. 178  
[19] Muhammad ibn Muslih al-Dîn Muhy al-Dîn al-Hanafiy (selanjutnya disebut dengan Syekh al-Zadah), Hasyiyah syekh al-Zadah ‘ala Tafsîr al-Qhâdiy al-Baidhâwiy (Istanbul: Maktabah al-Haqiqah, 1998)    
[20] Beliau biasa dikenal dengan al-Kazrawaniy 
[21] Nasir al-Dîn abiy Sa’id ‘abd Allâh ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syairhâziy al-Baidhâwiy (selanjutnya ditulis dengan al-Baidhâwiy), Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl (selanjutnya ditulis dengan Asrâr al-Khâthib), hamisy al-‘Allâmah abiy al-Fadhl al-Qursyiy al-Shiddiqiy al-Kahthîb (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th])   
[22] Di dalam memberi batasan mengenai defenisi al-Makiyah dan al-Madaniyah terdapat tiga perspektif yaitu 1. Tempat turun (Jika suatu ayat turun di Mekah dan sekitarnya -meskipun itu sebelum peristiwa hijrah- disebut al-Makiyah, dan sebaliknya); 2. Objek pembicaraan atau khitab (Jika khitab-nya adalah orang Mekah seperti kata “Yaa ayyuha al-nas” maka ayat disimpulkan sebagai ayat al-Makiyah, meskipun ayat tersebut diturunkan di kota Madinah atau sesudah Hijrah,  dan sebaliknya); 3. Masa turun (andaikan ayat itu turun sebelum nabi hijrah –meskipun di Madinah- maka ayat itu dianggap sebagai ayat al-Makiyah, dan sebaliknya). Lihat Amir Faishol Fath, Hakikat al-Makiyah dan al-Madaniyah dan validitas kekiniannya, (Al-Insan, Jurnal kajian Islam) Vol. 1, No. 1, Januari, 2005, h. 63-77. Selain dari pendapat ini –yang mengungkapkan tiga perspektif di dalam mendefenisikan al-Makiyah dan al-Madaniyah- Juga ada pendapat lain yang berusaha mendefenisikannya dari perspektif tema pembicaraan. Lebih lanjut lihat. Rosihon Anwar, Samudera al-Qur’an, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 114
[23] Ibid, Juz. I, h. 41
[24] Ibid, Juz. II, h. 2
[25] Ibid, Juz. I, h. 46-48
[26]  Ibid, Juz. I, h. 48-49
[27] Ibid, Juz. I, h. 51-53
[28] Ibid, Juz. I, h. 49-50
[29] Ini dapat dibuktikan dengan membandingkan penafsiran kedua kitab, terutama dari aspek bahasanya. Sebagai contoh mengenai I’rab awal surat al-Baqarah ini. Penulis melihat apa yang dijelaskan oleh al-Baidhâwiy memang merujuk kepada penjelasan Zamakhasyariy di dalam kitab al-Kasysyaf. Karena di dalam al-Kasysyaf-pun dijelaskan seperti yang ditulis al-Baidhâwiy seperti berikut ini:
وأن يكون الكتاب صفة ومعناه هو ذلك الكتاب الموعود وان يكون  )الم (خبر مبتدأ محذوف أي هذه الم ويكون ذلك خبرا ثانيا أو بدلا على ان الكتاب صفة وان يكون هذه الم جملة وذلك الكتاب جملة اخرى
Lihat. Abiy al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar al-Zamkhasyariy al-Khawarizmiy, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats, [t.th]), Juz I, h. 71
[30] Ini dapat dilihat ketika beliau menjelaskan makna iman pada contoh sebelumnya
[31] Untuk membuktikan hal ini dapat dilihat di dalam tafsir al-Raziy ketika menafsirkan ayat ketiga dari surat al-Baqarah ini. Di sana al-razi juga menjelaskan pendapat aliran kalam. Hanya saja di dalam tafsir al-Raziy penjelasannya sangat panjang dibanding di dalam tafsir al-Baidhâwiy ini.
Selain mengenai hikmah terkadang mengenai aspek bahasapun beliau juga merujuk ke dalam kitab Tafsir al-Kabir karya al-Raziy. Seperti ketika menjelaskan bentuk kata muttaqin. Apa yang ditulis al-Baidhawi ternyata sama dengan apa yang ditulis al-Raziy. Al-Raziy menulis seperti berikut ini:
المسألة الثانية : المتقي في اللغة اسم فاعل من قولهم وقاه فاتقي ، والوقاية فرط الصيانة ، إذا عرفت هذا فنقول : إن الله تعالى ذكر المتقي ههنا في معرض المدح ، ومن يكون كذلك أولى بأن يكون متقياً في أمور الدنيا ، بل بأن يكون متقياً فيما يتصل بالدين ، وذلك بأن يكون آتياً بالعبادات محترزاً عن المحظورات
Lihat. Muhammad ibn ‘Umar ibn Husain al-Raziy al-Syafi’iy (Selanjutnya ditulis dengan al-Râziy), Tafsir al-Fakh al-Raziy al-Masyhur bi Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz I , h.22-30
Adapun hal lain yang beliau jadikan rujukan yaitu mengenai penafsiran ayat-ayat kauniyah, seperti pada potongan berikut ini:
{ فأتبعه شهاب } أتبع بمعنى تبع والشهاب ما يرى كأن كوكبا انقض
[32]  Al-Dzahabiy, Op Cit, h. 212
[33] Al-Baidhâwiy, Op Cit,, Juz I, h. 8
[34] Isrâiliyât adalah istilah yang diberikan ulama untuk riwayat atau kisah masa lalu yang tidak berasal dari Islam, tetapi justru didapatkan dari berita ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani), Al-Khâlidiy, Op Cit, h. 218  
[35] Muhammad Muhammad abiy Syuhbah, al-Israiliyyat wa al-Maudhû’ât fi kutub al-Tafsîr, ([t.t]: Maktabah al-Sunnah, [t,th]), h. 122-123
[36] Al-Baidhâwiy, Op cit, Juz. I, h.274 
[37] Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Op Cit, h. 116, dan al-Dzahabiy, Op Cit, h. 215
[38] Abiy al-Barakât ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafiy (selanjutnya ditulis dengan al-Nasafiy), Tafsîr al-Nasafiy al-Musamma bi Mdarik al-Tanzil wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, (Beirut: Dar al-Nafâisy, 2005), Juz. I, h. 28
[39] Ahmad ibn ‘Aliy ibn Hajar abiy al-Fadh al-Asqalâniy al-Syâfi’iy (selanjutnya ditulis dengan al-‘Asqalâniy) al-Durar al-Kaminah fi a’yân al-Mi-ah al-Tsaminah, ([t.t]: [t.tp], [t.th]), Juz I, h. 268, atau al-Dzahabiy, Op Cit, h. 216     
[40] Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirîn, terj. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 44
[41] al-Asqalâniy Loc Cit   
[42] Ibid
[43] Ahmad ibn Muhammad al-Adnarawiy, Thabaqat al-Mufassirun, (Al-Munawarah: Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1997), h. 263
[44] Abiy al-Barakât ‘Abd Allâh ibn Ahmad ibn Mahmud al-Nasafiy (selanjutnya ditulis dengan al-Nasafiy), Tafsîr al-Nasafiy al-Musamma bi Madarik al-Tanzil wa Haqâ’iq al-Ta’wîl, (Beirut: Dar al-Fikr, [t.th]), Juz. I, h. 1
[45] Ibid, Juz. I,  h. 9      
[46]  Ibid, Juz. I, h. 145
[47] Ibid, Juz. I,  h. 3 
[48] Ibid, Juz. I, h. 142
[49] Ibid, Juz. I, h. 10-11
[50]  Ibid, Juz. I, h. 11-12
[51] Ibid, Juz. I, h. 111
[52]  Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Op Cit, h. 46
[53] Al-Nasafiy, Op Cit, Juz. II, h. 166 
[54] Mani’ ‘abd al-Halim Mahmud, Op Cit, h. 46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar