Rabu, 02 November 2011

NADZAR MENURUT PERSPEKTIF HADÎTS


NADZAR MENURUT PERSPEKTIF HADÎTS

  A.      PENDAHULUAN
Salah satu yang menjadi kewajiban seorang Muslim adalah menunaikan nadzar yang telah mereka ucapkan. Namun pertanyaan selanjutnya bagai manakah sebenarnya hukum asal dari nadzar itu sendiri, dan bagaimana ketentuan syariat mengenai batasan-batasan nadzar yang harus ditunaikan  serta kedudukan nadzar yang telah diucapkan seseorang sebelum mereka memeluk agama Islam.
Di dalam makalah singkat ini penulis akan membahas persoalan tersebut dengan menggunakan pendekatan hadîts Rasul Allah yang membahas masalah tersebut.
Adapun metode yang penulis pakai adalah metode tematis (maudhu’iy). Penulis akan mendahului pembahasan ini dengan penjelasan singkat mengenai istilah nadzar, kemudian menampilkan hadîts-hadîts yang yang berhubungan dengan nadzar, selanjutnya membahas mengenai kwalitas dari hadîts tersebut dengan merujuk kepada penilaian ulama-ulama hadîts, Setelah itu barulah penulis melanjutkannya dengan pemahaman hadîts-hadîts tersebut.
Untuk mengetahui penilaian ulama mengenai kwalitas hadits penulis melihat ke dalam kitab Jâmi’ al-Shaghir fi Ahâdîts al-Basyîr wa al-Nadzîr serta kitab syarah seperti Syarh Muslim oleh al-Nawâwiy, Fath al-Bâriy, Subûl al-Salâm dan kitab Syarah lainnya. Demikian juga dengan pemahamannya, penulis juga akan merujuk ke dalam kitab-kitab syarah tersebut. 
  
  B.      Nadzar
1.      Pengertian Nadzar
1
 
Kata "nadzar" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu na-dza-ra yang berarti kewajiban atau sesuatu yang diwajibkan atas diri sendiri,[1] atau janji atas diri, baik untuk melaksanakan kebaikan maupun keburukan (الوعد بخير أو شر). Pada dasarnya kata ini bermakna takhwif (memberi ancaman).[2] Namun kemudian dipakai untuk penyebutan sesuatu yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya.
Sedangkan secara istilah, terdapat beberapa defenisi yang disampaikan oleh para ulama, di antaranya adalah:
1.    Menurut al-Shan’aniy:
التزام المكلف شيئا لم يكن عليه منجزا أو معلقا[3]
Penetapan tuntutan dari seorang mukallaf bagi dirinya terhadap sesuatu yang pada dasarnya tidaklah wajib baik secara spontan maupun bersyarat.  

2.    Sedangkan ‘abd al-Rahman al-Jazairy mengungkapkan makna nadzar dalam al-Fiqh 'ala mazâhib al-Arba'ah sebagai berikut:
النذر هو أن يوجب المكلف على نفسه أمرا لم يلزمه به الشارع[4]
Nadzar adalah: Bahwasanya seorang mukallaf mewajibkan pada dirinya sesuatu yang tidak diwajibkan Syâri’ (Allah)
3.    Al-Râghib al-Ashfahâniy
النذر: أن توجب على نفسك ما ليس بواجب لحدوث أمر[5]
Nadzar ialah mewajibkan sesuatu yang tidak wajib terhadap diri sendiri karena terjadi suatu perkara”
4.    Al-Thabariy
هو كلّ ما أوجبه الإنسان على نفسه من فعل[6]
Ia (nadzar) adalah Perbuatan yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya
5.    M. Quraish Shihab
“Tekad yang dinyatakan seseorang guna mengikat dirinya melakukan suatu amalan yang baik”[7] 
Jika dicermati defenisi yang diberikan oleh ulama-ulama di atas, terdapat sedikit perbedaan, yaitu jika al-Shan’aniy menekankan tentang bentuk-bentuk nadzar, yaitu yang spontan dan yang bersyarat, maka al-Ashfahâniy mengkhususkan terhadap nadzar mu’awwadha (dipahami dari kata li hudûts amrin). Sedangkan yang lain  cenderung hampir sama. Semuanya sependapat bahwa:
1.   Nazar adalah mewajibkan diri untuk mengerjakan sesuatu;
2.   pekerjaan tersebut sebelum dinazarkan adalah tidak wajib.
2.      Hadîts-hadîts Tentang Nadzar dan Kwalitasnya
Dari penelusuran penulis terhadap hadîs-hadîts mengenai nadzar, penulis telah mendapatkan beberapa hadits pokok, di antaranya adalah  hadîts yang mengungkapkan bahwa nadzar tersebut tidak akan membawa kebaikan melainkan hanyalah dilakukan oleh mereka yang bakhil. Hal ini seperti pada hadîts berikut:
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ نَهَى عَنْ اَلنَّذْرِ وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ اَلْبَخِيلِ[8]
Artinya:  Dari ibnu Umar bahwa Nabi Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam melarang ber-nadzar, beliau bersabda: "Ia tidak mendatangkan kebaikan, ia hanya dikeluarkan oleh orang bakhil.".
Menurut al-Suyûthiy hadîts ini berkwalitas shahîh.[9] Adapun di dalam hadîts riwayat al-Tirmidziy lewat jalur abiy Hurairah terdapat perbedaan lafaz, yaitu memakai lafaz lam nahi, seperti lafaz berikut
عن ابي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تنذروا فإن النذر لا يغني من القدر شيئا وإنما يستخرج به من البخيل[10]
Adapun jalur ini di nilai berkualitas hasan oleh al-Tirmidziy.[11]
Selain itu juga ada riwayat yang menjelaskan mengenai kafarat  bagi mereka yang melanggar nadzar, yaitu seperti pada hadîts berikut ini:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ.[12]
Artinya: Dari Uqbah Ibnu Amir Radhiya Alâh ‘anhu 'anhu bahwa Rasûl Allâh Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kafarat  nadzar adalah (sama dengan) kafarat  sumpah."
Adapun maengenai kwalitas hadîts ini adalah shahîh. Ini sebagaimana yang ditulis oleh al-Suyûthiy dan al-Albaniy.[13]  
Kemudian di dalam hadîts Nabi yang lain juga dijelaskan bahwa syarat nadzar yang ditunaikan tersebut adalah nadzar di dalam hal yang dihalalkan Allah, bukan di dalam kema’siatan sebagaimana pada hadîts Nabi berikut:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال النبي صلى الله عليه و سلم  من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصيه فلا يعصه[14]
Artinya: Hadîts dari 'Aisyah radhiya Allâh ‘anhu, beliau berkata: Rasul Allah saw bersabda: " siapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya, dan siapa yang bernadzar hendak bermaksiat kepada Allah, janganlah ia melakukan maksiat tersebut."
Hadîts ini berkwalitas shahîh, sebagaimana yang ditulis oleh al-Suyûthiy.[15] 

Kemudian juga ada riwayat yang menyatakan bahwa nadzar tersebut tiak boleh dalam urusan yang menganiaya diri. Sebagaimana pada hadîts berikut:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّهُ قَالَ نَذَرَتْ أُخْتِى أَنْ تَمْشِىَ إِلَى بَيْتِ اللَّهِ حَافِيَةً فَأَمَرَتْنِى أَنْ أَسْتَفْتِىَ لَهَا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَفْتَيْتُهُ فَقَالَ  لِتَمْشِ وَلْتَرْكَبْ
Artinya: Hadîts dari Uqbah ibn ‘Âmir berkata: Saudaraku perempuan pernah bernadzar hendak berjalan ke Bait Allah dengan kaki telanjang, lalu ia menyuruhku untuk meminta petunjuk kepada Rasûl Allâh Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam Setelah aku meminta petunjuknya, Nabi Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Hendaknya ia berjalan dan naik kendaraan."
Hadîts ini diriwayatkan oleh Muslim, al-Bukhâriy, abiy Dâwud dan al-Baihaqiy.[16]   
Selain juga ada hadîts Nabi tentang menunaikan nadzar orang tua yang telah meninggal. Seperti pada hadîts berikut:
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( اِسْتَفْتَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ رضي الله عنه رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي نَذْرٍ كَانَ عَلَى أُمِّهِ, تُوُفِّيَتْ قَبْلِ أَنْ تَقْضِيَهُ ؟ فَقَالَ: اِقْضِهِ عَنْهَا )
Artinya: Ibnu Abbas Radhiya Alâh ‘anhu 'anhu berkata: Sa'ad Ibnu Ubadah meminta petunjuk Rasûl Allâh Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam tentang nadzar ibunya yang telah meninggal sebelum melaksanakannya. Beliau bersabda: "Laksanakan untuknya."
Hadîts ini diriwayatkan oleh Muslim, al-Bukhâriy, al-Nasâ’iy dan al-Baihaqiy.[17]  
Serta hadîts tentang nadzar yang diucapkan sebelum Islam, seperti pada hadîts berikut ini:
وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ( قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ فِي اَلْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ )
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa aku berkata: Wahai Rasûl Allâh, pada masa jahiliyyah aku pernah bernadzar akan beri'tikaf semalam di Masjidil Haram. Beliau bersabda: "Penuhilah nadzarmu." Muttafaq Alaihi. Bukhari menambahkan dalam suatu riwayat: Lalu ia beri'tikaf semalam.
Hadîts ini diriwayatkan oleh Muslim, al-Bukhâriy, al-Baihaqiy, Ahmad ibn Hanbal  dan Abiy Dâwud.[18]  

  C.      Nadzar Menurut Perspektif Hadîts
1.      Hukum Nadzar
Sesuai dengan ijma’ para ulama, hukum memenuhi nadzar yang telah diikrarkan adalah wajib, yaitu selama nadzar itu di dalam hal-hal keta’atan.[19] Namun lain halnya dengan hukum ber-nadzar itu sendiri, ada yang menilainya sunnat, ada yang berpendapat makrûh, bahkan haram.   
Di antara dalil yang menjelaskan hukum ber-nadzar adalah hadîts berikut:
وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ نَهَى عَنْ اَلنَّذْرِ وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ اَلْبَخِيلِ[20]
Artinya:  Dari ibnu Umar bahwa Nabi Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam melarang ber-nadzar, beliau bersabda: "Ia tidak mendatangkan kebaikan, ia hanya dikeluarkan oleh orang bakhil.".
Di dalam hadîts ini terdapat sighat nahi yaitu dalam bentuk jumlah khabariyah نهى. Pada dasarnya sighat nahi menunjukkan haram-nya sesuatu. Sehingga sepintas dipahami bahwa berdasarkan hadîts ini hukum ber-nadzar adalah haram. Apalagi jika dirujuk kepada hadîts riwayat abiy Hurairah yang tegas-tegas memakai redaksi lam nahi seperti hadîts berikut:
عن ابي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تنذروا فإن النذر لا يغني من القدر شيئا وإنما يستخرج به من البخيل[21]
Namun sebelum menyimpulkan tentang ke-haraman ber-nadzar, terlebih dahulu perlu diperhatikan dalil-dalil dan qarinah-qarinah lainnya yang tidak boleh diabaikan seperti nash al-Qur’an dan riwayat lainnya.[22]
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan pujian kepada mereka yang menunaikan nadzar di antaranya adalah Qs. Al-Insan: 7 berikut ini:
يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا
Artinya: Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
Pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan tentang nikmat di surga yang diperoleh oleh mereka yang berbuat baik. Maka ayat ke-7 ini menjelaskan siapa saja di antara mereka yang berbuat baik tersebut, yaitu mereka yang memenuhi nadzar yang telah mereka ucapkan dengan sesempurna mungkin.
Berdasarkan ayat ini maka ada di antara ulama yang menilai bahwa larangan di dalam hadîts di atas bukanlah menunjukkan ke-haraman untuk ber-nadzar tersebut. Melainkan hadîts ini perlu untuk ditafsirkan lebih jauh. Ibn Atsir dalam kitab al-Nihayah fi Gharib al-Hadîts berkata: “sudah berulang-ulang larangan nadzar di dalam hadîts Nabi Muhammad SAW, dan itu menguatkan urusannya dan ancaman terhadap orang-orang yang meremehkannya  setelah dia mewajibkan hal tersebut atas dirinya. Seandainya pengertiannya adalah hardikan/larangan ber-nadzar sehingga tidak boleh dikerjakan, maka sungguh hal tersebut membatalkan hukumnya dan menggugurkan keharusan pemenuhan nadzar tersebut. Karena adanya larangan tersebut menjadikan ma’siat mengerjakannya, maka tidak harus dipenuhi.[23]       
Menurut beliau hadîts tersebut hanyalah menjelaskan bahwa Rasul Allah SAW memberitahukan kepada mereka bahwa dengan ber-nadzar tersebut tidaklah memberi manfaat segera kepada mereka, atau menghindarkan mereka dari bahaya, dan tidak dapat merubah takdir.
Adapun mayoritas ulama, berdasarkan hadîts di atas, berpendapat bahwa hukum ber-nadzar tersebut adalah makrûh. Hal ini berdasarkan ketegasan larangan bernadzar tersebut. Ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengemukakan argumentasi bahwa mereka yang melakukan nadzar tersebut sebenarnya bukanlah untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan mereka berharap dengan melaksanakan nadzar tersebut akan menjadikan diri mereka mendapat karunia dan terhindar dari azab.[24] Dan sikap seperti ini, yaitu melaksanakan sesuatu jika ia telah mendapatkan imbalan, ini merupakan sikap dari orang-orang yang bakhil. Maka redaksi hadîts فإن النذر لا يغني من القدر شيئا وإنما يستخرج به من البخيل, ini sebetulnya mengingatkan perilaku manusia yang berfikir seperti cara berfikir di atas. Sehingga nadzar tersebut adalah suatu yang sangat di-makrûh-kan.
Ulama lain yang menilai nadzar sebagai suatu yang makrûh adalah ulama Hanabilah, al-Tirmidziy, Ibn Mubarak dan Ibn Hajar. Menurut Ulama Hanabilah makruh-nya nadzar ini telah mendekati kepada haram (karahah tahrîm). Imam Tirmidziy sendiri juga menilai hal ini makrûh, mengikut pendapat ahl ‘al-ilmi dari kalangan para sahabat.  Adapun sikap ibn Hajar yang menganggap nadzar sebagai suatu yang makrûh tergambar pada ungkapan beliau berikut ini: وأنا أتعجب ممن أطلق لسانه بأنه ليس بمكروه مع ثبوت النهي الصريح فأقل درجاته أن يكون مكروها[25] (Saya heran terhadap orang yang membiarkan lidahnya berkata bahwa nadzar tersebut tidaklah makrûh, pada hal sangat jelas adanya larangan tersebut.). Sedangkan Ibn Mubarak mengatakan bahwa nadzar tersebut hukumnya makrûh, baik di dalam keta’atan maupun di dalam kemaksiatan. Hanya saja menurut beliau jika seseorang ber-nadzar dengan sebuah keta’atan, kemudian ia melaksanakannya, maka baginya pahala atas apa yang telah ia lakukan tersebut.
  Dan di antara ulama yang berpendapat ber-nadzar adalah sunnat adalah Imam al-Nawawiy. Adapun al-Shan’aniy justru berpegang dengan zahir hadîts, yaitu berpendapat bahwa ber-nadzar tersebut merupakan sesuatu yang haram, yaitu ber-nadzar dengan mengeluarkan harta. Adapun ber-nadzar dengan ketaatan lainnya seperti beribadah shalat, puasa dan lainnya tidaklah masuk ke dalam cakupan hadîts ini.  Dan hal tersebut tidaklah dilarang.  Hal ini sebagaimana yang beliau ungkapkan berikut ini:
قلت القول بتحريم النذر هو الذي دل عليه الحديث ويزيد تأكيدا تعليله بأنه لا يأتي بخير فإنه يصير إخراج المال فيه من باب إضاعة المال وإضاعة المال محرمة، فيحرم النذر بالمال كما هو ظاهر قوله وإنما يستخرج به من البخيل وأما النذر بالصلاة والصيام والزكاة والحج والعمرة ونحوها من الطاعات فلا تدخل في النهي ويدل له ما أخرجه الطبراني بسند صحيح عن قتادة في قوله تعالى: {يُوفُونَ بِالنَّذْرِ}[26]
Pendapat al-Shan’aniy dia atas hampir sama dengan pendapat Imam al-Albaniy. Hanya saja Imam al-Albani menjelaskannya dengan cara membagi nadzar kepada dua macam yaitu mustahab dan mujazat/mu’awwadha. Sehingga dengan keterangan tersebut dapat memadukan antara pemahaman hadîts dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Maka masing masing dalil tersebut, baik al-Qur’an maupun Sunnah tidak lagi tampak berlawanan. Beliau membedakan nadzar menjadi dua ini, sesuai dengan pendapat Shiddiq Hasan Khan,  yaitu:
a.       Nadzar Mustahab (yang disunnahkan)
Adapun yang dimaksud dengan nadzar mustahab yaitu nadzar yang dikerjakan karena mengandung kebajikan dan keta’atan, artinya seorang muslim ber-nadzar untuk melaksanakan suatu keta’atan karena Allah, tanpa ada ketergantungan dengan suatu imbalan apapun. Hal inilah yang diinginkan oleh Allah SWT seperti yang difirmankan-Nya dalam Surat Al-Insan ayat ke-7 di atas.
Hal tersebut seperti riwayat dari Qatadah yang ditampilkan oleh Imam al-Thabari, ketika beliau menjelaskan makna ayat ke-7 dari surat al-Insan ini. Yaitu seperti berikut:
... عن قتادة، قوله:( يُوفُونَ بِالنَّذْرِ ) قال: كانوا ينذرون طاعة الله من الصلاة والزكاة، والحجّ والعمرة، وما افترض عليهم، فسماهم الله بذلك الأبرار[27]
 ….(Riwayat) dari qatadah, firman Allah :“mereka menunaikan nadzar)” beliau berkata: (para sahabat nabi) mereka bernadzar untuk mentaati Allah dalam bentuk shalat, puasa, zakat, haji dan umrah, dan atas apa-apa yang diwajibkan atas mereka dan lain sebagainya. Maka mereka dinamakan Allah orang-orang yang baik dan shaleh/berbuat baik.
Maka sangat jelas pujian ini ditempatkan bagi orang yang ber-nadzar bukan karena nadzar mujazat (karena minta balasan), melainkan nadzar yang tidak mengaitkann ketaatan mereka tersebut dengan sesuatu apapun.
b.      Nadzar Mujazat atau Muawwadha (minta imbalan atau ganti)
Yaitu seorang muslim ber-nadzar untuk melakukan keta’atan kepada Allah tetapi disyaratkan dengan sesuatu yang ada hasil/balasannya. Misalnya perkataan: “Kalau seandainya sakit saya disembuhkan Allah, maka saya akan bersedekah”, atau “Kalau si Fulan datang dengan keadaan begini, maka saya akan begini”, maka ini disebut nadzar yang mujazat atau muawwadha.
Menurut Al-Albaniy nadzar yang kedua inilah yang dimaksud oleh hadîts di atas. Beliau menjelaskan bahwa hadîts ini menunjukkan, bahwa nadzar itu sebaiknya tidak dilakukan bahkan hukum asalnya adalah makrûh, kecuali yang tidak ada imbalannya.
Adapun lafadz hadîts: إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ اَلْبَخِيلِ “Tidaklah nadzar itu keluar kecuali dari orang yang bakhil, ini menjelaskan bahwa dibencinya nadzar tersebut atau di-haram-kannya, itu khusus kepada nadzar yang mujazat/muawwadha, dan tidak termasuk nadzar yang mustahab. Karena nadzar mujazat/muawwadha inilah yang mengindikasikan kalau orang yang ber-nadzar itu adalah orang yang kikir.
Adapun sisi dibencinya nadzar mujazat  adalah pada saat ia melaksanakan nadzarnya itu, di mana ia ingin mendapatkan suatu tujuan dengan hasil perkataanya. Ini berarti ia belum mengikhlashkan perbuatan keta’atannya tersebut kepada Allah. Lebih jelas lagi jika apa yang ia syaratkan tidak terkabul, maka ia tidak akan menunaikan nadzar-nya. Hal seperti ini merupakan sifat dari orang yang bakhil, karena sesungguhnya orang yang bakhil tidak akan mengeluarkan hartanya kecuali ia ingin dapat ganti yang lebih cepat dan bertambah dari apa yang ia keluarkan sebelumnya.
Selain karena sifat bakhil, nadzar mujazat ini dilarang adalah karena kesalahan dari segi i’tikad atau keyakinan. Karena biasanya orang yang bernadzar menyangka dengan nadzar tersebut cita-citanya pasti berhasil, atau ia yakin Allah pasti akan mengabulkan apa yang ia inginkan disebabkan ia bernadzar tersebut. Maka nabi menegaskan bahwa nadzar tidak akan menolak sedikitpun atas qadha dan qadhar Allah.[28]
Imam Qurthubi berpendapat bahwa keyakinan seperti di atas adalah sebuah kesalahan besar, dan sangat dekat dengan kekufuran. Sehingga menurut beliau, alasan kenapa dilarangnya ber-nadzar oleh nabi adalah dalam rangka menjaga i’tikad dan keyakinan dari hal-hal seperti ini.

2.      Kafarat  Nadzar
Penjelasan mengenai kafarat  nadzar terdapat di dalam hadîts Nabi berikut:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ[29]
Artinya: Dari Uqbah Ibnu Amir Radhiya Alâh ‘anhu 'anhu bahwa Rasûl Allâh Shalla Allâhu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Kafarat  nadzar adalah (sama dengan) kafarat  sumpah."
Di dalam hadîts ini dijelaskan bahwa kafarat  nadzar sama dengan kafarat  Sumpah. Menurut Al-Nawawiy, para ulama berbeda pendapat mengenai maksud hadîts ini. Jumhur ulama Syafi’i berpendapat bahwa ini adalah terhadap nadzar lujaj yaitu jika seorang mengatakan bahwa dia ingin mencegah untuk berbicara dengan seseorang, seperti perkataan: “jika aku berbicara dengan Zaid maka demi Allah wajib bagiku pergi haji atau selainnya”, kemudian orang itu berbicara dengannya, maka dia dibolehkan memilih antara kafarat  sumpah atau menunaikannya. [30]  
Adapun Imam Malik dan banyak ulama lainnya berpendapat bahwa hadîts ini adalah terhadap nadzar yang mutlak (tanpa syarat), seperti perkataan seseorang,”Wajib bagiku nadzar.” Sementara sebagian ulama Syafi’i berpendapat bahwa hadîts ini adalah terhadap nadzar maksiat, seperti orang yang bernadzar untuk meminum khamar. Sedangkan kelompok ulama hadîts berpendapat bahwa kafarat  itu adalah untuk semua jenis nadzar. Menurut kelompok ini, orang yang bernadzar itu boleh memilih antara menunaikan apa yang telah dia komitmenkan itu atau kafarat  sumpah.[31]
Adapun kafarat  sumpah, sesuai dengan firman Allah di dalam QS. al-Maidah: 89 berikut:
w ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î/ þÎû öNä3ÏZ»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nà2äÏ{#xsム$yJÎ/ ãN?¤)tã z`»yJ÷ƒF{$# ( ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB ô`ÏB ÅÝy÷rr& $tB tbqßJÏèôÜè? öNä3ŠÎ=÷dr& ÷rr& óOßgè?uqó¡Ï. ÷rr& ㍃̍øtrB 7pt6s%u ( `yJsù óO©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ äot»¤ÿx. öNä3ÏY»yJ÷ƒr& #sŒÎ) óOçFøÿn=ym 4 (#þqÝàxÿôm$#ur öNä3oY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# öNä3s9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷/ä3ª=yès9 tbrãä3ô±n@ ÇÑÒÈ   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar