Kamis, 03 November 2011

TAFSIR BIL MA'TSUR & TAFSIR BIL RA'Y


SUMBER-SUMBER TAFSÎR
A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang dan Ruang Lingkup Pembahasan
Tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’yi merupakan istilah pembagian tafsir dari segi sumbernya. Baik tafsîr bi al-ma’tsûr, maupun tafsîr bi al-ra’yi, keduanya sama-sama menjadi pembahasan serius di kalangan ulama. Tafsîr bi al-ma’tsûr misalnya, meskipun disepakati sebagai sumber tafsîr terbaik, namun mereka berbeda pendapat di dalam menentukan apa saja yang termasuk tafsîr bi al-ma’tsûr tersebut. Begitu juga tafsîr bi al-ra’yi, para ulama berbeda pendapat akan kebolehannya di dalam praktek tafsîr.
Berdasarkan hal ini penulis akan membahasnya di dalam makalah singkat yang berjudul "SUMBER-SUMBER TAFSÎR". Adapun pembahasannya meliputi: a. Pengertian tafsîr bi al-ma’tsûr, Sumber-sumbernya, kedudukan dan hukumnya, serta qawâ’id tafsîr yang terkait dengannya, dan b. Pengertian tafsîr bi al-ra’yi, dan pandangan ulama terkait kebolehan menafsirkan al-Qur'an dengannya.
2.      Metode Pembahasan
Pembahasan makalah ini bersifat deskriptif analitis, yaitu setiap pembahasan dimulai dengan pendeskripsian pendapat ulama terkait dengan suatu pembahasan, kemudian diikuti dengan analisis dari penulis, ataupun pendapat ulama sejauh dibutuhkan. Untuk melakukan pembahasan ini, penulis menggunakan beberapa kitab. Adapun yang menjadi kitab utama adalah Ta'rîf al-Dârisîn bi Manâhij  al-Mufassirîn, mengingat kitab ini adalah kitab belakangan yang telah memuat pendapat para ulama sebelumnya, sehingga hal ini sangat membantu dan mengatasi keterbatasan penulis.
Untuk memastikan keotentikan sebuah pendapat penulis juga merujuk kepada kitab-kitab Ulûm al-Qur'ân sebelumnya seperti al-Burhân fi ‘Ulûm al-­Qur'ân dan Tafsîr wa al-Mufassirfûn Kemudian untuk memudahkan penulis di dalam pembahasan, penulis juga merujuk ke kitab-kitab yang membahas masalah ini secara ringkas seperti Mabâhîts fi '’Ulûm  al-Qur’ân, Buhûts Ushfûl al-Tafsîr wa Manâhijuhu Serta Kitab al-Tibyân fi ‘Ulûm  al-Qur’ân.
Sedangkan untuk memperoleh contoh penafsirannya –khususnya tafsîr bi al-ma’tsûr penulis merujuk ke dalam kitab Al-Jâmi' al-Shahîh al-Musnad al‑Mukhtashâr min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa ayyâmihi (Shahîh al-Bukhâriy), serta kitab-kitab lain yang dapat membantu penulis di dalam pembahasan ini.

B.     Sumber-sumber Tafsîr
Berdasarkan sumbernya, tafsîr dapat dibagi menjadi dua yaitu tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’yi.
  1. Tafsîr bi al-Ma’tsûr/ Manqûl
a.       Pengertian Tafsîr bi al-Ma’tsûr
Terkait dengan poin ini ada tiga istilah yang memiliki makna sama dan dipakai dalam tingkat keseringan yang hampir sama pula, yaitu: bi al-ma’tsûr, bi al-ma’qûl dan bi al-riwâyah.  Kata bi al-ma’tsûr dipakai sebagai antonim bi al-ra’yi, Kata bi al-manqûl/’naqli dipakai sebagai antonim bi ma’qûl/aqli dan bi al-riwâyah dihadapkan dengan bi al-dirâyah.
Tafsîr bi al-ma’tsûr secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu tafsîr[1] dan ma’tsûr. Kata ma’tsûr merupakan isim maf’ûl dari kata أثراً (atsran) dengan makna manqûl (sesuatu yang disampaikan dari seseorang pada yang lainnya). Jika dikatakan أثر الحديث   maka maksudnya adalah نقله و رواه عن غيره (menyampaikan atau meriwayatkannya dari orang lain).[2]
Sedangkanالأثر  adalah الخبر المرويّ و السنة الباقية  (khabar yang diriwayatkan atau sunnah berupa peninggalan)[3]. Di dalam Mu’jam al-Washît مأثور itu sendiri diartikan dengan الحديث المروي، وما ورث الخلاف عن السلاف (hadîts  yang diriwayatkan, atau sesuatu yang diterima orang belakangan/khalâf dari orang-orang terdahulu/salâf). Ini juga sejalan dengan yang ditulis Ibn Manzhûr yaitu: يخبر الناس به بعضهم بعضا، أي ينقله خلاف عن سلاف   (hadîts  yang disampaikan antara sesama manusia atau sesuatu yang diterima orang belakangan/khalâf dari orang-orang terdahulu/salâf).[4]
Maka مأثور dapat didefenisikan sebagai istilah/penyebutan untuk sesuatu yang diterima khalâf dari salâf baik berupa ilmu, hadîts, riwayat, dan lain sebagainya.
Jadi dinamai dengan nama ma’tsûr (dari kata atsâr yang berarti sunnah, hadîts, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang mufassir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Saw
Adapun manqûl merupakan berasal dari kata نقلا (نقل- ينقل-نقلا), ما علم من طريق الرواية أو السماع yang berarti (sesuatu yang diketahui lewat cara periwayatan atau proses mendengar)
Sedangkan secara terminologi tafsîr bi al-ma’tsûr adalah sebagaimana yang didefenisikan para ahli berikut ini: 
1)      Muhammad Husain al-Dzahabiy
ما جاء في القرأن نفسه من البيان وتفصيل لبعض اياته، وما نقل عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم، وما نقل عن الصحابة رضوان الله عليهم، وما نقل عن التابعين, من كل ما هو بيان وتوضيح   لمراد الله تعالى من نصوص كتاب الكريم[5]  
Artinya: Sesuatu yang berasal dari al-Qur’ân berupa penjelasan atau uraian bagi sebahagian ayatnya, atau sesuatu yang berasal dari Rasul (hadîts, penulis), atau  yang berasal dari para sahabat ra dan dari tabi’in, selama (semua itu) berupa penjelasan atau uraian mengenai maksud Allâh Swt dari nash kitab al-Qur’ân.
2)     Muhammad ‘abd al-‘Azhîm al-Zarqâniy[6] dan Muhammad ‘Âliy al-Shabûniy[7]
ما جاء في القرأن، أو السنة, أو كلام الصحابة، بيانا لمراد الله تعالى[8] 
Artinya: Sesuatu yang berasal dari al-Qur’ân, atau Sunnah maupun perkataan sahabat yang menjelaskan maksud Allâh Swt (di dalam al-Qur’ân, penulis)
3)      Shalâh ‘abd al-Fattâh al-Khâlidiy
ما روي عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم، او الصحابة، او التابعين، من رواية نقلية مروية في تفسير القرأن
Artinya: Sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw, dari para sahabat atau tabi’in berupa riwayat yang terkait dengan penafsiran al-Qur’ân 
4)      Fahd ‘abd al-Rahmân Sulaimân al-Rûmiy                             
التفسير بالمعثور هو التفسيرالذي يعتمد على صحيح المنقول والأثار الواردة في الاية فيذكرها، ولا يجتهد فى بيان معنى من غير دليل, ويتوقف عما لا طائل تحته, ولا فائدة في معرفة ما لم يرد فيه نقل صحيح   
Artinya: Tafsîr bi al-ma’tsur adalah tafsîr yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahîh  atau atsâr yang datang sebagai penjelas ayat al-Qur’ân, yang tidak akan menjelaskan makna tanpa adanya dalil, menghindarkan diri dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, selama tidak ada riwayat yang shahîh  tentang itu.

5)      Menurut Mana’ al-Qatthân
التفسير بالمعثورهو الذي يعتمد على صحيح المنقول...، من تفسير القرأن با القرأن، أو با لسنة لأنها جاءت مبينة لكتاب الله، أو بما روي عن الصحابة لأنهم أعلم الناس بكتاب الله، أو بما قاله كبار التابعين لأنهم تلقوا ذالك غالبا عن الصحابة[9]    

Artinya: Tafsîr bi al-ma’sûr adalah tafsîr yang berdasarkan pada kutipan-kutipan/riwayat yang shahîh …, berupa tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, atau dengan Sunnah (karena Sunnah berfungsi sebagai penjelasan bagi kitab Allâh), atau dengan riwayat yang berasal dari para sahabat (karena mereka termasuk orang yang paling mengerti dengan kitab Allâh), atau dengan perkataan para tabi’in besar, karena mereka senantiasa mendapatinya dari para sahabat.
Jika dicermati lima buah defenisi di atas, maka terdapat beberapa persamaan, dan perbedaan. Tetapi meski demikian penulis dapat merumuskan beberapa poin:
1)      Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah tafsîr yang berdasarkan riwayat yang shahîh .
Terutama dengan defenisi yang disampaikan al-Rûmiy dan Mana’ Khalîl al-Qaththan, mereka telah mewanti-wanti pendapat banyak kalangan yang meragukan tafsîr bi al-ma’tsûr karena banyak dipengaruhi oleh riwayat isrâiliyât dan riwayat yang dha’îf. Maka bagi mereka sesuatu yang dikatakan dengan tafsîr bi al-ma’tsûr mestilah bersumber dari riwayat yang shahîh .[10]
2)      Penafsiran Tafsîr bi al-ma’tsûr dapat berupa al-Qur’ân, Sunnah dan perkataan sahabat.
3)      Khusus dengan perkataan tabi’in terdapat perbedaan di kalangan ulama. Di antara ulama yang menganggap perkataan ulama sebagai sumber tafsîrbi al-ma’tsûr adalah al-Dzahabiy dan al-Khâlidiy serta mana’ Khalil al-Qatthan. Sedangkan al-Shabuniy dan al-Zarqani cuma menjadikan al-Qur’ân, Sunnah dan perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
4)      Di dalam tafsîr bi al-ma’tsûr sangat dihindari pembahasan yang tidak terkait langsung dengan makna ayat, serta pembahasan yang tidak memiliki dalil yang kuat. Ini sebagai mana yang dijelaskan oleh al-Rûmiy.
Singkatnya tafsîr bi al-ma’tsûr adalah tafsîr yang berdasarkan pada riwayat yang shahîh , berupa tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah, atau dengan riwayat yang berasal dari para sahabat, serta menghindari pembicaraan yang tidak terkait lansung dengan penafsiran, selama tidak ada riwayat yang shahîh  tentang itu.
b.      Sumber-sumber tafsîr bi al-ma’tsûr
Di dalam menentukan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr para ulama berbeda pendapat, di antaranya al-Rûmiy menjadikan sumber tafsîr be al-ma’tsûr itu menjadi 4 macam yaitu: al-Qur’ân, Sunnah Nabi, Perkataan sahabat dan penafsiran tabi’in[11]. Al-Khâlidiy menjadikan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr menjadi 5 macam –dengan tidak memasukkan al-Qur’ân- yaitu: Hadîts  Shahîh  yang marfû’ kepada Nabi, Perkataan shahîh  sahabat yang terkait dengan penafsiran ayat al-Qur’ân, Perkataan tabi’in yang shahîh , al-qirâ’ât al-syâdz dan al-qirâ’ât al-tafsîriah.
Berikut penulis jelaskan satu-persatu sumber-sumber tafsîr bi al-ma’tsûr, yang merupakan gabungan dari beberapa pendapat ulama:
1)      Ayat al-Qur’ân
Maksudnya sesuatu ayat menjadi penjelas atau tafsîr bagi ayat lainnya. Menurut al-Zarqaniy al-Qur’ân adalah sumber tafsîr paling utama, mengingat Allâh adalah yang paling tahu dengan maksud ayat, dibanding yang lainnya, dan sebenar-benar perkataan tentulah kitab Allâh.[12] 
Tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân dengan merupakan sebaik-baik tafsîr. Terkait dengan hal ini Ibn Taimiyah berkata:
أصح الطرق في ذالك أن يفسر القرأن بالقرأن، فما أجمل في مكان فانه قد فسّر في موضع اخر، وما اختصر في مكان فقد بسط في موضع اخر...[13]   
Artinya: Metode yang paling shahîh  dari cara menafsirkan Al-Qur'an adalah menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Karena sesuatu yang mujmal di suatu tempat (ayat), terkadang dijelaskan di tempat (ayat) lainnya. Apa yang diringkas dalam suatu ayat, dirinci di tempat (ayat) yang lain… 
Perkataan Ibn Taimiyah ini sangat benar, tetapi meski demikian menurut penulis penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân ini, tetap tidak tertutup akan kesalahan, karena bagaimanapun usaha menafsirkan ayat dengan ayat juga membutuhkan ijtihâd dari seorang mufassir (yaitu dalam menentukan mana ayat yang paling tepat menjadi tafsîr bagi ayat tertentu). Jadi untuk menentukan sebuah ayat yang akan menjadi tafsîr bagi ayat lain, mestilah seorang mufassir betul-betul memahami kedua ayat, sehingga tidak salah di dalam pemahaman dan penafsiran.
Tepatnya –menurut penulis- penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân barulah dikatakan tafsîr terbaik, dan terhindar dari kesalahan, jika penafsiran itu di dasarkan pada riwayat yang shahîh pula. Seperti adanya riwayat yang menjelaskan jika Nabi atau para sahabat memang menafsirkan sebuah ayat dengan ayat tertentu. Maka selama penafsiran itu tidak bersumber dari riwayat yang betul-betul shahîh, kemungkinan salah di dalam penafsiran tersebut tetap ada. Berdasarkan hal ini pulalah, Makanya penulis sangat tertarik dengan defenisi tafsîr bi al-ma’tsûr yang dituliskan al-Khâlidiy -ما روي عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم، او الصحابة، او التابعين، من رواية نقلية مروية في تفسير القرأن – yang tidak menjelaskan penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân sebagai salah satu bentuk tafsîr bi al-ma’tsûr, karena memang di dalam menentukan sebuah ayat menjadi tafsîr bagi ayat lain merupakan sebuah ijtihâd dari mufassir, dan bukan sebuah atsâr/manqûl.
Contoh penafsiran al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, ungkapan (فَتَلَقَّى ءَادَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ) dalam firman Allâh QS. al-Baqarah: 37, dijelaskan lewat ayat lain, QS. al-A’raf: 23 berikut: 
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Maka dapat dipahami bahwa كَلِمَاتٍ yang dimaksud di dalam surat al-Baqarah di atas maksudnya adalah kalimat do’a yang terdapat di dalam surat al-A’raf tersebut.
2)      Hadîts  Shahîh  yang menjelaskan makna ayat al-Qur’ân.
Sebagaimana dimaklumi, salah satu fungsi hadîts  Nabi adalah sebagai penjelas bagi ayat al-Qur’ân. Maka jalan utama mendapatkan pemahaman yang benar terhadap kitab Allâh adalah dengan merujuk kepada hadîts  Nabi Saw, ini sesuai dengan firman Allâh: بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِوَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ  Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)[14]
Selain ayat ini Nabi juga pernah bersabda
اوتيت الكتاب ومثله معه[15]
Artinya: “Ketahuilah aku telah diberi Al-Qur'an dan yang semisalnya (yaitu Al-Sunnah) bersamanya.”
Satu hal yang mesti digarisbawahi adalah bahwa hadîts  Nabi yang dijadikan sumber tafsîr bi al-ma’tsûr tersebut haruslah hadîts  marfû’ yang shahîh, bukan hadîts  yang dha’îf, apalagi hadîts  yang palsu. Untuk itu sangat dibutuhkan usaha men-takhrîj hadîts  tersebut sebelum tergesa-gesa menjadikannya sebagai sumber tafsîr. Di antara contoh tafsîr dengan hadîts  Nabi yang shahîh  adalah penafsiran ayat al-Qur’ân surat al-Baqarah: 22 فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ  dengan hadîts  dari ‘abd Allâh yang bertanya kepada Nabi terkait dosa besar, maka beliau menjawab: أن تجعل لله ندا وهو خلقك[16] 
3)      Perkataan Sahabat[17] yang terkait dengan penafsiran ayat al-Qur’ân
Menjadikan perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr dengan alasan, mengingat para sahabat merupakan orang yang lebih tahu dan menyaksikan bagaimana kondisi ayat al-Qur’ân tersebut diturunkan,  serta mereka memiliki pemahaman yang sempurna terhadap makna ayat.[18] Alasan lain adalah bahwa mereka adalah orang yang hari-harinya banyak bersama Rasul, mengetahui asbâb al-nuzûl dan memiliki nilai lebih terkait fashahah dan bayân.[19]   Maka penafsiran sahabat berada pada posisi kedua setelah hadîts  Rasul.
Mengenai bagaimana pengetahuan sahabat terhadap ayat al-Qur’ân, berikut penulis kemukakan beberapa perkataan ulama, termasuk perkataan sahabat itu sendiri:
a)      Ibn Mas’ûd Berkata:
سلوني، فو الذي لا إله غيره ما نزلت اية من كتاب الله تعالى إلا وأنا اعلم فيم نزلت، وأين نزلت، ولو أعلم مكان أحد أعلم بكتاب الله مني تناله المطايا لأتيته[20]
Artinya: “Tanyakanlah kepadaku, demi Allâh yang tidak ada Tuhan Selain Dia, Tidaklah sesuatu ayat yang diturunkan Allâh, kecuali saya mengetahui bagaimana kondisi ayat itu turun dan di mana ayat itu diturunkan. Jikalaulah  Saya mengetahui  ada seseorang di suatu tempat yang lebih mengetahui kitab Allâh (al-Qur’ân) dibanding saya, niscaya saya akan menemuinya.”
b)      Abu ‘abd al-Rahmân al-Sullâmiy berkata:
حدثنا الذين كانوا يقرؤوننا القرأن، كعثمان ابن عفّان و عبد الله بن مسعود، انهم كانوا إذا تعلموا من انبي صلي الله عليه و سلم عشر لم يجاوزها حتى يتعلم ما فيها من العلم و العمل. قالوا: فتعلمنا القرأن  والعلم والعمل معا[21] 
Artinya: “Telah meriwayatkan/ menceritakan kepada kami mereka yang senantiasa mengajarkan al-Qur’ân kepada kami –yaitu para sahabat Nabi seperti ‘Usmân ibn ‘Affân dan ‘abd Allâh in Mas’ûd, bahwasanya jika mereka mempelajari 10 ayat al-Qur’ân dari Nabi, mereka tidak akan menambah hingga mereka dapat mengetahui dan mengamalkannya, mereka berkata: ‘Kami mempelajari al-Qur’ân, sekaligus mengetahui dan mengamalkannya”
Meski demikian para ulama juga tetap mewanti-wanti bahwa perkataan sahabat yang dianggap sebagai tafsîr bi al-ma’tsûr adalah perkataan mereka yang terkait dengan tafsîr dan diriwayatkan dengan jalur sanad yang shahîh.  Secara umum bentuk-bentuk penafsiran sahabat itu adalah: menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah, dengan ungkapan/riwayat yang di-marfu’-kan kepada Nabi tetapi tidak secara sharih, dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihâd ataupun dengan pendapat sahabat lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka dengan kondisi turunnya ayat.[22]
Di antara contoh perkataan sahabat di dalam tafsîr adalah ketika Ibn ‘Abbâs menafsirkan ayat Allâh berikut:
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ
Kata تَعْضُلُوهُنّ beliau artikan dengan لاتقهروهنّ [23]

4)      Perkataan Tabi’in terkait dengan penafsiran ayat al-Qur’ân
Banyak para ulama yang menjadikan perkataan tabi’in yang shahîh  sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr, mengingat para tabi’in tersebut adalah murid para sahabat Nabi, yang paling memahami al-Qur’ân setelah sahabat itu sendiri.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan kita mengetahui bahwa al-Qur'ân telah dibaca oleh para sahabat, tabi’in dan orang-rang yang mengikuti mereka. Dan bahwa mereka paling tahu tentang kebenaran yang dibebankan Allâh kepada Rasûl Allâh untuk menyampaikannya.”[24] 
Di antara tabi’in tersebut adalah Mujâhid bin Jabir, Sa'id bin Jubair, Ikrimah, Atho' bin abi Rubah, Al-Hasan Al-Bashri, Masrûq bin Al-Ajda', Sa'id bin Al-Musayyib, Abu 'Aliyah, Rhabi' bin Anas, Qotadah, Adh-Dhahak bin Muzâhim dan lain-lainya.[25]
Berikut akan penulis kemukakan beberapa perkataan ulama yang bisa dijadikan penguat bahwa perkataan tabi’in tersebut memang sangat patut dijadikan sumber tafsîr:
-          Ibn Abi Malikah berkata:
رأيت مجاهداً يسأل ابن عباس عن تفسير القرأن، فيقول له ابن عباس: اكتب. حتى سأله عن تفسير كله! [26]
Artinya: “Saya melihat Mujâhid (seorang tabi’in, penulis) bertanya kepada Ibn ‘Abbâs mengenai tafsîr al-Qur’ân, sehingga ibn ‘Abbâs berkata kepadanya, ‘Tulislah!’, Sehingga ia menanyakan semuanya tentang tafsîr (kepada Ibn ‘Abbâs)”
-          Sufyân al-Tsauri berkata:
 إذا جاءك التفسير عن مجاهد فحسبك به
Artinya:“jika kamu mendapati tafsîr dari Mujâhid, maka  yang demikian telah memadai bagimu.[27]
-          Mujâhid berkata:
 عرضت المصاحف على ابن عباس ثلاث عرضات، من فاتحة إلى خاتمته، أوقفه عند كل اية منها، وأسأله عنها فيما أنزلت، وكيف أنزلت
Artinya: “Saya telah menyodorkan mushhaf kepada Ibn ‘Abbâs sebanyak tiga kali –dari awal sampai akhir- maka saya memperhatikan ayat perayatnya, dan saya bertanya kepadanya tentang bagaimana kondisi dan dimana ayat itu diturunkan[28]
 Secara umum bentuk-bentuk penafsiran tabi’in itu adalah: menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, dengan Sunnah, dengan perkataan sahabat, dengan kaidah bahasa Arab, dengan ijtihâd, dengan pendapat tabi’in lainnya serta berdasarkan pengetahuan mereka dengan kondisi masyarakat waktu turunnya ayat.[29]
Di antara contoh tafsîr yang berasal dari perkataan tabi’in adalah perkataan Mujâhid terkait ayat Allâh di dalam al-Naba’ “لَا يَرْجُونَ حِسَابًا” menurut Mujâhid berarti [30]لا يخافون حسابا
5)      Al-Qirâ’ât al-Syâdz
Al-Qirâ’ât al- Syâdz yaitu Qirâ’ât yang dinisbahkan kepada imam-imam qurra’ dari kalangan tabi’in dan tabi’ tabi’in yang tidak memenuhi syarat Qirâ’ât Shahîh .[31] Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan al-qirâ’ât syâdz adalah: ما لم يصح سنده (Qirâ’ât yang sanadnya tidak shahîh ).[32] 
   Di antara yang termasuk al-qirâ’ât syâdz tersebut adalah Qirâ’ât yang disandarkan kepada imam qurra’ yang empat yaitu:
a)      Ibn Muhaishin, yaitu Muhammad ibn ‘abd al-rahman al-Sahm al-makiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat Makkah
b)      Al-A’masy, yaitu Sulaiman ibn Mihran al-Kûfiy, yang merupakan imam qurra’ bagi masyarakat Kufah
c)      Hasan ibn Yasâr al-Bashriy, yaitu yang merupakan imam qurra’ dari Bashrah
d)     Al-Yazidiy, yaitu Yahya ibn Mubârak al-‘Adawiy al-Bashriy yang juga merupakan imam Qurra’ dari Bashrah.
Qirâ’ât yang empat ini, telah disepakati ulama bahwa ia bukanlah al-Qur’ân, tetapi ini akan membantu di dalam menafsirkan dan menjelaskan makna ayat. Dari sisi ini,  al-qirâ’ât al-syâdz dapat digolongkan sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr. Di antara ulama yang menjadikan al-qirâ’ât al-syâdz sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsûr adalah Syaikh abd al-Fatâh al-Qâdhiy. Beliau mengungkapkan:واذ قد علمت أنّ القراءة الشاذة لا تجوز القراءة بها مطلقا، فاعلم انه يجوز تعلّمها و تعليمها، وتدوينها في الكتاب، وبيان وجهها من حيث اللغة و الإعراب و المعنى، والإستنباط الأحكام الشرعية منها  [33]
Di antara contoh al-qirâ’ât al-syâdz yang dijadikan tafsîr bagi ayat Allâh adalah sebagai berikut: Firman Allâh Surat al-Baqarah: 104
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Dalam Qirâ’ât yang shahîh  kata رَاعِنَا ditulis dengan tidak memakai tanwin. Sehingga dipahami jika kata tersebut adalah fi’il amr dari kata راعي – يراعي, yang fa’il-nya adalah dhamir mustatir yang takdir-nya adalah أنت (kamu), sedangkan  ناadalah dhamir muttashil pada posisi nashb sebagai maf’ul bihi (objek). Maka menurut Qirâ’ât yang shahîh  kata رَاعِنَا berarti أمهلنا و أنظرنا ولا تعجل علينا (tangguhkanlah/ tunggulah dan jangan segerakan atas kami).
Namun di dalam Qirâ’ât yang syâdz –yaitunya Qirâ’ât Ibn Muhaishin dan Hasan al-Bashriy-  kata رَاعِنَا dibaca dengan tanwin yaitu رَاعِنًا. Maka menurut Qirâ’ât ini kata رَاعِنًا merupakan shifat bagi mashdar yang mahdzûf yang taqdir-nya adalah لا تقول قولا راعنا (janganlah kamu mengatakan perkataan yang râ’inan/kotor.
Jadi makna ayat ini adalah: “Allâh melarang orang yang beriman untuk mengatakan perkataan yang kotor, dan menganjurkan mereka untuk mengatakan perkataan yang baik lagi lembut.
Makna ayat ini telah benar, tetapi Qirâ’ât-nya adalah syadz, dan Qirâ’ât tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ayat al-Qur’ân
6)      Al-Qirâ’ât al-Tafsîriyyah
Al-Qirâ’ât al-tafsîriyyah menurut sebahagian ulama dikenal dengan istilah al-mudrâj. Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan mudrâj adalah: ما زيد في القراءات على وجه التفسير (adanya penambahan [kata] di dalam Qirâ’ât yang berfungsi sebagai tafsîr).[34] 
Dan pengertian lebih rinci –sebagai pengertian yang penulis perpegangi- adalah pengertian yang diberikan oleh al-Khâlidiy, yaitu:
 هي ما يضيفه بعض الصحابة من بعض الكلمات، تفسيرا منه لبعض الأيات، وهم يعلمون أنها كلمات منهم، وأنها ليست من القرأن  
Artinya: al-qirâ’ât al-tafsîriyyah adalah sebahagian kalimat atau kata yang dimasukkan oleh sahabat di dalam Qirâ’ât-nya sebagai penjelasan bagi ayat tersebut, dan ia menyadari kalau kalimat tersebut bukanlah ayat al-Qur’ân.
Jadi pada dasarnya –menurut penulis- menerima al-qirâ’ât al-tafsîriyyah, sebagai sumber tafsîr bi al-ma’tsur adalah menerima perkataan sahabat sebagai sumber tafsîr. Maka al-qirâ’ât al-tafsîriyyah inipun harus berasal dari jalur sanad yang shahîh  sebagaimana perkataan sahabat.
Berikut penulis kemukakan al-qirâ’ât al-tafsîriyyah  sebagai bentuk tafsîr dari ayat al-Qur’ân, yaitu Qirâ’ât ibn ‘Abbâs yang diriwayatkan oleh Abu ‘abd Allâh Muhammad  ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhâriy[35] dan Abu Dâwud Sulaimân ibn al-‘Asy’ats al-Sijistâniy al-Azdiy[36] mengenai ayat Allâh لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ , Ibn ‘Abbâs menambahkannya dengan kata في مواسم الحج  .[37]
c.       Posisi dan Hukum Tafsîr bi al-ma’tsûr
Tafsîr bi al-ma’tsûr merupakan sumber tafsîr yang paling utama. Ini dapat dinilai demikian karena beberapa alasan di antaranya: a. karena ia menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan ayat al-Qur’ân yang lainnya, dan Allâh tentu lebih mengetahui maknanya b. karena ia juga menafsirkan dengan hadîts  Rasul Allâh, dan sebagaimana dimaklumi beliau memang berfungsi untuk menjelaskan al-Qur’ân, c atau karena menafsirkan dengan menggunakan atsâr sahabat, yang mereka jelas telah menyaksikan turunnya al-Qur’ân dan memahami kejadian-kejadian dan kondisi turunnya ayat tersebut.
Namun meski demikian, kesalahan-kesalahan masih mungkin terjadi, diantaranya: kesalahan di dalam memahami makna suatu ayat yang akan dijadikan tafsîr bagi ayat lain, kesalahan di dalam mengambil riwayat yang ternyata tidak shahîh  ataupun yang dipengaruhi oleh riwayat isrâiliyât, dan berbagai bentuk kesalahan lainnya.  
Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah yang wajib diikuti dan diambil jika terbukti shahîh . Karena terjaga dari penyelewengan makna kitab Allâh. Ibnu Jarîr berkata, “Ahli tafsîr yang paling tepat mencapai kebenaran adalah yang paling jelas hujjah-nya terhadap sesuatu yang dia tafsir-kan dengan dikembalikan tafsir-nya kepada Rasûl Allâh dengan khabar-khabar yang tsâbit dari beliau dan tidak keluar dari perkataan salâf.” 
d.      Qaidah Tafsîr Terkait Tafsi bi al-ma’tsur
Terkait dengan tafsîr bi al-ma’tsur terdapat beberapa kaidah yang ditulis oleh al-Khâlidiy yaitu:
1)      تفسير القرأن بالقرأن هو الأساس لما بعده من التفسير بالمعثور  (tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân adalah dasar bagi tafsîr bi al-ma’tsur selainnya)
2)      تفسير القرأن بالسنة يلي تفسير القرأن باالقرأن في المنزلة والأهميتة   (dari sisi kedudukan dan arti pentingnya, tafsîr al-Qur’ân dengan Sunnah berada setelah tafsîr al-Qur’ân  dengan al-Qur’ân)
Dari dua kaidah ini dapat dipahami bahwa tafsîr yang paling utama adalah tafsîr al-Qur’ân dengan al-Qur’ân (ini bisa dalam bentuk bayân al-mujmâl, taqyîd al-muthlaq, takhshîh al-‘âm, bayân al-mantuq  dengan al-mafhûm, dan berbagai bentuk lainnya),  kemudian al-Qur’ân dengan Sunnah.
3)      بيان الرسول الله صلى الله عليه و سلم لأية و تفسيره لها مقدم على أي بيان وتفسير (Penjelasan dan penafsiran Rasul terhadap suatu ayat diutamakan daripada penjelasan apapun)
Dari Kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila telah ada keterangan Nabi terhadap makna suatu ayat, maka keterangan lain tidak dapat diperpegangi jika menyalahi keterangan Nabi ini.
4)      قول الصحابة في التفسير مقدم على قول من بعد (Pendapat sahabat mengenai tafsîr lebih didahulukan dari pada pendapat orang-orang [belakangan] setelahnya.)
5)      قول التابعي في التفسير مقدم على قول من بعد  (Pendapat tabi’in mengenai tafsîr lebih didahulukan dari pada pendapat orang-orang [belakangan] setelahnya.)
Kaidah 1, 2, 4 dan 5 di atas menjelaskan bahwa sumber tafsîr yang paling utama adalah al-Qur’ân, kemudian al-Sunnah, kemudian qaul al-shahabah dan kemudian qaul al-tabi’in. Maka penafsiran sunnah pada dasarnya tidak boleh menyalahi al-Qur’ân, qaul al-shahabah tidak boleh menyalahi sunnah, dan qaul al-tabi’in tidak boleh menyalahi qaul al-shahabah serta pendapat mufassir berikutnya tidak boleh menyalahi qaul al-tabi’in dan sumber tafsîr di atasnya.   
6)      لا يؤخذ التفسير بالمأثورالا بعد ثبوته و تخريجه  (Tafsîr bi al-ma’tsur pada dasarnya tidak akan digunakan kecuali setelah dipastikan [ke-shahîh-annya] dan pen-takhrîj-annya)
Sesuai dengan kaidah ini, tafsîr bi al-ma’tsûr haruslah dinilai kualitas sanadnya, sebagai mana hadîts  Nabi yang lain. Menurut penulis, Kaidah ini menjadi jawaban terhadap banyaknya kemungkinan yang menyebabkan lemahnya tafsîr bi al-ma’tsur.[38]
7)      الجمع بين الأقوال المختلفة عن الصحابة و التابعين (Perbedaan pendapat antara tabi’in dan sahabat diselesaikan secara al-jam’u/kompromikan)
Berdasarkan kaidah ini dapat dipahami bahwa tafsîr bi al-ma’tsur –antara perkataan sahabat dan tabi’în- selama memiliki jalur sanad yang shahîh, tidak akan bertentangan, dan yang ada hanyalah tanawwu’/fariasi penafsiran. Maka ketika ada perbedaan diselesaikan dengan cara mengkompromikan keduanya, dan jika tidak bisa dilakukan dengan tarjîh.
8)      عدم اعتماد الإسرائيليات الا ما صح شاهده عندنا (isrâ’iliyât[39] tidak dapat diperpegangi kecuali memiliki syahid yang shahîh )
Kaidah ini menunjukkan kehati-hatian para mufassir terhadap cerita isrâiliyât. Dan ini merupakan wujud dari perwujudan hadîts  Nabi terkait ahli al-kitâb: لا تصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبواهم، وقولوا أمنا با الله وما أنزل علينا[40]

  1. Tafsîr bi al-Ra’yi/ al-Ma’qul
a.       Defenisi Tafsîr bi al-ra’yi
Secara bahasa kata الرأي merupakan mashdar dari kata رأى، يرى yang di dalam pemakaiannya digunakan untuk penglihatan mata. Selain untuk istilah penglihatan mata, ia juga dapat digunakan terkait dengan  إعتقاد(keyakinan), تدبير (pandangan) dan تفكير (pemikiran). Menurut Husain al-Dzahabiy juga dapat dipakai untuk makna إجتهاد (ijtihâd) dan قياس (qiyas).[41] Selain dengan istilah ra’yi, tafsîr ini juga dikenal dengan istilah ‘aqli atau nazhri.
Disebut dengan tafsîr ‘aqli karena memang di dalam penafsirannya, seorang mufassîr sangat memberdayakan akal dan fikirannya. Sedangkan dinamakan dengan nazhri karena memang tafsîr ini merupakan hasil dari penelitian yang mendalam.[42]
Sedangkan menurut Istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama yaitu: 
1)      Menurut Mana’ Khalîl al-Qaththan
هو ما يعتمد فيه المفسر في بيان المعنى على فهمه ا لخاص  و ستنباطه با لرأي المجرد[43]
Artinya:Yaitu tafsîr yang mufassîrnya di dalam menjelaskan  makna hanya mengandalkan pemahaman dan meng-istinbath-kannya dengan menggunakan logika semata.
Kemudian Mana’ Khalîl al-Qaththan menambahkan keterangan terkait defenisi ini. Menurutnya yang dimaksud logika semata adalah logika yang pemahamannya tidak sejalan dengan nilai syari’at, dan biasanya dilakukan oleh ahli bid’ah.[44]  
2)      Menurut al-Rûmiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد[45]
Artinya: Yaitu istilah untuk penafsiran al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd.
3)      Menurut al-Dzahabiy
(هو) عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد، بعد معرفة المفسّر لكلام العرب و مناحيهم في القول، ومعرفته للألفاظ العربية ووجوه دلالتها، واستعانته في ذالك بالشعر الجاهلي، ووقوفه على أسباب النزول، ومعرفته بالناسخ و المنسوخ من ايات القرأن، وغير ذالك من الأدوات التي يحتاج اليه المفسر
Artinya: Yaitu istilah untuk penafsiran al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd, setelah seorang mufassîr tersebut menguasai kalam Arab dan pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa Arab, dan wujuh dilalahnya, serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir Arab jahiliyah, asbâb al-nuzûl, mengetahui nâsikh dan mansûkh, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh para mufassîr
4)      Menurut al-Shabûniy
...يعتمد على إجتهاده المبني على اصول الصحيحة، وقواعد سليمة متبعة[46]
Artinya: Yaitu tafsîr dengan menggunakan ijtihâd, yang dibangun atas dasar yang shahîh  serta ka’idah yang benar dan patut diikuti
Jika kita mencermati defenisi demi defenisi, antara satu defenisi dengan lainnya tidak ada yang sama. Menurut penulis defenisi pertama tidak bisa dikatakan sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi, dan tepatnya itu merupakan defenisi tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm (yang tercela), sedangkan defenisi yang ke tiga dan yang ke empat, itupun tidak bisa dikatakan sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi, dan itu hanya dapat dikatakan sebagai defenisi tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd (terpuji). Maka defenisi tafsîr bi al-ra’yi yang tepat –menurut penulis adalah defenisi yang diberikan oleh al-Rûmiy.
Singkatnya, tafsîr bi al-ra’yi dapat diartikan dengan penafsiran al-Qur’ân dengan menggunakan ijtihâd, baik berangkat dengan menggunakan ilmu yang terkait dengannya, maupun hanya dengan logika semata.
Berangkat dari defenisi, maka tafsîr bi al-ra’yi dapat dibagi menjadi dua yaitu: tafsîr bi al-ra’yi al-mazmûm dan tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd
Tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm adalah usaha menafsirkan al-Qur’ân tanpa memiliki dasar ilmu, Cuma memperturutkan nafsu, atau justru dilakukan oleh orang yang tidak mengerti kaidah bahasa dan syari’at, dan berbagai motif-motif lainnya.  Sedangkan tafsîr bi al-ra’yi al-mahmûd adalah tafsîr bi al-ra’yi yang sesuai dengan tujuan syari’at dan terjauh dari kebodohan dan kesesatan, atau sesuai dengan defenisi yang disampaikan al-Dzahabiy dan al-Shabûniy.[47]
Terkait dengan tafsîr bi al-ra’yi al-madzmûm ada beberapa riwayat yang mencelanya, di antara riwayat yang paling masyhûr di lingkungan disiplin ‘Ulûm al-Qur’ân adalah hadîts  berikut:
من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار, ومن قال في القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار [48]
Terkait dengan hadîts  ini maka ibn ‘Abbâs menafsirkannya dengan dua buah penafsiran yaitu: من قال في مشكل القرأن بما لا يعرف من مذهب الصحابة و التابعين فهو متعرض لسخة الله[49]  dan   من قال في القرأن قولا يعلم أن الحق غيره فليتبوأ مقعده من النار[50]
b.      Pandangan Ulama Tentang Kebolehan Tafsîr bi al-Ra’yi
Ulama berbeda pandangan mengenai kedudukan tafsîr bi al-ra’yi. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan memberikan persyaratan. Masing-masing mereka mengemukakan argumen sebagai penguat pendapatnya, baik aqli’, maupun naqli. Adapun alasan yang dipakai oleh mereka yang menolak tafsîr bi al-ra’yi adalah: [51]
1)      Menurut mereka tafsîr bi al-ra’yi  sama halnya dengan perkataan terhadap Allâh tanpa memiliki ilmu, dan hal itu dicela oleh ayat al-Qur’ân.[52]
2)      Allâh telah menobatkan Rasul-Nya sebagai penjelas al-Qur’ân,[53] itu artinya –menurut mereka- tidak boleh bagi yang lain untuk menafsirkan al-Qur’ân dengan logikanya.[54]
3)      Rasul telah melarang untuk menafsirkan al-Qur’ân dengan logika (tafsîr bi al-ra’yi), sebagaimana yang terdapat dalam hadîts  di atas.[55]
4)      Adanya atsâr yang menjelaskan bahwa sahabat dan tabi’in sangat memuliakan tafsîr dan merasa keberatan berpendapat –dengan ra’yi- di dalam tafsîr.[56]
      Adapun alasan yang dipakai oleh mereka yang membolehkan  tafsîr bi al-ra’yi adalah: [57]
1)      Adanya perintah Allâh untuk men-tadabbur al-Qur’ân, yang berarti menyuruh untuk menela’ahnya dengan memberdayakan akal.[58]
2)      Allâh telah memuji orang-orang yang meng-istinbath-kan makna dan dilalah ayat, mereka adalah ulu al-Albâb, mereka adalah orang yang ber-ijtihâd di dalam menafsirkan al-Qur’ân dengan ra’yi-nya.[59]
3)      Menurut mereka jika tafsîr bi al-ra’yi memang dilarang, bagaimana mungkin ijtihâd dibolehkan.
4)      Adanya do’a Nabi untuk ibn ‘Abbâs : “ اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل ”. Jadi bagaimana mungkin tafsîr bi al-ra’yi dilarang, padahal di sisi lain justru Nabi mendo’akan ibn ‘Abbâs dengan do’a ini[60]
5)      Kenyataan yang menunjukkan adanya perbedaan penafsiran di kalangan sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran mereka juga berasal dari ijtihâd mereka.[61]
Terlepas dari kedua kelompok di atas, al-Dzahabiy dan ‘Allâmah al-Râghib al-Ashfahâniy berpendapat bahwa tafsîr bi al-ra’yi dibolehkan selama sesuai dengan al-Qur’ân dan Sunnah serta menjaga syarat-syarat tafsîr,[62] Begitu pula halnya dengan pendapat Ibn Taimiyah[63] dan al-Zarqâniy. 
Dan terkait dengan kebolehan tafsîr bi al-ra’yi, kemudian al-Zarqâniy mengemukakan langkah kerja yang harus ditempuh oleh mereka yang menafsirkan al-Qur’ân dengan tafsîr bi al-ra’yi ini yaitu:
1)      Meng-istinbat-kan maknanya dari al-Qur’ân,  hadîts, atau perkataan sahabat maupun tabi’in.
2)      Jika tidak ditemukan, maka mesti berijtihad dengan langkah: a. Dimulai dari  pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi sharf dan isytiqâq, b. Mencari makna kalam sesuai susunannya yang terkait dengan i’râb dan balaghah, c. Mendahulukan makna haqîqi dari pada  majâzi, d. Memperhatikan asbâb al-nuzûl, d. Menjaga maksud dari siyâq al-kalam, e. Memperhatikan sâbiq dan lâhiq, baik dalam satu ayat, maupun antar ayat, f. Menyesuaikan antara tafsir dengan yang di-tafsîr-kan, g. Menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, termasuk dengan sejarah bangsa arab waktu ayat itu turun, h. Menyesuaikannya dengan sejarah Nabi dan yang terakhir mampu menjelaskan makna dan meng-istinbat-kan hukum darinya.[64]     

C.     Penutup
1.      Kesimpulan
Dari Pembahasan singkat mengenai sumber-sumber tafsir ini dapat disimpulkan beberapa poin yaitu:
a.     Tafsîr bi al-ma’tsûr adalah tafsîr berdasarkan riwayat-riwayat yang diterima, baik dari Nabi, sahabat maupun tabi’în Sedangkan tafsîr bi al-ra'yi adalah tafsir dengan cara ijtihad.
b.    Syarat diterimanya tafsîr bi al-ma’tsûr adalah riwayat tersebut merupakan riwayat yang shahîh Sedangkan tafsîr bi al-ra'yi, tafsîr tersebut harus dibangun atas dasar yang shahîh dan ka'idah yang benar, seperti kaidah bahasa, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan mufassir, serta terhindar dari pengaruh nafsu dan bid'ah.
c.     Tafsîr bi al-ma’tsûr yang shahîh memiki kedudukan yang lebih utama dibanding tafsîr bi al-ra’yi, namun kedudukan ini tidak berarti menghalangi mufassir untuk memakai ijtihad/ al-ra'yi, yaitu selama ra’yi tersebut tidak bertentangan dengan penafsiran yang dimaksud tafsîr bi al-ma’tsûr yang shahîh
2.      Saran-saran
Mengingat penulis hanya banyak merujuk kepada kitab Ta’rîf al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn dan Tafsîr wa al-Mufassirûn, maka demi kesempurnaan pemahaman kita terkait sumber tafsir ini, make penulis mengharapkan kepada kita semua untuk dapat merujuk kepada kitab-kitab yang mu tamad lain seperti, al­Itqân fl ‘Ulûm al-Qur'ân dan Muqaddimah fi Usûl al-Tafsîr, serta kitab-kitab lainnya





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Bukhâriy, Abu ‘abd Allâh Muhammad  ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy, Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi, Qahirah: Maktabah Salafiyah, 1400 h

Baidan, Nasruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Al-Damîniy, Musfir ‘Azm Allâh, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, Riyad: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyah, 1984

Al-Dzahabiy, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa all-Mufassirûn, Qahirah: Maktabah al-Wahbah, 1995

Haqqiy, Muhammad Shafa Ibrâhîm, ‘Ulûm al-Qur’ân min Khilâl Muqaddimah al-Tafsîr, Beirut: Maktabah al-Risâlah, 2004

Al-Khâlidiy, Shâlah abd al-Fattâh, Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, Damaskus: Dar al-Qalam, 2002

Ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arâb, Qahirah, Dar al-Ma’arif, [t.th]

Al-Qaththân, Mana’ Khalîl, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, [t.kt]: Mansyûrât al-Ashr al-Hadîts, 1973

Al-Rûmiy, Fahd ibn ‘abd al-Rahmân ibn Sulaimân, Buhûts Ushl al-Tafsîr wa Manâhijuhu, Riyadh: Maktabah al-Taubah, 1422 h

Al-Sabtiy, Khâlid ‘Usmân, Qawâ’id al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, Su’udiyah: Dar Ibn ‘Affân, 1997

Al-Shabûniy, Muhammad ‘Aliy, Al-Tibyân fi ‘Ulum al-Qur’ân, Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003

Ibn Shalâh, Abiy ‘Amru ‘Usmân ibn ‘abd al-Rahmân al-Syahrazûriy, ‘Ulum al-Hadîts li Ibn al-Shalâh, Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1991

Al-Zarkâsyi, Al-Imâm Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘abd Allâh, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’aîn, Qahirah: Dar al-Turâts, 1984

Al-Zarqâniy, Muhammad ‘abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kitâb al-‘Arabiy, 1995



[1] Sebagaimana dimaklumi, istilah ini telah dibahas pada makalah sebelumnya baik dari segi kebahasaan, maupun secara istilah.
[2] Sebagaimana yang dikutip oleh Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy dari Mu’jam al-Washît. Lebih lanjut lihat Shâlah abd al-Fattâh al-Khâlidiy (selanjutnya disebut dengan al-Khâlidiy), Ta’rif al-Dârisîn bi Manâhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dar al-Qalam, 2002), h. 199   
[3] di dalam lisan al-‘Arab diartikan dengan الخبر (sesuatu yang disampaikan), lihat. Ibn manzhur, Lisan al-Arab, (Qahirah, Dar al-Ma’arif, [t.th]), h. 25
[4]  Ibn Manzhur, Ibid
[5] Muhammad Husain al-Dzahabiy, al-Tafsîr wal-Mufassirûn, (Qahirah: Maktabah al-Wahbah, 1995), Jilid II, h. 163, Defenisi ini juga dirujuk oleh Muhammad Shafa Ibrâhîm Haqqiy, sehingga ia mendefenisikannya sebagai berikut:
المقصود من التفسير باالأثر تفسير القرأن بالقرأن ، تفسير القرأن بما نقل عن الرسول الله صلى الله عليه وسلم اي سنة،  واقوال الصحابة وما ثبت عنهم،  وباقوال التابعين
Muhammad Shafa Ibrâhîm Haqqiy, ‘Ulûm al-Qur’ân min Khilâl Muqaddimah al-Tafsîr, (Beirut: Maktabah al-Risâlah, 2004), juz. III, h. 227
[6] Selanjutnya di tulis dengan al-Zarqâniy
[7] Selanjutnya di tulis dengan al-Shabûniy
[8] Lihat Muhammad abd al-‘Azhim al-Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Kitâb al-‘Arabiy, 1995), Juz. II, h. 12, atau lihat juga  Muhammad ‘Aliy al-Shabûniy, Al-Tibyân fi ‘Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2003), h. 67
[9] Mana’ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, ([t.kt]: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, 1973) h. 347 
[10] Hal ini pulalah nantinya yang sangat ditekankan oleh al-Khalidi ketika membahas mengenai sumber-sumber tafsir bi al-ma’tsur. Ini akan penulis jabarkan pada poin berikutnya.
[11] Al-Rumiy, Op cit, h. 73-78
[12] Lihat al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân, Op Cit, h. 13
[13] Al-Rumiy, Op cit, h. loc Cit
[14] Meski al-Khalidiy memposisikan al-sunnah sebagai sumber tafsir bi al-ma’tsur yang pertama, namun Ibn Taimiyah memposisikannya sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Ini Tampak dari ungkapan beliau berikut ini:
فإن أعياك ذالك- تفسير القرأن بالقرأن- فعليك بالسنة، فإنها شارحة للقرأن و موضحة له 
Kalau hal ini menyulitkanmu –tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an-, maka wajib bagimu mencarinya dalam sunnah Rasulullah, karena sunnah adalah pemberi keterangan Al-Qur'an dan penjelas baginya. Al-Imâm Badr al-Dîn Muhammad ibn ‘abd Allah al-Zarkhâsyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’aîn, (Qahirah: Dar al-Turats, 1984), Cet. III, Jilid. II, h. 167
[15] Musfir ‘Azm Allâh al-Damîniy, Maqâyis Naqdi Mutun al-Sunnah, (Riyad: Jâmi’ah Imam Muhammad bin Su’ud al-Islamiyah, 1984), h. 117  
[16] Abu ‘abd Allâh Muhammad  ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhâriy (selanjutnya ditulis dengan al-Bukhâriy) , Al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi, (Qahirah: Maktabah Salafiyah, 1400 h), Juz. III, h. 190-191
[17] Di antara  defenisi sahabat yang diberikan ulama adalah: من لقي النبي صلى الله عليه و سلم مؤمنا به، ومات .    على الإسلام. Lihat Khâlid ‘Usmân al-Sabtiy, Qawâ’id al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, (Su’udiyah: Dar Ibn ‘Affân, 1997), Jilid. I, h. 158. Sebagai perbandingan Lihat Abiy ‘Amru ‘Usmân ibn ‘abd al-Rahmân al-Syahrazûriy (Ibn Shalâh), ‘Ulum al-Hadits li Ibn al-Shalâh, (Beirut: Maktabah al-‘Ilmiyah, 1991), h. 263
[18] Ibid, Terkait dengan ini Ibn Taimiyah berkata: “Wajib diketahui bahwa Nabi telah menjelaskan makna-makna Al-Qur'an kepada para sahabat sebagaimana telah menjelaskan lafadz-lafadznya kepada mereka”
[19] Al-Shabûniy, Op Cit, h. 70
[20] Al-Khâlidiy, Op Cit, h. 201
[21] Ibid
[22] Ibid, h. 212
[23] Al-Bukhâriy, Op Cit, Juz. III, h. 216
[24] Al-Rûmiy, Op Cit, h. 78
[25] Ibid
[26] Al-Khalidiy, h. 203
[27] Ibid
[28] Ibid , Lihat juga al-Shabûniy, Op Cit, h. 78
[29] Ibid, h. 213
[30]  Al-Bukhâriy, Op Cit, h. 320
[31] Di antara syarat qira’at yang shahih itu ada tiga yaitu: Memiliki jalur sanad yang shahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tidak menyalahi rasm al-‘Usmaniy  
[32] Mana’ al-Qaththan, Op Cit, h. 178 
[33] Dan sungguh telah diketahui bahwa  al-qirâ’ât al-syâdz, tidak boleh membaca (al-Qur’an) dengannya, tetapi ketahuilah bahwa ia boleh dipelajari dan diajarkan, begitu juga membukukannya ke dalam sebuah kitab, atau menjelaskannya dari sudut pandang bahasa, i’rab dan makna, serta meng-istinbath-kan hukum syar’i darinya. Lihat al-Khâlidiy, h. 204   
[34] Mana’ Khalîl al-Qaththân, Loc Cit
[35] Beliau masyhur dengan sebutan Imam al-Bukhâriy, pengarang kitab jami’ al-Shahih/ shahih al-Bukhâriy
[36] Beliau lebih masyhur dengan sebutan abu Dâwud yang pengarang kitab Sunan abiy Dâwud.   
[37] Al-Khâlidiy, h. 206-207
[38] Menurut al-Shabûniy, ada 4 sebab yang menyebabkan dha’îf-nya tafsir bi al-ma’tsûr yaitu: a. Tercampurnya antara riwayat yang shahih dengan yang tidak, b. adanya riwayat isrâ’iliyat, c. adanya usaha kelompok mazhab yang menisbahkan perkataan/pendapat mereka kepada para sahabat nabi, dan d. Adanya usaha dari kaum zindiq untuk merusak agama dengan menisbahkan perkataan dusta kepada nabi dan para sahabat ataupun tabi’in. Al-Shabûniy, Op Cit, h. 70-71   
[39] Isrâiliyât adalah istilah yang diberikan ulama untuk riwayat atau kisah masa lalu yang tidak berasal dari Islam, tetapi justru didapatkan dari berita ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani), Al-Khâlidiy, Op Cit, h. 218   
[40]  Hadits riwayat al-Bukhâriy dari Abi Hurairah, lihat Al-Khâlidiy, Ibid
[41] Ibid, h. 413
[42]  Ibid, h. 41
[43] Mana’ Khalîl al-Qaththân, Op Cit, h. 351
[44] Ibid
[45] Al-Rumiy, Op Cit, h. 78
[46] Al-Shabûniy, Op Cit, h. 155, pada keterangan  selanjutnya beliau mengatakan bahwa al-Ra’yi yang dimaksud oleh defenisi ini bukan al-Ra’yi/logika semata dan bukan pula bermakna hawa nafsu.  
[47] Lihat Al-Shabûniy, Op Cit, h. 157
[48] Selain hadits ini juga ada hadits lain yang tidak kalah celaannya terhadap tafsir bi al-ra’yi al-madzmûm ini yaitu hadits riwayat abu Dâwud berikut:
من قال في القرأن برأيه فأصاب فقد اخطأ
Menurut al-Qurthûbiy yang dimaksud dengan al-ra’yihi di dalam hadits ini adalah hawa nafsu. Maka meskipun di dalam memaknai suatu ayat ia betul, maka tetap saja dianggap salah. Dan menurut ibn ‘Atiyah, jika penafsiran tersebut berangkat dari kaidah kebahasaan -seperti nahu- ataupun kaidah fiqih, -meskipun tidak merujuk kepada penafsiran ulama-, maka ini tidak termasuk ke dalam maksud hadits di atas. Ibid, h. 156
[49] Siapa yang membahas mengenai musykil al-Qur’ân, dengan yang tidak ia ketahui dari mazhab sahabat dan tabi’in, maka dia telah berhadapan dengan kemarahan Allah.
[50]  Siapa yang berpendapat dengan sebuah pendapat terkait dengan al-Qur’an, padahal ia mengetahui pendapat orang lain lebih benar darinya, maka bersiap-siaplah dengan tempat dari api neraka.  
[51] Lebih rincinya lihat al-Dzahabiy, Op cit, h. 266-269  atau al-Khâlidiy, Op Cit, h. 415-416
[52] Adapun ayat yang dimaksud adalah QS. Al-Isrâ’: 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
[53] Sebagaimana yang terdapat di dalam QS. Al-Nahl: 44
[54] Mereka yang membolehkan tafsîr bi al-ra’yi mengatakan bahwa apa yang disampaikan ini ada benarnya, tetapi nabi sendiri telah meninggal, sementara tidak seluruh ayat yang beliau jelaskan. Ibid, h. 267   
[55] Bagi mereka yang membolehkan tafsîr bi al-ra’yi  menjawab argumentasi ini dengan mengemukakan keterangan sebagai berikut:
a. Bahwasanya larangan yang dimaksud hadits, adalah tafsir mengenai musykil al-qur’an atau ayat-ayat mutasyâbih yang tidak mungkin diketahui kecuali dengan dalil naqli
b. Bahwasanya yang dimaksud dengan “al-ra’yi” adalah logika tanpa dalil yang jelas.
c.  Bahwasanya larangan tersebut terkait bagi mereka yang menafsirkan al-qur’an dari sisi lahiriah bahasa, dan mengabaikan akhbâr al-shahâbah.   h. 268   
[56] Dijelaskan di dalam sebuah riwayat dari Abi Malikah, bahwa Abu Bakr al-Shiddîq pernah ditanya tentang tafsir suatu kata dari ayat al-Qur’an. Namun beliau merasa keberatan untuk menjawabnya dengan mengatakan: أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني، و أين أذهب، وكيف أصنع إذا قلت في حرف من كتاب الله بغير ما أراد تبارك تعالى  dan selain riwayat ini juga banyak riwayat lain yang menjelaskan sikap sahabat lainnya yang merasa keberatan di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, lebih jelasnya lihat Al-Dzahabiy, Ibid, h. 269-270   
[57] Lebih rincinya lihat Ibid, h. 271-272  atau al-Khâlidiy, Op Cit, h. 416
[58] Ibid, Adapun ayat yang dimaksud di antaranya adalah QS. Muhammad: 24
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْءَانَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
[59] Ibid, Di antara ayat yang mereka maksud adalah QS. al-Nisâ’: 83.
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
[60] Dijelaskan di dalam sebuah riwayat dari Abi Malikah, bahwa Abu Bakr al-Shiddîq pernah ditanya tentang tafsir suatu kata dari ayat al-Qur’an. Namun beliau merasa keberatan untuk menjawabnya dengan mengatakan: أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني، و أين أذهب، وكيف أصنع إذا قلت في حرف من كتاب الله بغير ما أراد تبارك تعالى  dan selain riwayat ini juga banyak riwayat lain yang menjelaskan sikap sahabat lainnya yang merasa keberatan di dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, lebih jelasnya lihat Al-Dzahabiy, Ibid, h. 269-270   
[61] Al-Rûmiy, Op Cit, h. 80
[62] Al-Dzahabiy, loc Cit
[63] Al-Rûmiy, Loc Cit
[64] Lihat al-Zarqâni, Op Cit. h. 67-68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar