Rabu, 02 November 2011

KLASIFIKSI HADÎTS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK



A.    Pendahuluan
Di dalam mengklasifikasikan hadîts, ulama hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan jumlah macam-macam hadîts. Ibn Taimiyah mengungkapkan, “secara umum, berdasarkan keadaan Perawi dan keadaan matan hadits sangat banyak macamnya. Menurut Imam Al-Nawâwiy pembagian hadîts mencapai 65 macam, menurut Al-Suyûtiy pembagian hadîts mencapai 82 macam, menurut Ibn Katsîr sebanyak 65 macam dan Abu Fadhl al-Jizâwiy –di dalam kitab Al-Turas- membaginya menjadi 63 macam.
Hal ini terjadi karena mereka melihat klasifikasinya secara umum, dengan tidak melihat dan menggunakan tipologi yang jelas.
Untuk memudahkan pemahaman dan pengenalan hadîts nabi beserta istilah-istilah yang terkait dengannya, maka pemakalah akan menjabarkannya di dalam makalah singkat yang berjudul KLASIFIKSI HADÎTS DITINJAU DARI BERBAGAI ASPEK. Pembahasannya meliputi: Pembagian hadîts berdasarkan bentuk asal, pembagian hadîts berdasarkan sifat asal, pembagian hadîts berdasarkan Jumlah periwayat, pembagian hadîts berdasarkan kwalitas serta pembagian hadîts berdasarkan penisbatan.
              
B.     Klasifikasi Hadîts Nabi Ditinjau Dari Berbagai Aspek
Untuk mengklasifikasikan Hadîts Nabi Muhammad SAW, dapat dilihat dari berbagai aspek, di antaranya adalah:
  1. Berdasarkan Bentuk Asal
Khusus mengenai klasifikasi hadîts ditinjau dari aspek ini, tidak banyak buku yang merincinya. Penulis berasumsi bahwa pembagian ini ditarik langsung dari defenisi hadîts yang diberikan oleh ulama hadîts. Sebagaimana yang masyhûr, ulama hadîts mendefenisikan hadîts dengan
ما اضيف إلى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya”[1]  
Adapun pembagian hadîts ditinjau bentuk asal –sesuai dengan defenisi hadîts di atas- adalah:
a.       Hadîts Qawlîy
Hadîts Qawlîy adalah hadîts-hadîts yang beliau ucapkan berkenaan dengan berbagai tujuan pada berbagai kesempatan.[2] Adapun contoh dari hadîts ini adalah:
حدثنا آدم بن أبي أياس قال حدثنا شعبة عن عبد الله بن أبي السفر وإسماعيل عن الشعبي عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه[3]
 Artinya:“Telah meriwayatkan kepada kami Adam ibn abiy Iyâs dia berkata, telah meriwayatkan kepada kami Syu’bah dari Abd Allâh ibn Abi Safar dan Ismâ’îl dari al-Sya’bîy dari ‘Abd Allâh ibn ‘Amru dari Nabi SAW, Beliau bersabda:”orang Muslim adalah orang yang selamat muslim yang lain dari lidah dan tangannnya, Sedangkan orang yang hijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allâh terhadapnya”


b.      Hadîts Fi’lîy
Hadîts fi’lîy adalah Perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita oleh para sahabat.[4] Adapun contoh dari hadîts ini adalah:
عن محمد بن المنكدر قال : رأيت جابر بن عبد الله يصلي في ثوب واحد وقال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في ثوب
Artinya: “Hadîts dari Muhammad ibn Munkadir, beliau berkata: Saya melihat Jâbir Ibn ‘Abd Allâh Shalat dengan sehelai kain, dan ia berkata:”Saya melihat Rasul Allâh shalat dengan memakai sehelai kain”  
Hadîts fi’lîy dibagi menjadi dua yaitu: Hadîts fi’lîy yang diiringi dengan perkataan Nabi, dan yang tidak diiringi dengan perkataan Nabi.[5]
Contoh yang diiringi dengan perkataan Nabi/Hadîts Qaulîy adalah hadîts tata cara shalat nabi yang diiringi dengan hadîts Hadîts Qaulîy berikut
صلوا كما رأيتموني أصلي[6]
Khusus mengenai Hadîts fi’lîy yang tidak diiringi dengan perkataan nabi ini terdapat beberapa pembahasan penting yang menjadi sorotan para ulama terutama ulama Ushul. Mereka mempertanyakan muatan hukum yang terdapat di dalamnya, apakah wajib diikuti atau tidak. Setidaknya mengenai hal ini ulama Ushul membaginya kepada tiga bentuk, yaitu:
1)      ( افعال الجبلية ) Perbuatan yang muncul dari Rasul Allâh sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, tidur dan berdiri. termasuk juga di dalam hal ini pengalaman hidup beliau di dalam urusan dunia seperti perdagangan, pertanian dan peperangan serta pengobatan.
2)      (افعال التي ثبت كونها مخصص لنبي ) Perbuatan Rasul yang telah ditetapkan sebagai perbuatan yang khusus untuk dirinya, seperti tahajud yang ia lakukan setiap malam, tidak menerima sedekah serta memiliki istri lebih dari empat.
3)      Perbuatan yang berkaitan dengan hukum, dan ada alasannya yang jelas. Atau perbuatan nabi yang tidak ada diikuti oleh indikasi-indikasi sebagaimana pada poin satu dan dua[7]
Tentang macam yang pertama dan kedua menurut ulama ushul tidak mengandung muatan hukum, sedangkan yang terakhir menjadi syariat bagi umat Islam.

c.       Taqrîrîy
Hadîts Taqrîrîy adalah Segala sesuatu yang muncul dari sementara sahabat yang diakui keberadaannya oleh Rasul Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dengan cara diam tanpa pengingkaran atau persetujuan dan keterus terangan beliau menganggapnya baik bahkan menguatkannya.[8] Seperti Nabi membiarkan atau mendiamkan apa yang dilakukan oleh sahabat-Nya tanpa memberi penegasan atau pelarangan. Sikap Nabi seperti ini dijadikan hujjah atau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan suatu kepastian hukum. Adapun contoh dari hadîts ini adalah: sikap Beliau terhadap ijtihâd sahabat berkenaan dengan shalat Ashr sewaktu perang melawan Bani Quraidzah. Yakni ketika beliau bersabda:
لا يصلين احد العصر الا في بني قريظة[9]
Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat Ashr, kecuali di kampung Bani Quraidzah.


Sebahagian Sahabat memang tidak melakukan shalat kecuali setelah sampai di Kampung Bani Quraidzah, sehingga mereka mentakhirkan hingga waktu Maghrib. Sedangkan yang lain justru tetap shalat di perjalanan, karena mereka memahami hadîts tersebut dengan makna perintah Rasul Allah untuk mempercepat perjalanan agar sampai di Bani Quraidzah sebelum waktu Maghrib. Berita kedua kelompok sahabat ini sampai kepada Nabi, tetapi Nabi mengakui keduanya, tanpa mengingkari salah satunya. 
d.      Hadîts Shifatîy
Hadîts Shifatîy adalah hadîts yang berupa sifat atau kepribadian Nabi serta keadaan fisiknya.[10] Hadîts Shifatîy biasa disebut juga dengan Hadîts Ahwâliy. Jadi Hadîts Shifatîy ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang terkait dengan kepribadian Nabi dan bentuk fisik Nabi. Contoh hadîts tentang sifat/kepribadian Nabi
حدثنا أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحسن الناس خلقا[11]
Artinya: ”Anas ibn Mâlik meriwayatkan kepada kami, beliau berkata: Rasul Allah SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya”
Contoh  hadîts tentang sifat fisik nabi di antaranya adalah:
حدثني أبي عن بديل عن شهر بن حوشب عن أسماء قالت : كان يد قميص النبي صلى الله عليه وسلم إلى أسفل من الرصغ[12]
Artinya: Telah meriwayatkan kepadaku bapakku, dari Bâdil dari Syahr ibn Husab dari Asma’, beliau berkata:”Lengan baju nabi adalah sampai ke pergelangan tangannya.”

  1. Berdasarkan Sifat Asal
a.       Hadîts Qudsîy
1)      Pengertian Hadîts Qudsîy
Secara bahasa al-Hadîts al-Qudsîy berasal dari dua kata yaitu al-Hadîts dan al-Qudsîy.[13] Al-Qudsîy merupakan nisbah dari kata القدس (al-qudsu) bermakna الطهر (al-thuhru). الطاهر المنزه عن العيوب والنقايص[14] (Zat yang Maha Suci yang jauh dari ‘aib dan kekurangan). Jadi secara bahasa dapat diartikan Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disandarkan/dinisbahkan kepada Zat Yang Maha Suci /Allah.[15]
Sedangkan secara istilah Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammad SAW yang sanadnya disandarkan kepada Allah SWT. Defenisi ini penulis tarik dari beberapa defenisi yang ada di dalam beberapa kitab Ilmu Hadîts, seperti defenisi-defenisi berikut ini: 
·         Defenisi yang ditulis Oleh Nuruddîn Itr adalah
هو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم واسنده الى ربه عز وجل[16]
“Dia (Hadîts Qudsîy) adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya atau penisbatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”
·         Defenisi yang ditulis Oleh Mahmûd Thahân adalah
هو ما نقل الينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عز وجل[17]
“Apa-apa yang disampaikan kepada kita dari Nabi SAW, yang sanadnya disandarkan kepada Tuhan-nya (Allah ‘Azza wa Jalla) ”

2)      Perbedaan Antara Hadîts Qudsîy dengan Al-Qur’ân
Terkait dengan perbedaan antara Hadîts Qudsîy dengan al-Qur’ân terdapat perbedaan di kalangan ulama. Di antara yang paling jelas adalah antara pendapat Abu al-Baqâ’ al-‘Ukbûrîy dan Thayyibîy, sebagaimana yang dikutip oleh Nuruddîn Itr di dalam kitabnya. Beliau mengungkapkan sebagai berikut:[18]
Abu al-Baqâ’ berkata  : Sesungguhnya lafaz dan makna al-Qur’ân berasal dari Allah melalui pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan Hadîts Qudsîy itu redaksinya dari Rasul Allah dan maknanya berasal dari Allah melalui pengilhaman atau mimpi.
Al-Thayyibîy berkata: Al-Qur’ân diturunkan melalui perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad SAW, sedangkan Hadîts Qudsîy itu maknanya berisi pemberitaan Allah melalui ilham atau mimpi, lalu nabi Muhammad memberitakan kepada umatnya dengan bahasa sendiri.
Al-Qur’ân memiliki keistimewaan yang tidak terdapat di dalam Hadîts Qudsîy, di antaranya adalah:
a.       Al-Qur’ân itu lafaz dan maknanya dari  Allah, sedangkan Hadîts Qudsîy maknanya dari Allah dan redaksinya dari Nabi.
b.      Membaca Al-Qur’ân termasuk ibadah dan mendapat pahala, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
c.       Semua lafaz Al-Qur’ân adalah mutawâtir, terjaga dari perubahan dan pergantian karena ia mukjizat, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
d.      Membaca Al-Qur’ân disunatkan di dalam shalat sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
e.       Ada larangan menyentuh mushaf Al-Qur’ân bagi orang yang ber-hadas, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak. 

b.      Hadîts Nabawîy
Hadîts Nabawîy adalah Apa yang dinisbahkan kepada Rasulullah dan diriwayatkan dari beliau.[19] Jadi Hadîts Nabawîy adalah segala Hadîts Nabi yang dipahami secara umum yang bukan Hadîts Qudsîy. Maka ketika kita telah dapat mengetahui sesuatu hadîts adalah bukan Hadîts Qudsîy, secara otomatis yang demikian adalah Hadîts Nabawiy.

  1. Berdasarkan Jumlah Periwayat
a.       Hadîts Mutawâtir
1)      Defenisi Hadîts Mutawâtir
Secara Bahasa Mutawâtir merupakan ism fa’il musytaq dari التواتر berarti  التتابع(berturut-turut/lebat).[20]
Sedangkan secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya:  Menurut Nuruddîn  Itr Hadîts Mutawâtir adalah:
هوالذى رواه جمع كثير يؤمن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم, الى انتهاء السند وكان مستندهم الحس[21]   
“Hadîts mutawâtir adalah hadîts yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak yang diyakini tidak akan sepakat berbuat dusta dari perawi yang semisalnya, dari awal sanad hingga akhirnya. Yang periwayatannya disandarkan kepada pengamatan indrawi”
Sedangkan ‘Ajjaj al-Khâtib mendefenisikan Hadîts Mutawâtir seperti berikut ini:
 ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه على ان لا يختل هذا الجمع في اي طبقة من طبقة السند [22]
Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada tiap tingkatan sanadnya ”

Dari defenisi-defenisi di atas dapat ditarik beberapa syarat sebuah hadîts dikatakan Mutawâtir yaitu:
a)      Hadîts tersebut pada setiap tingkatan sanadnya diriwayatkan oleh periwayat yang banyak dari awal hingga akhir.
b)      Kondisi mereka tidak mungkin akan berdusta, seperti semua mereka bukan orang satu keluarga.
c)      Hendaklah keyakinan mereka didasarkan kepada sesuatu yang dapat diterima panca indra, atau hadîts tersebut menyangkut dengan nabi yang bisa ditangkap secara indrawi. Seperti sikap dan perbuatan Nabi yang dapat dilihat atau perkataan beliau yang dapat didengar.
d)     Hendak perawi yang meriwayatkan hadîts tersebut meyakini keabsahan hadîts tersebut (bukan berasal dari dugaan)[23]  
2)      Pembagian Hadîts Mutawâtir
Ulama Hadîts membagi Hadîts Mutawâtir menjadi dua yaitu Hadîts Mutawâtir Lafzhîy dan Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy. Hadîts Mutawâtir Lafzhîy adalah Hadîts yang periwayatannya Mutawâtir dengan lafadz yang sama oleh seluruh perawi.[24] Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib, seperti berikut ini
ما رواه بلفظه جمع عن جمع عن جمع لا يتوهم تواطؤهم على الكذب من اول السند الى منتهاه[25]
Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi, dari sejumlah perawi,  dengan lafaz yang sama, -yang tidak dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta- dari awal hingga akhir sanad”

Contoh:
من كذب علي متعمدافليتبوا مقعده من النار
“Siapa yang berdusta atas diriku dengan sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempatnya di neraka”

Sedangkan  Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy ‘Ajjâj al-Khâtib mendefenisikan dengan:
ما اتفق نقلته على معناه من غير مطابقة في اللفظ[26]
“Hadîts yang diriwayatkan oleh para perawi dengan makna yang sama, tetapi dengan lafaz yang berbeda”
Ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Nuruddîn Itr yang mendefenisikannya dengan Hadîts yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat melakukan kedustaan dengan memakai matan yang berbeda-beda, namun memiliki maksud atau makna yang sama.[27] Contohnya adalah seperti hadîts tentang syafa’ah, ru’yah, mengucurnya air dari jari-jemari Rasul Allah SAW. 
3)      Kwalitas dan Keberadaan Hadîts Mutawâtir
Hadîts Mutawâtir  bersifat  qat’iy  al-tsubût/Yaqîniy/dhurûriy  dan posisinya disejajarkan dengan wahyu yang wajib diamalkan, sedangkan bagi orang yang mengingkarinya dinilai sebagai kafir.[28]
 Mengenai keberadaan Hadîts Mutawâtir terdapat beberapa pendapat ulama, ada yang mengungkapkan jika Hadîts Mutawâtir itu banyak jumlahnya, ada yang mengatakan sangat jarang, bahkan ada yang mengatakan jika Hadîts Mutawâtir itu tidak ada sama sekali.[29]
Di antara ulama yang berpendapat bahwa Hadîts Mutawâtir itu banyak jumlahnya adalah Al-Suyûtiy[30] dan Al-Hâfîzh ibn Hajar beliau mengatakan:
ومن احسن ما يقرر به كون المتواتر موجودا وجود كثرة في الأحاديث….[31]
Sedangkan ulama  yang mengatakan jika Hadîts Mutawâtir itu sangat jarang atau sedikit jumlahnya adalah Ibn Shalah.
Adapun yang mengatakan Hadîts Mutawâtir itu tidak ada adalah Ibn Hibbân, Al-Hazîmiy dan Al-Hâfizh Nâsyi’i, mereka berpendapat seperti ini mungkin karena sangat sedikitnya Hadîts Mutawâtir ini muncul.[32]  
Adapun terkait dengan pendapat Ibn Shalah dan Ibn Hajar maka Nuruddîn  Itr mengkompromikannya dengan menulis bahwa mungkin yang dimaksud sangat jarang/sedikitnya Hadîts Mutawâtir itu adalah Hadîts Mutawâtir Lafdzîy, sedangkan yang dimaksud banyak oleh Ibn Hajar adalah Hadîts Mutawâtir Maknâwîy[33]
b.      Hadîts Masyhûr
Secara Bahasa Masyhûr merupakan ism mafûl dariاشهرت الأمر jika اعلنته و اظهرته dinamakan dengan Masyhûr mungkin karena kejelasannya.[34] Sedangkan secara istilah terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya Menurut ulama Ushuliyyin, Hadîts Masyhûr adalah:
فهو ما رواه من الصحابة عدد لا يبلغ حد التواتر ثم تواتر بعد الصحابة ومن بعدهم[35]
Hadîts yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi dari golongan sahabat yang tidak mencapai batas Mutawâtir, kemudian setelah sahabat hingga berikutnya mencapai jumlah Mutawâtir”
 Adapun Hadîts Masyhûr menurut Ibn Hajar sebagaimana yang dikutip Nuruddîn  Itr adalah ما له طرق محصورة باكثر من اثنين[36]  (Hadîts yang memiliki jumlah jalur yang terbatas dan lebih dari dua)
Menurut Mayoritas ulama Hadîts, Hadîts Masyhûr ini termasuk ke dalam pembagian Hadîts ahâd[37]
Selain Hadîts Masyhûr yang dilihat dari jumlah sanad, ada juga istilah Masyhûr dari segi kepopulerannya. Macam-macam Hadîts Masyhûr dari segi kepopulerannya ini di antaranya adalah:
a.       Masyhûr di kalangan ulama tasawuf
من عرف نفسه فقد عرف ربه
”Siapa yang mengetahui dirinya maka ia akan tahu dengan Tuhannya”
b.      Masyhûr di kalangan Ulama Hadîts
المسلم من سلم المسلم من لسانه ويده, والمهاجر من هجر ما حرم الله
”Yang dimaksud dengan muslim adalah orang yang kaum muslim lainnya selamat dari lidah dan tangannya, sedangkan orang yang berhijrah adalah mereka yang menjauhi apa yang dilarang oleh Allah”
c.       Masyhûr di kalangan awam
مدارة الناس صدقة
”Sumbu (sosialitas) manusia adalah sedekah”
d.      Masyhûr di kalangan ulama Ushl  al-Fiqh
رفع عن امة الخطاء و النسيان وما استكره عليه
”diangkat dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan sesuatu yang bersifat keterpaksaan”
e.       Masyhûr di kalangan ulama Fiqh
ابغض الحلال الى الله الطلاق
”Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah Cerai”
Jadi Hadis Masyhûr dari segi kepopulerannya ini tidak bisa dijadikan patokan kualitas sebuah hadîts, karena di antara hadîts ini ada yang shahih, yang hasan, dha’if  bahkan maudhû’.
                                                                                                                       
c.       Hadîts Ahâd
Secara bahasa ahâd merupakan jama’ dariاحد  dengan arti الواحد (satu). Maka Hadîts Ahâd merupakan hadîts yang diriwayatkan oleh seorang perawi.[38] Sedangkan secara istilah, ulama memberikan defenisi yang berbeda-beda, namun dengan maksud yang sama di antaranya adalah:
·         Khatib al-Baghdâdîy memberi defenisi sebagai berikut:
فهو ما قصر عن صفة التواتر[39]
“Yaitu Apa-apa (Hadîts) yang tidak cukup (kurang) syarat atau sifat Mutawâtir”
·         ‘‘Ajjâj al-Khâtib memberi defenisi sebagai berikut:
فهو ما رواه الواحد او الاء اثنان فاكثر مما لم تتورفيه شروط المشهور او المتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذالك[40]
“Yaitu Apa-apa (Hadîts) yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi atau pun lebih, yang tidak memenuhi syarat-syarat Masyhûr ataupun Mutawâtir, dan tidak diperhitungkan lagi perawi setelah itu (tingkatan berikutnya)”


  1. Berdasarkan Kwalitas
a.       Hadîts Shahîh
Secara bahasa Shahîh merupakan lawan dari سقيم (sakit). Istilah Shahîh  pada dasarnya dipakaikan untuk menyebutkan keadaan fisik, dan terhadap hadits ini merupakan bentuk majazy/maknawiy.[41]
Secara istilah terdapat beberapa defenisi yang dirumuskan oleh ulama hadîts di antaranya:
1)      Ibn Shalah:
هو المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضبط عن العدل الضبط الى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا
“Adalah musnad yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula sampai ke ujungnya, tidak sadz dan tidak pula terkena ilat”[42]
2)      Imam Nawawiy:
هوما اتصل سنده بالعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة
“Adalah Hadîts yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya sadz dan  ilat”[43]
3)      ‘Ajjâj al-Khâtib:
هوما اتصل سنده برواية الثقة من الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
“Adalah hadîts yang sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang tsiqah dari orang tsiqah tanpa adanya sadz dan  ilat”
Dari defenisi-defenisi yang disampaikan oleh para ulama di atas setidaknya dapat disimpulkan syarat-syarat hadîts Shahîh, sebagai berikut:
·         Ittishal al-sanad (Bersambung sanadnya), maksudnya antara satu perawi dengan perawi sesudah dan sebelumnya dimungkinkan untuk bertemu. Sehingga dengan syarat ini dikecualikan hadîts munqati’, mu’dhal, mu’allaq, dan mudallas.[44]
·         Diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil
Adapun yang dimaksud dengan perawi ‘âdil adalah perawi yang memiliki integritas agama, akhlak yang baik serta terhindar dari perbuatan fasik dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah-nya. Sebagai mana yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib sebagai berikut:    
عدل:  هو من استقام دينه, وحسن خلقه, وسلم من الفسق وخوارم المروءة[45]
·         Diriwayatkan oleh perawi yang dhâbit
Adapun dhâbit sebagaimana yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib adalah:
ضابط: هو تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه, وحفظه لذالك من وقت التحمل الى وقت الأداء[46]
·         Tidak terdapat Syuzûz
Tidak terdapat syuzûz maksudnya adalah bahwa riwayat tersebut tidak bertentangan dengan periwayatan yang lebih tsiqah darinya. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib:
الشذوذ: مخالفة الثقة من هو ارجح منه[47]
·         Tidak terdapat ‘ilat
‘ilat yaitu sifat tersembunyi yang mencemari keshahihan hadîts, baik yang terdapat pada sanad maupun pada matan, Seperti: me-mursal-kan yang maushûl, me-muttashil-kan yang munqati’ atau me-marfu’-kan yang mauquf, dan bentuk bentuk sejenis lainnya.[48]
Hadîts Shahîh dapat dibagi menjadi dua macam yaitu Hadîts Shahîh li dzâtihi dan Hadîts Shahîh li ghairihi.
1)      Hadîts Shahîh li dzâtihi yaitu Hadîts Shahîh yang sesuai dengan kriteria Hadîts Shahîh sebagaimana yang disebutkan di dalam defenisi di atas.
2)      Hadîts Shahîh li ghairihi yaitu: hadits yang ke-shahîh-annya dikarenakan faktor lain. Seperti Hadîts Hasan yang menjadi Shahîh dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan.[49] 

b.      Hadîts Hasan
Pada awal perkembangan ilmu hadîts, pembagian hadîts berdasarkan kwalitas ini hanya di bagi menjadi dua yaitu hadits Shahîh dan hadits Dha’îf . Adapun yang mempopulerkan istilah hadîts Masyhûr ini untuk pertama kalinya adalah Abu ‘Îsa al-Tirmîdziy.[50]
1)      Pengertian Hadîts Hasan
Secara bahasa Hasan merupakan Sifat Musyabahah dari الحسن dengan makna الجمال [51]
Menurut istilah Hadîts Hasan yaitu Hadîts yang memiliki sanad bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil yang lebih rendah ke-dhâbit-annya, tanpa adanya Syâdz dan ‘illat.[52]  


2)      Macam-Macam Hadîts Hasan
Sebagaimana hadîts Shahîh, hadîts Hasan  dibagi juga menjadi dua macam yaitu hadîts Hasan li dzâtihi dan hadîts Hasan li ghairihi.
Hadîts Hasan li dzâtihi yaitu Hadîts Hasan yang sesuai dengan kriteria hadîts Hasan sebagaimana yang disebutkan di dalam defenisi di atas.
Hadîts hasan li ghairihi yaitu: hadits dha’if yang menjadi hasan di karenakan faktor lain. Seperti hadîts Dha’if yang menjadi hasan dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan, dengan syarat dha’if tersebut bukan dikarenakan perawinya banyak sekali lupa, banyak salah, tertuduh melakukan dusta ataupun fasiq.[53]
  
c.       Hadîts Dha’îf
1)      Pengertian dan Pembagian Hadîts Dha’îf  
Secara bahasa dha’îf  merupakan lawan dari kata القوي  (kuat).[54] Sedangkan secara Istilah Hadîts Dha’if  yaitu hadîts yang tidak memenuhi syarat-syarat Maqbul, atau hadîts yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits Shahîh ataupun hadits Hasan[55]
Khusus mengenai pembagian hadits Dha’îf  penulis tidak akan merincinya, dikarenakan ini akan dibahas secara rinci pada makalah berikut. Yang jelas hadits Dha’îf  di bagi menjadi dua yaitu Dha’îf  yang disebabkan oleh ketidak bersambungan sanad dan yang disebabkan cacat pada matan.[56] 
2)      Hukum beramal dengan Hadîts Dha’îf
Mengenai beramal dengan hadîts Dha’îf   ini  terdapat tiga pendapat ulama yang berbeda-beda, di antaranya:
a)      Menurut Yahya ibn Mâ’in, Ibn Hazm, al-Bukhâriy dan Muslim hadîts Dha’îf  tidak dapat diamalkan secara mutlak.
b)      Menurut  Abu  Daud  dan  Imam  Ahmad  hadîts  Dha’îf    dapat diamalkan
secara mutlak. Menurutnya beramal dengan hadîts Dha’îf  lebih baik dari pada memakai ra’yu
c)      Hadîts Dha’îf   dapat digunakan di dalam masalah  fadh-il al-a’mal  dan mawâ’iz jika memenuhi syarat berikut:
·         Ke-Dha’îf -annya tidak bersangatan. Yaitu perawi tersebut bukan orang yang tertuduh berdusta atau terlalu sering melakukan kesalahan.
·         Hadîts Dha’îf  tersebut masuk cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan
·         Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar untuk kehati-hatian. 

  1. Pembagian Berdasarkan Penisbatan
a.       Hadîts Marfû’
Menurut bahasa marfû’ merupakan isim maf’ûl dari رفع yang merupakan lawan dari kata  وضع(rendah). Dipakainya istilah marfû’ dikarenakan penisbahannya kepada nabi Muhammad SAW sebagai seorang sosok yang mulia, yang memiliki derajat yang tinggi.[57]   
Sedangkan menurut Nuruddîn  Itr Hadîts Marfu’ adalah:
وهو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم خاصة من قول او فعل اوتقرير او وصف[58]
Defenisi ini sama dengan defenisi mayoritas ulama Hadîts termasuk ‘Ajjâj al-Khâtib, hanya saja ‘Ajjâj al-Khâtib menambahkan dengan kalimat “baik hadîts itu muttasil maupun munqati’. Dan penulis memandang hal itu wajar karena Nuruddîn  Itr meletakkan pembahasan marfu’ sejalan dengan mauquf dan maqtu’, sementara ‘Ajjâj al-Khâtib meletakkannya sejalan dengan pembahasan musnad dan muttashil.[59]
Berbeda dengan mayoritas ulama, Al-Khatib al-Baghdâdîy membatasinya dengan sesuatu yang dikhabarkan oleh sahabat dari Rasul Allah SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Dan jika kita amati defenisi Hadîts Mursal tidak termasuk ke dalam Hadîts marfu  sesuai dengan defenisi ini.
b.      Hadîts Mauquf
Menurut bahasa mauqûf’ merupakan isim maf’ûl dari الوقف (berhenti).[60] Jadi secara bahasa hadîts mauqûf yaitu hadîts yang para perawinya berhenti hanya sampai tingkatan sahabat, dan tidak meneruskannya sampai ke ujung sanad yang tersisa.  
Secara istilah Hadîts Mauquf adalah sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat. Defenisi ini penulis ambil setelah melihat beberapa defenisi yang diberikan ulama Hadîts, di antaranya:
v     Nuruddîn  Itr
وهو ما اضيف إلى الصحابة رضوان عليهم[61]
v     Ibn Shalah
وهو ما يروى عن الصحابة من أقوالهم وأفعالهم ولا يتجاوز به إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم[62]
Fuqaha’ Kurasan, menyebut yang mauqûf  ini dengan atsar, dan yang marfû’  dengan khabar. Namun mayoritas ulama menyebut keduanya dengan istilah Atsar.
Menurut mayoritas ulama Hadîts mauqûf tidak berstatus marfû’, kecuali ada indikasi yang menunjukkan ke-marfû’-annya. Seperti Ucapan sahabat: “Kami melakukan begini di masa Rasul Allah SAW” atau pernyataan sahabat terkait dengan kesaksiannya menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasul Allah.[63]  

c.       Maqtu’
Yang dimaksud dengan maqtu’ adalah sesuatu yang diriwayatkan dari tabi’in. Ini sesuai dengan defenisi yang disampaikan oleh Nuruddîn  itr
وهو ما اضيف إلى التابعى[64]
Satu hal yang mesti di garis bawahi terkadang ada yang memakai istilah maqtu’ ini untuk menyebutkan Hadîts yang terputus sanadnya. Dan hal ini biasanya terjadi sebelum dibakukannya defenisi mauquf dan maqtu’ ini.

C.     Penutup
1.      Kesimpulan
Di dalam ilmu Mustalah al-hadîts, hadîts di bagi berdasarkan beberapa tipologi. Pertama berdasarkan bentuk asal, hadîts dibagi menjadi empat yaitu: hadîts Qauliy, hadîts fi’liy, hadîts Taqrîriy dan hadîts Shifatiy. Kedua berdasarkan sifat asal, hadîts dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Qudsiy dan hadîts Nabawiy. Ketiga berdasarkan jumlah periwayat, hadîts dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Mutawâtir dan hadîts Ahad (Meskipun Hanafiyah membaginya menjadi tiga). Keempat berdasarkan kwalitas, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Shahîh, hadîts Hasan dan hadîts Dha’îf . Terakhir berdasarkan penisbatan, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Marfû’, hadîts Mauqûf dan hadîts Maqtû’.                
2.      Sara-saran
Dikarenakan para ulama hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan pembagian hadits, dan perbedaan itu adalah suatu yang wajar, selagi dengan tipologi dan alasan yang jelas, maka ketika membahas macam-macam hadîts perlu diketahui pembagian tersebut menurut siapa dan berdasarkan hal apa. Sehingga tidak menimbulkan ketimpangan di dalam pembahasan yang terkait dengan pembagian hadîts ini




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-‘Asqalâniy, Hâfizh Ahmad ibn ‘Âliy ibn Hajar, Syarh Nuzhah al-Nazhriy, Qahirah: Maktabah al-Sunnah, 2002

Al-Bâniy, Nasiruddîn, Al-Hadîts Hujjatun bi Nafsihi fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm, Terj. Oleh Mohammad Irfan Zein, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002

Al-Baniy, Muhammad Nasiruddin, Shifat Shalat nabi SAW min al-takbir ila Taslim ka annaka tarhaha, Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, [t.th]

Al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhân, Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah min Ilmi al-Ushul, Damaskus: maktabah al-Ta’âwûniyah, 1974

Al-Dhuraini, Fatih, Al-Fiqh al-Islâmîy al-Muqâran ma’a al-Mazâhib, Damaskus: Maktabah al-Tharabin, 1979

Al-‘Irâqiy, Zainuddîn abd al-Rahîm ibn Husain, Al-Taqyîd wa al-Îdhah lima Utliqa wa Ughliqa min Muqaddimah ibn shalâh, Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1996

Al-Ja’fiy, Muhammad Isma’îl Abu Abd Allâh al-Bukhâriy, Al-Jamî’ al-Shahîh Al-Mukhtashar, Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1987

Al-Juwaini, Imam Haramain Abi al-Ma’âliy abd al-Malik ibn ‘Abd Allâh ibn Yusuf, Al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, 1997

Al-Khâtib, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 2006

Al-Naisabûriy, Muslim Ibn Hajjâj abu Husain al-Qursyiy, Shahîh Muslim, Beirut: Dar al-Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, [t.th]

Al-Qursyiy, Abd Allah ibn Muhammad abu Bakr (Ibn Abi Dunya), al-Tawadu’ wa al-Khumul, Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiayah, 1989

Al-Sakhâwiy, Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn abiy Bakr Ibn Usmân, Al-Taudhîh al-Abhâr li Tadzkirati ibn Mulqin fi ilmiy al-Âtsâr, Su’udiyah: Maktabah Ushûl al-Salâf 1418 H

Al-Suyûtiy, Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn abiy Bakr, Tadrîb al-Râwiy fi Taqrîb al-Nawâwiy, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1996

Al-Syahrazûriy, Al-Imam abiy ‘Amrû ‘Usmân ibn ‘Abd al-Rahmân, Muqaddimah ibn Shalâh fi Ulûm al-Hadîts, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islâmiy, Damaskus: Dar al-Fikr, 2006

Hâsyim, Ahmad Muhammad,  Qhawâ’id Ushul al-Hadîts, [t.kt]: Ma’had al-‘Âliy Li al-Dirhâsat al-Islâmiyyah, 2004

Ibn Bahâdir, Badruddîn abiy Abd Allâh Muhammad ibn Jamâluddîn abd Allâh, Al-Naktu ‘ala Muqaddimah Ibn shâlah, Riyad: Adwal al-Salâf, [tt]

Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar Ihyâ  al-Turas, 1992                         

Itr, Nuruddîn, Manhaj Al-Naqdi fi Ulûm al-Hadîts, Beirut: dar Al-Fikr Al-Ma’âshir 1997

Mulakhâtir, Khalîl Ibrâhîm, Hadîts al-Ahâd, al-Masyhûr, al-‘Azîz,  al-Gharîb, Jeddah: Maktabah Dar al-Wafâ’, 1986

Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: Raja Grafindo, 2002

Thahân, Mahmûd, Taisîr Musthalah al-Hadîts, Surabaya: Serikat Bangkul Indah, 1985


[1] Mahmûd Thahân, Taisîr Musthalah al-Hadîts, (Surabaya: Serikat Bangkul Indah, 1985), h. 15
[2] Lihat, Muhammad ‘Ajjâj al-Khâtib (selanjutnya ditulis dengan ‘Ajjâj al-Khâtib), Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mustalahuhu, ( Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 14    
[3] Muhammad Isma’îl Abu Abd Allâh al-Bukhâriy Al-Ja’fiy (Selanjutnya disebut Dengan al-Bukhâriy), Al-Jamî’ al-Shahîh Al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz I, h. 13
[4] ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 15
[5] Imam Haramain Abi al-Ma’âliy abd al-Malik ibn ‘Abd Allâh ibn Yusuf al-Juwaini, Al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), h. 182-183  
[6] Artinya: “Shalatlah kamu seperti bagai mana kamu melihatku melaksanakan shalat” Hadits ini merupakan Hadits utama yang dikutip Nasiruddin Al-Baniy ketika memulai tulisannya di dalam kitab Sifat Shalat Nabi, Lihat. Muhammad Nasiruddin Al-Baniy, Shifat Shalat nabi SAW min al-takbir ila Taslim ka annaka tarhaha, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, [t.th]), h.35
[7] Lihat Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islâmiy, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), h. 458, atau Muhammad Sa’id Ramadhân al-Buthi, Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah min Ilmi al-Ushul, (Damaskus: maktabah al-Ta’âwûniyah, 1974) h. 19- 21. Selain itu Fatih al-Dhuraini juga merinci hal ini, sebagai perbandingan lihat. Fatih al-Dhuraini, Al-Fiqh al-Islâmîy al-Muqâran ma’a al-Mazâhib, (Damaskus: Maktabah al-Tharabin, 1979), h. 61-63   
[8] ‘Ajjâj al-Khâtib, Loc Cit
[9]  Al-Bukhâriy, Op Cit, Jld. I, h.321, Hadits ini Juga diriwayatkan Oleh Imam Muslim, Lihat. Muslim Ibn Hajjâj abu Husain al-Qursyiy al-Naisabûriy (Selanjutnya ditulis dengan Muslim), Shahîh Muslim, (Beirut: Dar al-Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, [t.th]) Jld III, hadits No. 1391
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 22 
[11] Abd Allah ibn Muhammad abu Bakr al-Qursyiy (Ibn Abi Dunya), al-Tawadu’ wa al-Khumul, (Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiayah, 1989), Juz I, h. 205 
[12] Ibid, h. 195
[13] Namun di dalam makalah ini penulis hanya akan membahas kata Qudsîy, karena kata hadîts telah sering dibahas di dalam makalah-makalah sebelumnya. 
[14] Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turas, 1992), Jld. VII, h. 226  
[15] Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 127
[16] Nuruddîn Itr, Manhaj Al-Naqdi fi Ulûm al-Hadîts, (Beirut: dar Al-Fikr Al-Ma’âshir), 1997, h. 323  
[17] Mahmud Thahan, Loc Cit    
[18] Lebih lanjut lihat Nuruddîn Itr, Op cit, h. 324-325
[19] ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 21
[20] Mahmud Thahan, Op Cit, h. 19   
[21] Nuruddîn Itr, Op Cit, h. 404
[22] ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 197  Defenisi Nuruddin Itr dan Ajjâj al-Khâtib sebetulnya sejalan dengan defenisi yang disampaikan oleh Ahmad ibn Tsâbit abu Bakr al-Khâtib al-Baghdâdiy, beliau menjelaskan defenisi Hadîts Mutawâtir adalah sebagai berikut:
فهو ما خبر به القوم الذين يبلغ عددهم حدا يعلم عند مشاهدتهم بمستقر العادة ان اتفاق الكذب منهم محال وان التواطؤ منهم في مقدار الوقت الذي انتشر الخبر عنهم فيه متعذر وان ما خبروا عنه لا يجوز دخول اللبس والشبهة في مثله وان أسباب القهر والغلبة والأمور الداعية الى الكذب منتفية
[23] Poin ini disampaikan oleh Nasiruddîn al-Bâniy, Lihat Nasiruddîn al-Bâniy, Al-Hadîts Hujjatun bi Nafsihi fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm, Terj. Oleh Mohammad Irfan Zein (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 19 
[24]  Nuruddîn Itr, Op Cit, h. 406
[25]  ‘Ajjâj al-Khâtib, Loc Cit
[26] Ibid
[27] Nuruddîn Itr, Op Cit, h. 404
[28]  ‘Ajjâj al-Khâtib, Loc Cit 
[29] Penjelasan lebih rinci lihat Nuruddîn Itr, Op Cit, h. 406-407
[30] Lihat Ahmad Muhammad Hâsyim (selanjutnya ditulis dengan Hâsyim),  Qhawâ’id Ushul al-Hadîts, ([t.kt]: Ma’had al-‘Âliy Li al-Dirhâsat al-Islâmiyyah, 2004), h. 148 
[31]  Dan di antara pendapat yang paling bagus menurutnya adalah pendapat yang mengatakan jika hadits mutawâtir itu banyak jumlahnya. Hâfizh Ahmad ibn ‘Âliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Syarh Nuzhah al-Nazhriy, (Qahirah: Maktabah al-Sunnah, 2002)  h. 52
[32]  Ibid, dan lihat juga Hâsyim, Loc Cit
[33]  Nuruddîn Itr, Loc Cit
[34]  Mahmud Thahân, Op Cit, h. 23   
[35]   ‘Ajjâj al-Khâtib, h. 198
[36]  Nuruddîn Itr, Op Cit,  h. 409 , Defenisi ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Muhamad Ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn abiy Bakr Ibn Usmân al-Sakhâwiy, beliau menulis sebagai berikut :
 فإن رواه الجماعة ثلاثة فأكثر ما لم يبلغ التواتر سمي لوضوحه مشهورا
Lebih lanjut lihat Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn abiy Bakr Ibn Usmân al-Sakhâwiy, Al-Taudhîh al-Abhâr li Tadzkirati ibn Mulqin fi ilmiy al-Âtsâr, (Su’udiyah: Maktabah Ushûl al-Salâf), 1418 H, h. 49

[37] Mayoritas ulama memasukkan pembagian hadits masyhûr ke dalam pembagian hadits ahâd kecuali Hanafiyah. Menurut Hanafiyah hadîts dibagi menjadi tiga, yaitu Mutawâtir, Masyhûr dan ahad. Bahkan adapula ulama Hanafiyah yaitu Al-Jashâs, beliau memasukkan hadîts Masyhûr  ke dalam pembagian hadîts Mutawâtir, dan beliau berpendapat bahwa orang yang menentang atau mengingkari hadîts Masyhûr ia adalah kafir sebagai mana mereka menentang hadîts Mutawâtir. Lihat Khalîl Ibrâhîm Mulakhâtir, Hadîts al-Ahâd, al-Masyhûr, al-‘Azîz,  al-Gharîb, (Jeddah: Maktabah Dar al-Wafâ’, 1986),  h. 18
[38]  Mahmud Thahan, Op Cit, h. 22   
[39]  Khâtib al-Baghdâdîy, Loc Cit
[40]  Khâtib al-Baghdadiy, Loc Cit
[41]  Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 24 
[42] Al-Imam abiy ‘Amrû ‘Usmân ibn ‘Abd al-Rahmân al-Syahrazûriy (Selanjutnya ditulis dengan Ibn Shalâh), Muqaddimah ibn Shalâh fi Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 15-16, atau Zainuddîn abd al-Rahîm ibn Husain al-‘Irâqiy, Al-Taqyîd wa al-Îdhah lima Utliqa wa Ughliqa min Muqaddimah ibn shalâh, (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1996), h 20  
[43] Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn abiy Bakr al-Suyûtiy, Tadrîb al-Râwiy fi Taqrîb al-Nawâwiy, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, 1996), 
[44] Ajjâj al-Khâtib, Op Cit. h. 200  
[45] Ibid
[46] Maksudnya seorang perawi menyadari hadits tersebut ketika mendengarnya, memahami maknanya ketika menyampaikan, dan menghafal/memahami hadîts mulai dari waktu menerima hingga menyampaikannya.  Ibid
[47] Ibid, h. 201
[48] Ibid
[49] Ibid h. 202
[50] Selanjutnya ditulis dengan Al-Tirmîdziy
[51] Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 45  
[52] Ini sebagaimana yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib mengenai defenisi Hadîts Hasan yaitu:
ما اتصل سنده بعدل خف ضبطه من غير شذوذ ولا علة
 Lihat. Ajjâj al-Khâtib, Op.cit. h. 218
[53] Ibid h. 219
[54] Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 63 
[55] Ibid. h. 222
[56]  Ibid.
[57]  Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 128 
[58]  Nuruddîn Itr, h. 325
[59]  Muttashil adalah hadits yang bersambung sanad-nya baik yang marfû’ kepada Rasul Allah maupun mauqûf. Hadits Musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya dari awal hingga akhir, Yang biasanya dipahami sebagai hadits marfû’ lagi muttashil. Lihat ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 234
[60]  Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 130 
[61]  Nuruddîn Itr, h.326
[62] Ibn Shalâh, Op Cit,h. 42, atau Badruddîn abiy Abd Allâh Muhammad ibn Jamâluddîn abd Allâh ibn Bahâdir, Al-Naktu ‘ala Muqaddimah Ibn shâlah, (Riyad: Adwal al-Salâf, ([tt]), Jld. I, h 213. Untuk perbandingan lihat defenisi yang diberikan oleh al-Sakhâwiy. Beliau mendefenisikan seperti berikut ini:
الموقوف وهو المروي عن الصحابة قولا لهم أو فعلا أو نحوه
Atau lihat ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit. h. 250  , beliau mendefenisikannya dengan:
وهو ما روى عن الصحابى من قول اوفعل اوتقريرمتصلا كان او منقطعا

[63] Ibid
[64] Nuruddîn Itr, h 327, Atau lihat ‘‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit. h. 251  , beliau mendefenisikannya dengan:
وهو ما روى عن التابعين موقوفا عليهم من اقوالهم وافعالهم

2 komentar: