Rabu, 02 November 2011

DINASTI BUWAIHI


DINASTI BUWAIHI[1]
A.    PENDAHULUAN
Jika Daulah Umayyah menerapkan Prinsip Arab oriented, yaitu hanya mengambil bangsa Arab pada pos-pos penting pemerintahan, maka lain halnya dengan Abbasiyah, mereka tidak menunjuk pegawai –termasuk militer- berdasarkan Bangsa Arab atau non-Arab, melainkan berdasarkan loyalitas mereka terhadap Daulah.[2] Di satu sisi ini membawa kemajuan yang pesat terhadap Daulah Abbasiyah terutama di bidang ilmu pengetahuan, namun di sisi lain ini melahirkan kekuatan baru di dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah itu sendiri. Dan tidak Jarang dinasti yang berada di dalam dinasti induk Abbasiyah ini kekuasaannya melebihi kekuasaan dinasti Abbasiyah itu sendiri, sehingga kedudukan khalifah Abbasiyah hanyalah sebagai simbol, Sedangkan secara defacto kekuasaan berada di tangan para Amir. Salah satu dinasti tersebut adalah Dinasti Buwaihi yang berkuasa dari tahu 334 - 447 H.
Pada makalah ini penulis akan menggambarkan keseluruhan mengenai Dinasti Buwaihi yang meliputi: asal-usul Dinasti Buwaihi, masa kekuasaan Dinasti Buwaihi yang terdiri: a. Masa pembentukan Dinasti Buwaihi, b. Kondisi Dinasti Buwaihi, c. Kemunduran Dinasti Buwaihi, d. Kehancuran Dinasti Buwaihi. Khusus pada poin Kondisi Dinasti Buwaihi ini penulis juga akan menampilkan kondisi politik pemerintahan, kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, ekonomi, pemahaman keagamaan serta pemikiran filsafat di masa ini.

B.     ASAL-USUL BANI BUWAIHI
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi -yang kemudian memegang kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah- pada mulanya berasal dari tiga orang bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan  dan Ahmad. Ketiganya
adalah putra dari seorang yang bernama Buwaihi.[3]
Buwaihi ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam.[4] Ia adalah seorang rakyat biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan.[5] Ketiga orang anaknya pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya. Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal dengan keberaniannya. Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek mereka yang bergelar Abu Suja’,[6]  yang berarti bapak pemberani. Di dalam diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Kakak tertua, yakni Ali Ibn Buwaihi karena keberanian dan kecakapannya diangkat menjadi komandan tentara. Ia membawa kedua adiknya pindah dari negeri mereka ke ibu kota Daulah Abbasiyah Baghdad. Sebagai tentara yang punya keberanian tinggi ketiga bersaudara ini mengabdikan diri kepada orang-orang penting dalam Daulah Abbasiyah untuk melindungi mereka dari bahaya yang mengancam. Berkat langkah maju yang ditempuh oleh Ali Ibnu Buwaihi akhirnya ia dapat masuk ke dalam pusat kekuasaan khalifah. Berawal dari perjuangan inilah ia berhasil mengangkat nama negeri Dailam ke kawasan Timur dan Barat.[7] Pada gilirannya mereka menjadi penguasa di ibu kota Baghdad, dimana kekuasaan mereka di kenal di dunia Islam Timur dan Barat.
Itulah asal usul keluarga Buwaihi yang pada mulanya berasal dari keluarga miskin di negeri Dailam kemudian menjadi penguasa di dalam Daulah Abbasiyah selama hampir satu seperempat abad.


C.    MASA KEKUASAAN DINASTI BUWAIHI
Dinasti Buwaihi Berkuasa pada masa Daulah Abbasiyah berkuasa di Baghdad selama hampir satu seperempat abad, yaitu dari tahun 334-447 H/ 945-1055 M. Meskipun dalam masa tersebut kekhalifahan dipegang oleh keluarga Bani Abbas, tetapi khalifah hanya sebagai lambang saja. Yang menguasai dan mengatur pemerintahan adalah keluarga Bani  Buwaihi
  1. Pembentukan Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi terbentuk semenjak Ahmad Ibn Buwaihi memasuki kota Baghdad dan diserahi kekuasaan oleh Khalifah Al-Mustakfiy sebagai pelindungnya dari bahaya orang Turki. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Jumadil Awwâl 334 H. Kemudian lima hari setelah itu oleh khalifah Al-Mustakfiy, Ahmad ibn Buwaihi dipercaya memegang jabatan atas nama khalifah. Inilah titik awal terbentuknya Dinasti Buwaihi di dalam Daulah Abbasiyah.[8]
Sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa di dalam Daulah Abbasiyah, yang berkuasa adalah orang-orang keturunan Turki. Penguasa yang terakhir dari orang-orang Turki adalah Mardawij, pada masa inilah ketiga putra Buwaihi datang untuk bekerja di bawah pimpinan Mardawij. Oleh Mardawij mereka diterima dengan baik, karena mereka memiliki kecakapan yang tinggi dan ketiganya diangkat menjadi panglima untuk wilayah-wilayah yang luas, dan kepada mereka diberi gelar sultan.    
‘Ali ibn Buwaihi -putra Buwaihi yang tertua- diberi kekuasaan untuk seluruh wilayah Persia, Al-Hasan –adik ‘Ali- diberi kekuasan untuk wilayah Ray,  Hamadzan dan Isfahân, sedangkan Ahmad ibn Buwaihi  yang paling muda diberikan kekuasaan untuk wilayah Ahwaz dan Kirman.[9]

Dengan diberikan wilayah kekuasaan yang luas kepada Bani Buwaihi mulailah terbuka celah bagi mereka untuk mendapatkan kemungkinan merebut kekuasaan nantinya. Selain menguasai wilayah, mereka juga sekaligus menjadi panglima. Karena itu kekuasaan militer juga berada di tangan mereka yang pada suatu ketika bisa dimanfaatkan. Ahmad Ibn Buwaihi yang pada waktu itu ibu kota Baghdad berada dalam kekuasaannya selalu mencari peluang yang baik untuk menduduki Baghdad yang menjadi tempat kedudukan khalifah. Kota ini dikawal ketat oleh sejumlah pengawal yang dipimpin oleh Tauzon, seorang diktator militer yang bergelar Amîr al-Umarâ’. Pada masa khalifah al-Muttaqiy, Ahmad ibn Buwaihi pernah diminta oleh khalifah datang ke Baghdad guna melindungi dirinya, karena pada waktu itu terjadi keretakan hubungan antara khalifah dengan Tauzon. Pada tahun 332 H ia berangkat menuju Baghdad, namun sebelum masuk kota itu ia dicegat oleh Tauzon, sehingga ia gagal masuk ke sana. [1]   
Pada tahun 334 H Tauzon meninggal dunia, sedangkan wakilnya yang bernama Ibn Syairazad sedang berada di luar kota Baghdad. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ahmad ibn Buwaihi untuk memasuki Baghdad, kehadirannya diterima baik oleh Khalifah al-Mustakfiy yang ketika itu menghadapi bahaya besar dari orang-orang Turki. Dalam kondisi ini yang terbaik baginya adalah meminta perlindungan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang terkenal gagah dan berani dengan cara mengangkatnya sebagai penguasa atas nama khalifah. Sehingga orang-orang Turki yang dianggap berbahaya tidak berpeluang merebut kedudukan khalifah.[2]
Sebagai pengahargaan terhadap keluarga Buwaihi, khalifah memberikan gelar kepada Ahmad Ibn Buwaihi dengan Mu’îz al-Daulah, kepada Ali ibn Buwaihi dengan Imâd al-Daulah dan kepada Hasan ibn Buwaihi dengan Rukn al-Daulah. Mulai saat itu resmilah keluarga Buwaihi sebagai pemegang kekuasaan dalam Daulah Abbasiyah. Selanjutnya kekuasaan dipegang secara turun temurun oleh keluarga ini hingga mereka dijatuhkan oleh Bani Saljuk pada tahun 447 H/ 1055 M.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini tercatat penguasa yang memerintah sebanyak 11 orang yaitu:
1.      Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz al-Daulah) tahun 334-356 H
2.      Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367 H
3.      Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah) tahun 367-372 H
4.      Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham al-Daulah) tahun 372-376 H
5.      Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah) tahun 376-379 H
6.      Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah) tahun 379-403 H
7.      Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun 403-411 H
8.      Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9.      Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun 416-435 H
10.  Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11.  Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H[3]

  1. Kondisi  Dinasti Buwaihi
a.       Politik Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya Bani Abbasiyah atau Bani Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amîr al-Umarâ’  di bawah kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama Bani Buwaihi menjadi Amîr al-Umarâ’  mereka berada di bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyah yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’ (946-974 ), Al-Tâ’i (974-991 ), Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075 ).[4] Meskipun mereka hanyalah Amîr al-Umarâ’ Namun mereka memegang kekuasaan secara defacto pada dinasti Abbasiyah. Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir al-Umara’ dan menggantinya menjadi Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota Baghdad dan mendapat posisi penting di pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan posisi khalifah tak obahnya seperti boneka. Segala kebijakan berada di tangan Amîr.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa dinasti Buwaihi mulai berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah diserahi memegang kekuasaan atas nama khalifah oleh al-Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah pertama yang beliau lakukan adalah berusaha menggantikan kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berpaham Sunniy menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak berhasil dikarenakan mendapat reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan kekuasaan adalah dengan mengganti khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya al-Mutî’ sebagai khalifah, Muîz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan kekuasaannya. Karena ia yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah sesuka hatinya.
Selama Mu’îz al-Daulah berkuasa, dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan yang berarti. Ia banyak disibukkan menghadapi pemberontakan dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’îz al-Daulah adalah puteranya ‘Îzz al-Daulah. ‘Îzz al-Daulah berusaha menstabilkan kondisi politik waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar. Tidak hanya menghadapi kaum Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari sepupunya sendiri yaitu  Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah terbunuh pada tahun 367 H.
Setelah ‘Îzz al-Daulah terbunuh, Adhdu al-Daulah naik menggantikannya. Ia memegang kekuasaan dari tahun 367-372 H. pada masa inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa dinasti Buwaihi memimpin. Di antara keberhasilan yang beliau capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak pernah berhasil dilakukan pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1)      Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil beliau lakukan setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Thâ’i.
2)      Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi yang berada di wilayah-wilayah yang luas.[5]       
Satu hal yang mesti digarisbawahi, bahwa stabilitas politik dinasti Buwaihi cukup terkendali hanya pada masa 3 anak Buwaihi dan Adhdu al-Daulah. Khusus setelah masa 3 anak Buwaihi, kondisi politik banyak diwarnai pertikaian dan perebutan kekuasaan sesama keturunan Buwaihi. Dan hal ini pulalah nantinya yang akan menyebabkan kehancuran Dinasti Buwaihi.[6] Ketika Penguasa Kuat seperti  Mu’îz a-Daulah dan Adhdu al-Daulah maka semua dapat dikendalikan, namun ketika penguasa lemah maka tampaklah tanda-tanda kehancuran Buwaihi. Faktor lain yang menyebabkan rumitnya situasi politik waktu itu adalah timbulnya pertentangan di tubuh militer antara bangsa Dailam dan Turki, serta adanya serangan-serangan gencar dari Bizantium ke Wilayah Islam. Hal ini menyebabkan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad.[7] Di antara dinasti itu adalah: Iksidiah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan Lembah Furat, Ghaznawiy di Ghazna dan dinasti Saljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari dinasti Buwaihi.[8] 
b.      Ekonomi
Untuk menopang perekonomian masyarakat pada masa dinasti Buwaihi dikembangkan berbagai usaha yang meliputi :[9]
1)      Perdagangan
2)      Pertanian
Untuk menopang pertanian pada waktu itu telah dibangun kanal-kanal dan saluran irigasi
3)      Industri
Di antara bentuk industri yang dikembangkan pada waktu itu, yang paling besar adalah industri permadani
Satu hal yang mesti dicatat pada masa Adhdu al-Daulah berkuasa,  kesejahteraan imam masjid diperhatikan, para penulis dan tokoh agama serta ilmuan diberi honorarium yang cukup besar.  Untuk kesehatan masyarakat dibangun Rumah sakit besar di Baghdad dan di Syiraj.[10]


c.       Iptek Dan Kesenian
Sebagaimana Para khalifah Abbasiyah pada periode awal, para penguasa Buwaihi mencurahkan perhatian yang besar dan sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa Bani Buwaihi ini banyak bermunculan ilmuan besar, di antaranya Al-Farâbiy (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghâni, Abd al-Rahmân al-Shûfiy (w.986 M), Ibn Miskawaih (w.1030 M), Abu al-A’la al-Ma’âriy (973-1057 M), serta kelompok Ikhwân al-Shafa.[11] Kemajuan di masa Bani Buwaihi semakin tampak jelas dengan dibangunnya masjid-masjid, rumah sakit, kanal-kanal dan bangunan umum lainnya, salah satunya adalah Dar al-Mamlakah yang terdapat di kota Baghdad. [12]
Kemajuan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat pada masa ini terjadi karena banyak faktor, menurut analisa penulis ada beberapa hal yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa dinasti Buwaihi, di antaranya adalah:
1)      Warisan tradisi dari Dinasti Abbasiyah awal yang mendorong para pemikir abad berikutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti banyaknya penterjemahan, penulisan karya ilmiah serta pen-tahqiq-an kitab-kitab sebelumnya pada masa Harun al-Rasyîd dan al-Makmûn.
2)      Perhatian khalifah dan amîr yang begitu besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat kita lihat pada masa Adhdu al-Daulah yang memberikan honorarium yang besar terhadap para Fuqahâ’, Muhadditsîn, mutakallimîn dan ahli Nahu, pujangga, sastrawan, dokter, ahli Hisab, arsitek dan lain-lain.[13]  Pada masa beliau, istana digunakan sebagai tempat pertemuan ilmuan, sastrawan, cendikiawan dan ulama. Di sini menjadi kesempatan untuk para penulis untuk menulis buku dalam berbagai cabang ilmu. Di antara buku yang ditulis pada masa itu adalah: “Al-Idhah wa al-Takmîlah fi al-Nahw”  karangan Syekh Abu ‘Ali al-Farîsiy, dan Taji fi Akhbâriy Baniy Buwaihi”  yang ditulis oleh Ishâq al-Shâbiy.[14] 
d.      Pemikiran Filsafat dan Pemahaman Keagamaan
Masalah keagamaan pada masa Bani Buwaihi diwarnai oleh perseteruan antara paham Syi’ah yang di bawa oleh dinasti Buwaihi dengan paham Sunniy yang dianut oleh masyarakat Abbasiyah secara umum. Bahkan pada masa Mu’îz al-Daulah, beliau berusaha merubah paham kekhalifahan dari Sunniy menjadi Syi’ah. Namun usaha itu gagal karena mendapat reaksi dari masyarakat.
Tetapi pada masa Adhdu al-Daulah toleransi/tasâmuh antara kedua paham dapat terwujud. Sehingga baik Bani Abbas maupun Bani Buwaihi tidak ada yang memaksakan pahamnya masing-masing. Keduanya berjalan secara serasi dan harmonis. Hanya saja Pada masa Bahâ’ al-Daulah sempat terjadi insiden berdarah antara kaum Sunniy dan Syi’ah
Sedangkan Pemikiran filsafat sangat berkembang pada masa ini. Ini ditandai dengan kebanyakan tokoh yang muncul waktu itu adalah para filosof seperti kelompok Ikhwân al-Shafâ, Ibn Sina, Al-Farâbiy dan Ibn Miskawaih.
          
  1. Kemunduran Dinasti Buwaihi
Setelah Adhd al-Daulah meninggal pada tahu 372 H, ia digantikan oleh putranya yang bernama Abu Kalyajar al-Marzuban yang bergelar Sham-sham al-Daulah.[15] Pada waktu Sham-sham al-Daulah menggantikan ayahnya hubungan baik dengan khalifah masih dapat dipertahankan. Namun tidak lama kemudian suatu hal yang menggoncang kekuasaannya terjadi yaitu terjadi sengketa dengan saudaranya sendiri bernama Abu al-Fawaris yang bergelar Syaraf al-Daulah yang berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Meskipun ia berusaha mengadakan perdamaian dengan saudaranya tersebut tetapi tidak berhasil. Pada tahun 736 H Syaraf al-Daulah berhasil merebut kekuasaan dari tangan Sham-sham al-Daulah, dan menahannya sampai meninggal dunia pada tahun 376 H. Setelah memegang kekuasaan selama 3 tahun 11 bulan,[16] sejak terjadinya sengketa antara Sham-sham al-Daulah dengan Syaraf al-Daulah inilah Dinasti Buwaihi mulai mengalami kemunduran.
Pada Masa kekuasaan Syaraf al-Daulah keadaan politik mulai memburuk karena jalan kekerasan yang ditempuhnya mendapat kebencian dari keluarga Bani Buwaihi sendiri. Namun kebetulan ia tidak lama memegang kekuasaan, karena meninggal pada tahun 379 H, dalam usia 28 tahun setelah berkuasa selama 2 tahun 8 bulan.[17] Kemudian ia digantikan oleh saudaranya Abu Nashr yang bergelar Bahâ’ al-Daulah setelah, mendapat persetujuan dari khalifah Al-Thâ’i  di Baghdad.
Berbeda dengan beberapa penguasa sebelumnya Bahâ’ al-Daulah telah mulai memberikan kesempatan kepada orang-orang Turki untuk jabatan penting. Bahkan ia sampai mengabaikan keluarganya sendiri yang merupakan sendi kekuatan Bani Buwaihi. Tindakan lain yang dilakukannya adalah dengan menangkap seorang penguasa wilayah (gubernur) Ali ibn Syaraf al-Daulah karena dianggapnya akan menjadi saingan. Ali Adalah Putra saudaranya sendiri. Karena terlalu khawatir, maka Ali dibunuhnya. Tindakan ini membawa dampak yang negatif.
Kemudian sewaktu terjadi sengketa antara orang-orang Turki dengan orang-orang Dailam, Bahâ’ al-Daulah segera menghimpun orang-orang Turki dengan maksud supaya dapat melemahkan kekuatan orang-orang Dailam.[18] Tindakan ini menimbulkan pergolakan, salah seorang keluarga Bani Buwaihi yang bergelar Fakhr al-Daulah yang waktu itu menjabat gubernur wilayah Ray, Hamadzan dan Isfahan bertekad menguasai wilayah Iraq. Dan ia berusaha mendapatkan peluang untuk menduduki Baghdad. Ketika ia berangkat bersama tentaranya menuju Baghdad berita tentang keberangkatannya diketahui oleh Bahâ’ al-Daulah, ia segera mengirim pasukan untuk mematahkannya, pertempuran tidak dapat dielakkan pasukan Bahâ’ al-Daulah berhasil memukul mundur Fakhr al-Daulah. Dengan demikian Bahâ’ al-Daulah masih dapat mempertahankan kekuasaannya, namun kesatuan Bani buwaihi telah mulai terpecah.
Pada tahun 381 H terjadi keretakan hubungan antara Baha’ al-Daulah dengan khalifah Al-Thâ’i. Pada tahun itu juga khalifah ditangkap dan dipenjarakannya. Kemudian beliau mengangkat Al-Qodir sebagai penggantinya, dan semua harta benda yang berharga dirampasnya.[19]  Dengan diangkatnya Al-Qodir menjadi khalifah sesuai dengan persetujuan Bahâ’ al-Daulah, maka ia dapat bertindak sesuka hatinya. Semenjak itulah khalifah hanyalah sebagai lambang kekuasaan saja dan semua wewenang dan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bahâ’ al-Daulah. Dominasi Bahâ’ al-Daulah semakin tampak setelah ia menikahkan anaknya dengan khalifah Al-Qodir.
Masa Bahâ’ al-Daulah ini memang menjadi masa suram Dinasti Buwaihi, Bahkan seorang penulis yang bernama Abu Mahâsin mengatakan bahwa Bahâ al-Daulah adalah seorang penguasa yang zalim, yang hampir tidak ada meninggalkan karya positif bagi negara dan rakyatnya. Selain hal di atas ada beberapa peristiwa dan catatan penting bagi perjalanan kekuasaan Bahâ al-Daulah yaitu:
a.       Terjadinya insiden Baghdad antara kaum Syi’ah dan kaum Sunniy, yang dipicu oleh sikap fanatik Bani Buwaihi terhadap ajaran Syi’ah. Insiden ini hampir merenggut nyawa seorang ulama terkenal yaitu abu Hamîd al-Asfahâniy.
b.      Penunjukan putra mahkota yang bermuara kepada perebutan kekuasaan anak-anaknya pada periode berikutnya, bahkan sampai akhir kekuasaan Bani Buwaihi.[20]
Dari uraian ini dapat disimpulkan Bahwa di antara faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti adalah:
a.       Terjadinya perebutan kekuasaan sesama keluarga Buwaihi
b.      Rusaknya Hubungan Khalifah dengan penguasa
c.       Pemberian jabatan penting kepada orang Turki (Saljuk) dan mulai mengabaikan orang-orang Dailam sendiri (khususnya di bidang politik).
d.      Terjadinya pertikaian antara Syi’ah dan Sunniy
e.       Ketidakmampuan penguasa mengendalikan stabilitas politik
  1. Kehancuran Dinasti Buwaihi
Ketika telah terjadinya penggulingan demi penggulingan kekuasan sesama keluarga Bani Buwaihi, tepatnya pada masa Al-Malik al-Rahîm, Bani Saljuk di bawah pimpinan Tugrul Bek menyerbu Kota Baghdad, yang akhirnya ia berhasil menangkap Al-Malik al-Rahîm, serta Baghdad dapat dikuasai. Semenjak itu berakhirlah masa Dinasti Buwaihi, dan berdirilah Dinasti Bani Saljuk di Daulah Abbasiyah sebagai ganti dinasti Buwaihi.

B.     PENUTUP
1.      Kesimpulan
Bani Buwaihi merupakan bani perpaham Syi’ah yang berkuasa secara defacto selama satu seperempat Abad di dalam dinasti Abbasiyah. Namun kekuasaannya pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah tertentu melebihi kekuasaan khalifah. Bahkan khalifah bagi mereka hanyalah seperti boneka. Dinasti Ini hanya berjaya pada 3 anak Buwaihi dan Adhdu al-Daulah. Namun mengalami kehancuran karena banyaknya pertikaian dan saling menggulingkan antara sesama amîr.
Dikarenakan makalah ini bersifat deskriptif maka sulit bagi penulis untuk menyimpulkannya secara satu persatu. Mungkin inilah kesimpulan singkat yang mewakili isi makalah ini.
2.      Saran-saran
Supaya terintegralnya pembahasan ini penulis mengharapkan kepada seluruh peserta diskusi untuk dapat membaca dan membahas masalah Bani Buwaihi ini dengan membandingkannya langsung dengan sejarah Bani Abbasiyah. Karena bagai manapun Bani Buwaihi merupakan bani yang berkuasa di dalam dinasti Abbasiah. Sehingga nantinya tidak ada kita dapati hal yang bertolak belakang antara satu sejarah dengan sejarah lain.
Terakhir penulis menyadari, bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat berbagai kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan saran kontributif dan membangun dari kita bersama.
DAFTAR KEPUTAKAAN

Abd Allah, Taufik dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [tth].

Ahmed, Akbar S, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1992

Glasse, Cyril, The Concise Encyclopedia of Islam, diterjemahkan oleh Ghufron A.Mas’adi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999

Hasan, Hasan Ibrâhîm, Tarikh al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1964


Ibn al-Atsîr, Al-Kamîl fi al-Tarikh,  Beirut: Dar  Shadir, 1966

Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn khaldun, (terj. Ahmadie Thoha), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian ke-satu dan dua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999

Mahmûd, Hasan Ahmad, Al-Islâm wa al-Hadhârah al-Arabiyyah fi Asia al-Wustha, Kairo:Dar al-Nahdhah, 1968

Mahmûd, Hasan Ahmad dan Ahmad Ibrâhîm al-Syarîf, Al-‘Alâm al-Islâmiy fi al-‘Ashri al-Abbasiy, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, 1977

Ridwan, Kafrawi dkk (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islâmiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2006



[1] Ibid, h. 43
[2] Ibn al-Atsîr, Al-Kamîl fi al-Tarikh,  (Beirut: Dar  Shadir, 1966), Juz VIII, h. 450
[3] Taufik Abd Allah dkk (Ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [tth]), h.
[4] Ibid
[5]  Hasan Ibrâhîm Hasan, Op Cit, h. 45
[6]  Hal ini akan penulis rinci pada poin berikutnya, yaitu dalam pembahasan fase kemunduran dinasti Buwaihi.
[7] Badri Yatim, Op.Cit, h. 71 dan 72
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid Lebih jelas lihat Ibn al-Atsîr, Op Cit, h. 705
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Hasan Ibrâhîm Hasan,  Op Cit, h. 48
[14] Ibid
[15] Ibn al-Atsîr, Op Cit, h. 18 
[16] Hasan Ibrâhîm Hasan, Op Cit, h. 49
[17] Ibid
[18] Ibid, h. 50
[19] Ibid
[20] Di akhir Hayatnya Baha’ al-Daulah menunjuk anaknya yang pertama Sultan al-Daulah sebagai Penguasa, namun hal ini menimbulkan kecemburuan dari saudaranya yang lain, sehingga terjadilah penggulingan kekuasaan dari satu penguasa ke tangan pernguasa lainnya. Dan hal seperti ini berlanjut dari khalifah Sulthan al-Daulah sampai terakhir masa Malik al-Rahîm. Hal inilah yang membawa kehancuran Dinasti Buwaihi. Karena di dalam proses saling menggulingkan kekuasaan antara sesama keturunan Buwaihi ini, tidak jarang mereka meminta bantuan kepada Bani Saljuk. Dan akhirnya ketika Bani Saljuk telah mendapatkan momennya –tepatnya pada tahun 447 H- mereka mereka berhasil menduduki Baghdad dan secara otomatis berakhirlah masa dinasti Buwaihi berkuasa.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar