Rabu, 02 November 2011

KITAB SHAHIH AL-BUKHARIY


AL-JÂMI’ AL-SHAHÎH AL-MUSNAD AL-MUKHTASHAR
MIN HADÎTS RASÛL ALLÂH SHALA ALLÂH ‘ALAIHI WA SALLAM
WA SUNANIHI WA AYYÂMIHI[1]
  
A.    Pendahuluan
Kitab al-Jâmi’ al-Shahîh atau Shahîh al-Bukhâriy adalah kitab hadîts yang posisinya diletakkan pada posisi kedua setelah al-Qur’ân[2] oleh banyak kalangan terutama di lingkungan sunniy. Kenapa kitab ini bisa muncul dan bisa menempati posisi yang demikian tinggi di hati umat Islam? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini penulis akan mencoba membahasnya secara singkat lewat makalah yang berjudul “AL-JÂMI’ AL-SHAHÎH AL-MUSNAD AL-MUKHTASHAR MIN HADÎTS RASÛL ALLÂH SHALA ALLÂH ‘ALAIHI WA SALLAM WA SUNANIHI WA AYYÂMIHI ”
Pembahasan makalah ini meliputi: Biografi Imam al-Bukhâriy, yang terdiri dari nama dan nasab Sang Imam, integritas keilmuan dan kepribadiannya serta bagai mana wafatnya beliau, kemudian pembahasan global mengenai Kitab Shahîh al-Bukhâriy, yang terdiri dari latar belakang penulisan, metode dan sistematika penulisan kitab, serta isi kandungannya.
B.     Biografi Imam Al-Bukhâriy
  1. Nama dan Nasabnya
Beliau dikenal dengan Amir al-Mukminin fi al-Hadîts.[3] Namanya adalah Muhammad  ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy, biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Abd Allâh al-Bukhâriy, sehingga terkadang nama lengkapnya dikenal dengan Abu ‘abd Allâh Muhammad  ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhâriy.
Terkait dengan nama kakek beliau paling atas –Bardizbah- terdapat beberapa perbedaan, di antaranya:
a.       Menurut Hâfizh al-Amir Habbah Allâh Abu Nashr al-Makwalan nama kakeknya tersebut memang Bardizbah.[4]
b.      Menurut Ibn Khalkan nama kakeknya adalah Yazzibah[5]
c.       Al-Zahabiy mengatakan : “Muhammad  ibn Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah, dan disebut juga Bazduzbah”.[6] Demikian juga halnya dengan Al-Mizzîy, Beliau menyebutnya dengan Bardizbah,[7] yang berarti “al-zurrâ’[8].
Sebagaimana yang ditulis Oleh Muhammad  Muhammad  Abu Syuhbah, bahwa al-Bardizbah adalah seorang yang beragama Majusi, sedangkan al-Mughîrah memeluk Islam atas bimbingan Yaman al-Ju’fiy –Gubernur Bukhâra- sehingga beliau dipanggil dengan Mughîrah al-Ju’fiy. Adapun mengenai Kakek Imam al-Bukhâriy, Ibrâhîm, tidak ada keterangan yang menjelaskan, sedangkan ayahnya yang bernama Ismâ’îl adalah ulama besar di bidang hadîts, yang belajar kepada Hammâd ibn Zayd dan Imam Mâlik. Ayah Imam al-Bukhâriy adalah seorang yang wara’ dan taqwa.[9] Sehingga tampak nyata jika sosok Imam al-Bukhâriy yang cemerlang berasal dari latar belakang keluarga intelektual tinggi dan beragama yang baik.
Imam al-Bukhâriy dilahirkan pada hari Jum’at setelah shalat Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhâra (Bukarest). Ketika masih kecil, ayahnya -yaitu Ismâ’îl- sudah meninggal, sehingga dia pun diasuh oleh sang ibu. Menurut riwayat, ketika kecil kedua mata al-Bukhâriy buta, suatu ketika ibunya bermimpi melihat Nabi Ibrâhîm yang berkata kepadanya, “ يا هذه قد رد الله على ولدك بصره بدعا ئك  ”. Pagi harinya dia dapati penglihatan anaknya –Imam al-Bukhâriy- telah sembuh.[10]
Semasa hidupnya Imam al-Bukhâriy telah melakukan perjalanan ke berbagai daerah, dan hampir seluruh negeri Islam masa itu telah beliau  singgahi. Ini dapat dipahami dari ungkapan beliau: “دخلت الى الشام, و مصر,و الجزيرة مرتين, و الى البصرة اربع مرات, واقمت بالحجازستة اعوام, ولا احصى كم دخلت الى الكوفة, و بغداد مع المحدثين[11]
  1. Integritas keilmuan dan kepribadian Imam Al-Bukhâriy
Imam al-Bukhâriy adalah sosok yang komplek, baik kepribadian maupun intelektual, sehingga beliau sangat pantas –bahkan harus- disebut sebagai imam Hadîts.[12] Di antara data yang menunjukkan bahwa beliau semestinya disebut dengan imam hadîts adalah:
a.       Beliau adalah ulama yang cerdas dan memiliki hafalan yang kuat
Bukti dari kecerdasannya, beliau telah hafal al-Qur’ân dan banyak hadîts semenjak usia sepuluh tahun, bahkan sebelum berusia 16 tahun ia telah hafal kitab Ibn Mubarak dan Waki’ ibn Jarah.[13] Bahkan berkat lawatannya ke berbagai negeri, ia telah mampu menghafal ribuan hadîts, sebagaimana perkataannya:
أحفظ مائة الف حديث صحيح و مائتي الف حديث غير صحيح[14] 
Artinya: Saya hafal hadîts di luar kepala sebanyak 100.000 hadîts shahih, dan 200.000 hadîts yang tidak shahih
Kekuatan hafalan Imam al-Bukhâriy sudah amat terkenal di dalam sejarah, terutama mengenai bagaimana ujian yang diberikan oleh ulama Baghdad kepada beliau yang banyak dibahas di dalam kitab-kitab ulum al-hadîts, terkait pembahasan hadîts Maqlûb.[15]
Dan di antara riwayat-riwayat yang menunjukkan kecerdasan beliau adalah sebagai berikut:
1)      Hasyîd bin Ismâ’îl menceritakan: Dahulu al-Bukhâriy biasa ikut bersama kami bolak-balik menghadiri pelajaran para masâyikh (para ulama) di Bashrah, pada saat itu dia masih kecil. Dia tidak pernah mencatat, sampai-sampai berlalu beberapa hari lamanya. Setelah 6 hari berlalu kami pun mencela kelakuannya. Menanggapi hal itu dia mengatakan, “Kalian merasa memiliki lebih banyak hadîts daripada aku. Cobalah kalian tunjukkan kepadaku hadîts-hadîts yang telah kalian tulis.” Maka kami pun mengeluarkan catatan-catatan hadîts tersebut. Lalu ternyata dia menambahkan hadîts yang lain lagi sebanyak lima belas ribu hadîts. Dia membacakan hadîts-hadîts itu semua dengan ingatan (di luar kepala), sampai-sampai kami pun akhirnya harus membetulkan catatan-catatan kami yang salah dengan berpedoman kepada hafalannya[16]
2)      Muhammad  bin Al Azhâr As Sijistâniy menceritakan: Dahulu aku ikut hadir dalam majelis Sulaiman bin Harb sedangkan al-Bukhâriy juga ikut bersama kami. Dia hanya mendengarkan dan tidak mencatat. Ada orang yang bertanya kepada sebagian orang yang hadir ketika itu, “Mengapa dia tidak mencatat?” Maka orang itu pun menjawab, “Dia akan kembali ke al-Jâmi’ al-Shahîh dan menulisnya berdasarkan hafalannya.”[17]
3)      Imam al-Bukhâriy mengatakan, “Aku menyusun kitab Al-Jâmi’ (Shahih al-Bukhâriy) ini dari enam ratus ribu hadîts yang telah aku dapatkan dalam waktu enam belas tahun dan aku akan menjadikannya sebagai hujjah antara diriku dengan Allâh.”[18]
4)      Al-Hâfizh Ibnu Hajar menuturkan bahwa apabila Bukhâriy membaca Al-Qur’ân maka hati, pandangan, dan pendengarannya sibuk menikmati bacaannya, dia memikirkan perumpamaan-perumpamaan yang terdapat di dalamnya, dan mengetahui hukum halal dan haramnya.[19]
 Di antara guru-guru beliau dalam memperoleh hadîts dan ilmu hadîts antara lain Ali ibn Al Madini, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Muhammad  ibn Yusuf Al Faryabi, Maki ibn Ibrâhîm Al Bakhi, Muhammad  ibn Yusuf al Baykandi dan ibn Rahawahih. Selain itu ada 289 ahli hadîts yang hadits-nya dikutip dalam kitab Shahîh-nya. Selain itu Banyak para ahli hadîts yang berguru kepadanya seperti Syekh Abu Zahrah, Abu Hâtim Tirmîdziy, Muhammad  Ibn Nasr dan Imam Muslim.
b.      Beliau memahami hadîts  nabi baik dirayah maupun riwayah.
c.       Beliau mampu membedakan mana riwayat yang shahîh dan yang tidak serta perawi yang ‘adil dan yang majrûh, sebagaimana yang tergambar dari perkataannya berikut ini:
لا أجىء بحديث عن الصحابة والتابعين الا عرفت مولد اكثرهم ووفاتهم وما كنهم....[20]
Artinya: Saya tidak meriwayatkan hadîts dari sahabat dan tabi’in, kecuali saya mengetahui kelahiran dan wafatnya, serta siapa gelarnya… 
d.      Beliau adalah sosok yang cermat dan teliti, di mana ia tidak mau meriwayatkan hadîts kecuali langsung berkenalan dengan orangnya, sebagaimana beliau pernah berkata:
لم تكن كتابتى للحديث كما كتب هولاء , كنت اذا كتبت عن رجل سألته عن اثمه و كنيته, ونسبته, وحمل الحديث ان كان فهما, فان لم يكن سألته ان يخرج الي اصله...[21]
Artinya: Tulisan saya mengenai hadîts, tidak sama dengan tulisan mereka (ahli hadîts yang lain), Adapun saya, jika menulis hadîts dari seseorang, maka saya akan menanyakan, siapa namanya, siapa kunyahnya, nasabnya, dan maksud hadîts jika ia mengerti, tetapi jika dia tidak mengerti saya akan memintanya untuk menunjukkan asal hadîts tersebut…
Perhatian yang sungguh dari Imam al-Bukhâriy untuk mengetahui dan bertemu dengan para perawi dikuatkan oleh Hafidz ibn Hajar, terkait dengan pembelaan beliau terhadap  al-Bukhâriy. Beliau menjelaskan bahwa di dalam Shahih al-Bukhâriy memang terdapat 80 perawi yang dianggapnya Dha’if, tetapi rata-rata di antara perawi tersebut adalah perawi yang telah dijumpai Imam al-Bukhâriy, yang telah duduk di majlisnya dan mengenal keadaannya, sehingga beliau mampu membedakan mana hadits yang shahih dan yang tidak.[22] 
e.       Melahirkan karya tulis yang bernilai tinggi lagi berfariasi
Sebagai intelektual yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhâriy dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu Hadîts, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti Tafsir, Fikih, dan Târikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.
Di antara karya beliau tersebut –selain kitab Al-Jâmi’ al-Shahîh adalah: Al-Adab al-Mufrad, Al-Dhu'afâ’ al-Shaghîr, Al-Tarikh al-Shaghîr, Al-Tarikh al-Ausath, Al-Tarikh al-Kabîr , Al-Musnad al-Kabir, Kitab al-Ilal, Raf'u al-Yadain fi al-Shalah, Birr al-Wâlidain, Kitab ad-Du'afâ’, Asam al-Shahâbah, Al-Hibah, Khalq Af'al al-‘Ibâd, Al-Kuna, Al-Qira'ah Khalf al-Imam[23].
f.       Beliau mendapat pangakuan dan pujian dari Imam-Imam hadîts
Imam  Al-Bukhâriy  sangat  banyak  menuai  pujian,  di antara pujian ulama
terhadap kredibilitas imam Al-Bukhâriy tersebut adalah:
1)      Abu Mush’ab Ahmad bin Abi Bakr al-Zuhri mengatakan, “Muhammad  bin Ismâ’îl (al-Bukhâriy) lebih fakih dan lebih mengerti hadîts dalam pandangan kami dari pada Imam Ahmad bin Hanbal.” Salah seorang teman duduknya berkata kepadanya, “Kamu terlalu berlebihan.” Kemudian Abu Mush’ab justru mengatakan, “Seandainya aku bertemu dengan Malik dan aku pandang wajahnya dengan wajah Muhammad  bin Ismâ’îl niscaya aku akan mengatakan: Kedua orang ini sama dalam hal hadîts dan fiqih.”[24]
2)      Qutaibah ibn Sa’id mengatakan, “Aku telah duduk bersama para ahli fikh, ahli zuhud, dan ahli ‘ibâdah. Aku belum pernah melihat semenjak aku bisa berpikir ada seorang manusia yang seperti Muhammad  bin Ismâ’îl. Dia di masanya seperti halnya Umar di kalangan para sahabat.”[25]
3)      Muhammad  bin Yûsuf Al Hamdani menceritakan: Suatu saat Qutaibah ditanya tentang kasus “perceraian dalam keadaan mabuk”, lalu masuklah Muhammad  bin Ismâ’îl ke ruangan tersebut. Seketika itu pula Qutaibah mengatakan kepada si penanya, “Inilah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, dan Ali ibn Madiniy yang telah dihadirkan oleh Allâh untuk menjawab pertanyaanmu.” Seraya mengisyaratkan kepada al-Bukhâriy[26]
4)      Ahmad bin Hambal mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad  bin Ismâ’îl.”[27]
5)      Muhammad  bin Basyar mengatakan tentang Imam al-Bukhâriy, “Dia adalah hamba Allâh yang paling fakîh di zaman kami.” [28]
6)      Hasyid bin Ismâ’îl menceritakan: Ketika aku berada di Bashrah aku mendengar kedatangan Muhammad  bin Ismâ’îl. Ketika dia datang, Muhammad  bin Basyar pun mengatakan, “Hari ini telah datang seorang pemimpin para fuqahâ’.”[29]
7)      Muslim bin Hajjaj -penulis Shahîh Muslim, murid Imam al-Bukhâriy- mengatakan, “Aku bersaksi bahwa di dunia ini tidak ada orang yang seperti dirimu (yaitu seperti al-Bukhâriy).” [30]
g.      Kelebihan intelektualitas beliau disempurnakan dengan ketaqwaan dan kemuliaan akhlaknya.[31]
  1. Wafatnya Imam al-Bukhâriy
Kebesaran akan keilmuan beliau diakui dan dikagumi sampai ke seantero dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal imam Muslim seorang ahli hadîts yang juga murid Imam al-Bukhâriy dan yang menerbitkan kitab Shahîh Muslim, kedatangan beliau pada tahun 250 H disambut meriah, juga oleh guru Imam Bukhâriy Sendiri Muhammad  bin Yahya Az-Zihli. Dalam kitab Shahîh Muslim, Imam Muslim menulis. "Ketika Imam Bukhâriy datang ke Naisabur, saya tidak melihat kepala daerah, para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa seperti yang mereka berikan kepada Imam al-Bukhâriy". Namun kemudian terjadi fitnah yang menyebabkan Imam al-Bukhâriy meninggalkan kota itu dan pergi ke kampung halamannya di Al-Jâmi’ al-Shahîh. Tetapi seperti halnya di Naisabur, di Al-Jâmi’ al-Shahîh beliau disambut secara meriah. Namun ternyata fitnah kembali melanda, kali ini datang dari Gubernur Al-Jâmi’ al-Shahîh sendiri, Khalid bin Ahmad Az-Zihli yang akhirnya Gubernur ini menerima hukuman dari Sultan Uzbekistan Ibn Thahir.[32]
Tak lama kemudian, atas permintaan warga Samarkand sebuah negeri tetangga Uzbekistan, Imam Bukhâriy akhirnya menetap di Samarkand,. Tiba di Khartand, sebuah desa kecil sebelum Samarkand, ia singgah untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun di sana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Ia dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri.[33]

C.    Kitab Al-Jâmi’ Al-Shahih Al-Musnad Al-Mukhtashar min Hadîts Rasul Allâh Shala Allâh ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyâmihi
  1. Latar Belakang Penulisan Kitab Shahîh al-Bukhâriy
Adapun mengenai latar belakang kenapa imam Imam Al-Bukhâriy ingin menyusun kitab Shahîh al-Bukhâriy, terdapat dua buah riwayat yang berkaitan dengan hal ini, yaitu:
a.       Riwayat  Ibrâhîm ibn Ma’qal al-Nasafiy yang menjelaskan bahwa Imam al-Bukhâriy menulis Hadîts atas anjuran gurunya, Ishâq Ibn Rahawaih.[34]
روي عن البخارى انه قال: كنت عند اسحاق ابن راهويه فقال: لو جمعتم كتابا مختصرالصحيح سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم, قال: فوقع فى قلبى فأخذت فى جمع الجامع الصحيح[35]
Artinya: Diriwayatkan dari imam al-Bukhâriy, bahwa ia berkata: Saya pernah bersama Ishaq Ibn rahawaih, maka ia berkata: Hendaklah kamu menyusun kitab yang khusus berisi sunnah atau hadîts Rasul Allâh yang shahîh saja, maka ia berkata: ucapan itu merasuk dan membekas di dalam hatiku, lalu aku menyusun al-Jâmi’ al-Shahîh.

b.      Riwayat Muhammad  ibn Sulaiman Ibn Fâris, bahwa Imam al-Bukhâriy pernah berkata:
سمعت البخاري سقول: رايت النبى صلى الله عليه وسلم وكأنى واقف بين يديه وبيدي مروحة أذب بها عنه, فسألت بعض المعبرين, فقال لي: تذب عنه الكذب فهو الذى حملني على اخرج الجامع الصحيح[36] 
Artinya: Saya mendengar Imam al-Bukhâriy berkata: Aku bermimpi berjumpa Nabi Muhammad  SAW, seolah-olah aku berada di depannya sambil membawa maruhah untuk menjaga beliau dari gangguan, lalu aku bertanya kepada ahli ta’bir mimpi, dia menjelaskan kepadaku :engkau akan mencegah pemalsuan hadîts Rasul Allâh, Mimpi inilah yang mendorongku untuk menyusun kitab al-Jâmi’ al-shahîh
Kedua riwayat di atas, terutama riwayat yang pertama sangat dipengaruhi kondisi historis penulisan hadîts pada akhir abad kedua Hijrah atau penulisan hadîts sebelum penulisan Shahîh al-Bukhâriy. Di mana para penulis kitab merangkum di dalam kitabnya berbagai hadîts dengan bermacam-macam kwalitas. Di sana terdapat hadîts shahîh, hadîts hasan, hadîts dha’îf, bahkan perkataan para sahabat. Penulisan seperti ini pada awalnya tidak membawa masalah, karena jumlah periwayatan hadîts waktu itu masih dalam jumlah yang terbatas, serta para ulama melengkapi itu semua dengan penyusunan kitab ‘ilâl  dan kitab rijal al-hadîts.
Namun setelah itu –terutama pertengahan abad ke-3 Hijriah-, seiring dengan meluasnya periwayatan dan semakin panjangnya jalur sanad maka banyak dari umat Islam yang susah membedakan mana hadîts yang shahîh dan yang tidak. Hal ini mengundang perhatian besar ulama waktu itu, seperti Ishâq ibn Rahawaih.[37] Sehingga ia mengusulkan kepada murid-muridnya untuk menulis kitab hadîts yang khusus memuat hadîts shahîh saja, sebagaimana riwayat Ibrâhîm ibn Ma’qal al-Nasafiy di atas. Dan murid ibn Rahawaih yang langsung menanggapi usulannya adalah Imam al-Bukhâriy.  
  1. Metode Penulisan Kitab Shahîh al-Bukhâriy
Kitab Shahîh al-Bukhâriy adalah kitab hadîts pertama yang hanya memuat hadîts-hadîts yang shahîh. Imam al-Bukhâriy menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk menyusunnya. Beliau mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadîts, mengumpulkan dan menyeleksi hadîts-nya hingga menulisnya. Di antara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Imam al-Bukhâriy sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 1.080 perawi. Dan dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal ribuan hadîts.
Namun tidak semua hadîts yang ia hafal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, di antaranya apakah sanad  dari hadîts tersebut bersambung dan apakah perawi hadîts itu terpercaya dan tsiqah.[38]
Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhâriy sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhâriy berkata. "Saya susun kitab al-Jâmi `ash Shahîh ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadîts pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat (memohon pertolongan kepada Allâh), dan sesudah meyakini betul bahwa hadîts itu benar-benar shahîh ". Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis. Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadîts dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah sehingga hadîts-hadîts-nya dapat dipertanggungjawabkan.[39]
Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan ke-shahîh-an hadîts yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadîts satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahîh. Dengan demikian, Imam al-Bukhâriy benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadîts. Bahkan beliau pernah berkata: "Saya tidak memuat sebuah hadîts pun dalam kitab ini kecuali hadîts-hadîts shahîh ".[40]
Di belakang hari, para ulama hadîts menyatakan, dalam menyusun kitabnya, Imam al-Bukhâriy selalu berpegang teguh pada tingkat ke-shahîh-an paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadîts yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Singkat kata, ada dua faktor penting penentu keberhasilan imam al- Bukhâriy di dalam menyusun kitab shahîh-nya, yaitu:
a.       Beliau menyusunnya dengan menjunjung tinggi sikap ilmiah, terutama di dalam menetapkan standar ke-shahîh-an.[41]
b.      Beliau tidak melupakan aspek rohani, dimana ia selalu meminta hidayah Allâh lewat shalat istikhârah di dalam menulis kitabnya.
  1. Sistematika dan Isi kitab Jâmi’ Al-Shahîh
Jâmi’ Al-Shahîh atau Shahîh al-Bukhâriy terdiri dari beberapa kitab.[42] Imam al-
Bukhâriy memulainya dengan Kitab permulaan wahyu, yang menjadi dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitab Iman, Kitab Ilmu, Kitab Thaharah, kitab Shalat, Kitab Zakat dan seterusnya. Dalam beberapa naskah terdapat perbedaan mengenai urutan antara kitab Puasa dengan kitab Haji.    
Kemudian Kitab Buyu’, Mu’malah, Murafa’at, Syahadat, Shulh, Wasiat, Waqaf dan Jihad. Selanjutnya kitab yang tidak menyangkut Fiqih seperti tentang penciptaan makhluk, riwayat para nabi, cerita sorga dan neraka, manâqib Quraish, dan keutamaan sahabat.
Selanjutnya Kitab Sirah Nabawiyah dan Maghâzi, serta hadîts yang berkaitan dengannya, Lalu kitab Tafsir, kemudian kembali lagi ke masalah Fiqh mengenai Nikah, Talaq, dan Nafaqah. Kemudian kitab Ath’imah, Asyribah, Kitab Thib, Kitab Adab, Kitab Birr, kitab Shillah dan Isti’zan. Kemudian Kitab Nuzur dan Kifarat, Hudud, Ikrah, Ta’bir al-Ru’yah, kitab Fitn dan Ahkam.
Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para penguasa dan para hakim. Kemudian kitab I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah dan yang terakhir Kitab Tauhid, sebagai penutup kitab Shahîh-nya yang terdiri dari 97 Kitab dan 3450 Bab. Namun perlu diketahui di dalam naskah yang ada terdapat beberapa perbedaan yaitu ada kitab yang dianggap sebagai bab, juga sebaliknya ada bab yang dianggap sebagai kitab. Hal ini dapat diketahui melalui muraja’ah atau penelitian terhadap matan Shahîh al-Bukhâriy yang telah dicetak dan  kitab syarah-nya.
Dalam Shahîh al-Bukhâriy ada beberapa bab yang memuat banyak hadîts dan ada pula bab yang hanya memuat satu hadîts, dan ada yang berisi ayat-ayat al-Qur’ân tanpa adanya hadîts, bahkan ada pula yang kosong tanpa isi. Tampaknya mengenai hal yang terakhir ini imam al-Bukhâriy belum mendapatkan hadîts untuk mengisi bab itu sesuai kriterianya. Oleh karena itu bab tersebut dibiarkan kosong, dengan harapan suatu saat dapat menemukan hadîts-hadîts yang memenuhi syarat-syarat ke-shahîh-annya.
Dan Shahîh al-Bukhâriy ini dicetak oleh beberapa penerbit dengan jumlah jilid yang tidak sama. Dan di dalam terbitan Dar al-Taqwa, Shahîh al-Bukhâriy terdiri dari 4 jilid.   
Menurut ‘Allâmah Ibn Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahîh al-Bukhâriy itu memuat 7275 hadîts termasuk di sana hadîts yang berulang, dan di antaranya ada 4000 hadîts yang dimuat utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin al-Nawawi dalam kitab Al-Taqrib.[43]
Dalam pada itu Ibnu Hajar Al-Atsqalâni dalam kata pendahuluan untuk kitab Fathul Bâriy, yakni syarah atau penjelasan kitab Shahîh al-Bukhâriy menulis, semua hadîts shahîh yang maushul di dalam Shahîh al-Bukhâriy (yang dimuat dengan tidak ada pengulangan) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadîts yang mu'allaq  namun marfu  , dan tidak diulas pada tempat lain ada sebanyak 159 buah, Adapun jumlah hadîts shahîh yang berulang sebanyak 7397 buah, hadîts mu’alaq sebanyak 1341 dan hadîts muttabi’ sebanyak 244 buah. Total hadîts di dalam Shahîh al-Bukhâriy -termasuk yang terjadi pengulangan- sebanyak 9.082 hadîts.[44]
  1. Standar hadîts yang diterima oleh al-Bukhâriy untuk ditulis di dalam kitab Shahîh al-Bukhâriy
Mengenai syarat hadîts yang diterima al-Bukhâriy untuk ditulisnya di dalam kitab Shahîh-nya, memang beliau tidak ada mengungkapkan. Namun kriteria tersebut dapat dipahami dari penelitian yang dilakukan terhadap kitabnya tersebut. Meskipun dimaklumi jika hasil penelitian tersebut tidak bermuara kepada sebuah kesimpulan yang sama. Di antara ulama yang mencurahkan perhatiannya terhadap hal ini adalah sebagai berikut:
a.       Abu ‘abd Allâh al-Hâkim al-Naisabûriy.
Penelitian terhadap standar ke-shahîh-an hadîts yang dipakai al-Bukhâriy, beliau kemukakan ketika membahas hadîts shahîh di dalam kitab al-Madkhal fi ushl al-hadîts. Di dalam kitab tersebut secara umum Imam al-Hâkim membagi hadîts shahîh kepada sepuluh tingkatan. Lima tingkatan pertama disepakati ke-shahîh-annya oleh mayoritas ulama dan lima berikut mereka pertikaikan. Ringkasnya di dalam pengelompokan tersebut beliau menyimpulkan jika Imam al-Bukhâriy hanya menerima hadîts yang diriwayatkan oleh sahabat yang masyhûr (maksudnya sahabat yang meriwayatkan hadîts kepada dua orang tabi’in atau lebih), kepada para tabi’in yang tsiqah, lalu kepada tabi’ tabi’in yang masyhûr akan ke-‘adalah-an dan kekuatan hafalan serta ketelitiannya. Sedangkan jika diriwayatkan oleh sahabat yang tidak masyhûr –maksudnya tidak ada tabi’in yang meriwayatkan darinya kecuali 1 orang- maka itu tidaklah ditulis oleh al-Bukhâriy.[45]
Namun pendapat al-Hâkim di atas dibantah oleh Abu al-Fadhl Muhammad ibn Thahir al-Muqaddasiy dan Muhammad ibn Musa al-Hazimiy. Menurut al-Muqaddasiy, al-Hâkim salah di dalam mengambil kesimpulan, karena pada kenyataannya di dalam Shahîh al-Bukhâriy ada terdapat hadîts yang diriwayatkan dari sahabat yang tidak masyhûr, seperti riwayat Mirdas al-Aslamiy, di mana tidak ada seorang perawi-pun yang meriwayatkan hadîts darinya selain Qais ibn abi Hâzim.[46]    
b.      Al-Muqaddasiy dan al-Hazimiy
Keduanya –sebagaimana dijelaskan sebelumnya- tidak sependapat dengan al-Hakim. Menurut Al-Muqaddasiy, syarat yang ditetapkan Imam al-Bukhâriy adalah bahwa ia hanya meriwayatkan hadîts yang berasal dari perawi yang tidak dipertikaikan ke-tsiqah-an dan ke-tsabat-annya serta memiliki sanad yang bersambung (tidak terputus)[47]
Lebih lanjut al-Hazimiy menjelaskan syarat hadîts shahîh –yang pasti diperpegangi ulama sekelas al-Bukhâriy- yaitu, riwayat tersebut mestilah diriwayatkan oleh perawi yang memiliki kriteria sebagai berikut: Islam, berakal, ‘âdil dan dhâbit. [48]
Selain dari syarat di atas, Imam al-Bukhâriy menambahkan syarat lain yaitu:
1)      Hendaklah perawi tersebut lama bergaul dengan gurunya, karena ini akan menjadi faktor penting akan hafalan dan ke-dhabit-annya.
2)      Secara historis dapat dipastikan jika antara perawi dan gurunya mereka saling bertemu, dan mendengar hadîts yang diriwayatkannya.[49]
 Satu hal yang mesti digarisbawahi bahwa tidak seluruh hadîts shahîh terdapat di dalam kitab Shahîh al-Bukhâriy ini. Dan beliaupun mengakui hal ini melalui perkataannya:
لم اخرج فى هذا الكتاب الا صحيحا, وما تركت من الصحيح أكثر[50]
Artinya: saya tidak menulis hadîts di dalam kitab ini kecuali yang shahîh saja, dan hadîts shahîh yang tidak saya tulis justru sangat banyak.
  1. Kitab Syarah dan Mukhtashar dari Shahîh al-Bukhâriy
Sebagai bukti besarnya perhatian ulama terhadap Shahîh al-Bukhâriy, mereka menulis banyak kitab Syarah. Menurut pengarang Kasy al-Zunun ada sekitar 82 kitab yang merupakan kitab syarah dari Shahîh al-Bukhâriy. Di antara kitab Syarah yang terkenal adalah:
a.      Al-Kawâkib al-Durariy fi Syarh Shahîh al-Bukhâriy Yang ditulis oleh ‘Allâmah Syams al-Dîn Muhammad Ibn Yûsuf ibn ‘Ali al-Kirmani
b.      Fath al-Bâriy bi Syarh Shahîh al-Bukhâriy karya ‘Al-Hafidz abi al-Fida’ Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Hâjar al-‘Asqalâniy
c.       Umdah al-Qâriy karya ‘Allâmah Badr al-Din Mahmud ibn Ahmad al-‘Aini al-Hanâfiy
d.      Irsyâd al-Syâriy ila Shahîh al-Bukhâriy Karya ‘Allâmah Sihâb al-Din Ahmad ibn Muhammad al-Khâtib al-Misriy al-Syâfi’i  
Sedangkan yang termasuk kitab mukhtashar dari Shahîh al-Bukhâriy di antaranya adalah:
a.       Bahjah al-Nufus wa Ghâyatuha karangan abu Muhammad ‘abd Allâh ibn Sa’ad ibn abiy Jamrah al-Andalusiy
b.      Mukhtashar Imam al-Zainuddin karya Imam al-Zainuddin ‘abd al-‘Abbas Ahmad ibn ‘abd al-Latif al-Sarij al-Zubaidiy.[51]


D.    Penutup
a.      Kesimpulan
Kitab al-Jâmi’ al-Shahîh atau Shahîh al-Bukhâriy adalah kitab hadîts pertama yang khusus memuat hadîts-hadîts shahih saja. Kitab ini memiliki kedudukan yang tinggi di banding kitab-kitab lain. Hal ini karena berbagai alasan di antaranya adalah:
-          Ditulis oleh seorang yang cerdas lagi memiliki integritas kepribadian yang mulia (taqwa dan wara’).
-          Ditulis dengan menggunakan metode ilmiah serta tidak melupakan aspek Ilahiah (dengan ber-istikhârah kepada Allâh)

b.      Saran-saran
Terakhir penulis berharap, mengingat makalah ini hanya membahas secara global mengenai Kitab Shahîh al-Bukhâriy, maka pembahasan ini perlu dilihat dan dibahas lebih mendalam pada diskusi ataupun makalah berikutnya, terutama mengenai berbagai pandangan terhadap isi kitab, seperti terkait hadîts mu’allaq dan pembahasan-pembahasan penting lainnya.











                                                   










DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-‘Asqalâniy, Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, Hady al-Syâriy Muqaddimah Fath al-Bâriy, Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyah, [tth]

Ibn Bahâdir, Badruddîn abiy Abd Allâh Muhammad ibn Jamâluddîn abd Allâh, Al-Nukt ‘ala Muqaddimah Ibn shâlah, Riyadh: Maktab Adhwa’ alSalaf, 1998

‘Al-Dzahabiy, Imam Syams al-Din Muhammad Ibn Ahmad ibn ‘Usman, Tahzîb Sira a’lam al-Nubala’, Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991

Al-Hamid, Sa’id ibn ‘Abd Allâh, Manahij al-Muhadditsîn, Riyadh: Dar Ulum al-Sunnah, 1999

Al-Haziliy, Muhammad ‘Abd al-‘Azis, Miftah al-Sunnah au Tarikh Funun al-Hadits, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, [t.th]

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjâj, Ushul al-Hadîts Ulûmuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989

Al-Kufiy, Abu Bkr (i’dad), Minhâj al-Imâm al-Bukhârîy fi Tashhih al-Hadîts wa ta’liliha min Khilal al-Jami’ al-Shahîh, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000

Al-Mizziy, Jamal al-Dîn Abi al-Hajjâj Yûsuf, Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl, Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1985

Mulakhatir, Khalil Ibrâhîm, Makanah al-Shahîhain, Qahirah: al-Mathba’ah al-‘Arabiyah al-Hadîtsiyah, 1402H

Al-Muthâlib, Rif’at Fauzi Abd, Kutub al-Sunnah Dirasah Tautsiqiyah, Qahirah: Maktabah al-Khaniji, 1979

Al-Shâlih, Subh, Ulum al-hadîts wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1988

Abu Syuhbah, Muhammad Muhammad, fi Rihab al-Sunnah al-Kutb al-Sihhah al-Sittah, [t.kt]: Silsilah al-Buhuts al-Islâmiy, 1995


 


[1] Ini adalah kitab hadîts karya Ismâ’îl bin Ibrâhîm bin Al-Mughîrah bin Bardizbah Al-Ju’fiy al-Bukhârîy (selanjutnya disebut Imam al-Bukhârîy). Kitab ini biasa dikenal dengan kitab Shahîh al-Bukhârîy atau kitab Jâmi’ al-Shahîh, dan untuk berikutnya penulis menyebutnya dengan sebutan ini.
[2] Keterangan seperti ini pernah ditulis oleh Subh al-Shâlih, lebih lanjut lihat Subh al-Shâlih, Ulum al-Hadîts wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1988), h. 396
[3] Amir al-Mukminîn di sini berbeda dengan istilah amir al-mukminîn yang dikenal di dalam sejarah khilafah Islam, seperti yang diberikan kepada para khalifah al-Rasyidin. Adapun yang dimaksud dengan amir al-mukminîn di bidang hadîts ini adalah: ahli hadîts yang populer di masanya, baik dari segi hafalan maupun dirayah hadîts, sehingga ia menjadi tokoh dan imam di waktu itu. Lebih lanjut lihat: Muhammad ‘Ajjâj al-Khatib, Ushul al-Hadîts Ulûmuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 449
[4] Lihat Abu Bkr al-Kufiy (i’dad), Minhâj al-Imâm al-Bukhârîy fi Tashhih al-Hadîts wa ta’liliha min Khilal al-Jami’ al-Shahîh, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), h 42   
[5] Ibid, h. 43
[6] Imam Syams al-Din Muhammad Ibn Ahmad ibn ‘Usman al-Dzahabiy, Tahzîb Sira a’lam al-Nubala’, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1991), Juz. XII, h. 391
[7] Lihat Jamal al-Dîn Abi al-Hajjâj Yûsuf Al-Mizziy, Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 1985), Cet. I, Juz. XXIV, h. 431
[8] Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Hady al-Syâriy Muqaddimah Fath al-Bâriy, (Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyah, [tth]), h. 501
[9] Sebagai bukti ke-wara’-an dan ketaqwaannya beliau pernah berkata ( لا اعلم فى مالي درهما من حرام ولا شبهة ) Lihat. Muhammad Muhammad abu Syuhbah, fi Rihab al-Sunnah al-Kutb al-Sihhah al-Sittah, ([t.kt]: Silsilah al-Buhuts al-Islâmiy, 1995), h.57-58
[10] Al-‘Asqalâniy, Op Cit, h. 640
[11] Saya telah pergi ke Syam, Mesir, Jazirah dua kali, Bashrah empat kali, dan bermukim di Hijaz tidak kurang dari enam tahun, dan tidak dapat dihitung lagi berapa tahun saya pergi ke Kufah dan Baghdad bersama para ahli hadîts. Lihat. Abu Syuhbah, Op Cit, h. 60 
[12] Diantara sifat yang mesti dimiliki seseorang, sehingga ia dapat dikatakan seorang imam hadîts adalah: a. Menghafal hadîts, baik yang Shahîh maupun yang dhâ’if, serta dapat membedakan antara keduanya, b. Ia merupakan seorang ulama lagi faqih (memahami Sunnah dan atsar), c. Mengetahui secara luas dan mendalam keadaan para perawi, sehingga dapat membedakan mana perawi yang adil dan mana yang terkena jarah. d. Bertaqwa, zuhud, memiliki akhlak yang baik serta jiwa yang bersih. e. Berani menampakkan kebenaran, serta tidak menghiraukan celaan orang lain seperti di hadapan penguasa dan ahli bid’ah., f. adalah sosok yang jenius dan memiliki intelektual tinggi. Lebih lanjut lihat, Rif’at Fauzi abd al-Muthalib, Kutub al-Sunnah Dirasah Tautsiqiyah, (Qahirah: Maktabah al-Khaniji, 1979), Cet. I, h. 55       
[13] Kecerdasan beliau semenjak kecil ini sudah tampak semenjak ia belajar di kuttab. Di mana meski pada waktu itu ia baru berusia 10 tahun ia telah mulai menghafal hadîts, beliau berkata: ألهمت حفظ الحديث وأنا فى الكتاب , Rif’at Fauzi, Loc Cit
[14] Abu Syuhbah, Op Cit, h. 68
[15]  Riwayat yang dimaksud adalah riwayat yang disampaikan Ahmad Ibn ‘Adiy: Suatu ketika al-Bukhâriy datang ke Baghdad. Para ulama hadîts yang ada di sana mendengar kedatangannya dan ingin menguji kekuatan hafalannya. Mereka pun mempersiapkan seratus buah hadîts yang telah dibolak-balikkan isi hadîts dan sanadnya, matan yang satu ditukar dengan matan yang lain, sanad yang satu ditukar dengan sanad yang lain. Kemudian seratus hadîts ini dibagi kepada 10 orang yang masing-masing bertugas menanyakan 10 hadîts yang berbeda kepada Bukhâriy. Setiap kali salah seorang di antara mereka menanyakan kepadanya tentang hadîts yang mereka bawakan, maka al-Bukhâriy menjawab dengan jawaban yang sama, “Aku tidak mengetahuinya.” Setelah sepuluh orang ini selesai, maka gantian al-Bukhâriy yang berkata kepada 10 orang tersebut satu persatu, “Adapun hadîts yang kamu bawakan bunyinya demikian. Namun hadîts yang benar adalah demikian.” Hal itu beliau lakukan kepada sepuluh orang tersebut. Semua sanad dan matan hadîts beliau kembalikan kepada tempatnya masing-masing dan beliau mampu mengulangi hadîts yang telah dibolak-balikkan itu hanya dengan sekali dengar. Sehingga para ulama pun mengakui kehebatan hafalan Bukhâriy dan tingginya kedudukan beliau. Hadîts ini juga dikutip oleh Ibn Shalah. Lebih lanjut lihat: Badruddîn abiy Abd Allâh Muhammad ibn Jamâluddîn abd Allâh ibn Bahâdir al-Zarkâsy al-Syafi’iy, Al-Nukt ‘ala Muqaddimah Ibn shâlah (Riyadh: Maktab Adhwa’ alSalaf, 1998), Juz II, h.304 dan Al-‘Asqalâniy, Op Cit, h. 652
[16] Ibid, h. 641
[17] Ibid
[18] Ibid, h. 656
[19] Ibid, h. 650
[20] Rif’at Fauzi, Op Cit, h. 58
[21] Ibid
[22] Muhammad ‘Abd al-‘Azis al-Haziliy, Miftah al-Sunnah au Tarikh Funun al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, [t.th]), h. 42
[23] Mengenai karya beliau dapat dilihat Subh al-Shâlih, Op Cit, h. 397
[24] Al-‘Asqalâniy, Op Cit, h. 646
[25] Ibid
[26] Ibid
[27]  Ibid, h. 647
[28] Ibid
[29] Ibid
[30] Ibid, h. 650
[31] Rif’at Fauzi, Op Cit, h. 55 - 60
[32] Abu Syuhbah, Op Cit, h. 63-66
[33] Ibid
[34] Beliau adalah guru paling tama dari Imam al-Bukhârîy yang merupakan Ustadz amir al-Mukminin di bidang hadîts, nama aslinya adalah Ishaq ibn Ibrâhîm al-Hanzhaliy. Lihat. Khalil Ibrâhîm Mulakhatir, Makanah al-Shahîhain, (Qahirah: al-Mathba’ah al-‘Arabiyah al-Hadîtsiyah, 1402H),  h. 34
[35]  Abu Syuhbah, Op Cit, h. 75-76, di dalam kitab lain disebutkan perkataan Ishaq ibn Rahawaih adalah
لو أفردتم صحيح سنة النبى صلى الله عليه وسلم با لتصنيف
Lebih lanjut lihat: Sa’id ibn ‘Abd Allâh al-Hamid, Manahij al-Muhadditsîn, (Riyadh: Dar Ulum al-Sunnah, 1999), h.11
[36] Sebagaimana yang dikutip oleh Mulakhatir dari kitab Hady al-Syariy, h. 7, Lihat. Mulakhatir, Loc Cit  
[37] Ini dapat dilihat di dalam, Rif’at Fauzi, Op Cit,  h. 63
[38] Bahkan diterangkan sesuangguhnya Imam al-Bukhâriy Menyeleksi dari 600.000 hadits untuk di tulis di dalam kitabnya. Adapun yang menjadi alasan beliau untuk tidak memasukkan semuanya mengingat hal ini bisa menghabiskan waktu yang luar biasa panjang. Mulakhatir, Op Cit, h. 35
[39] Ibid,  h. 35-36
[40] Ibid
[41] Satuhal yang tidak boleh dilupakan, sebagai penegas sikap ilmiah al-Bukhariy, setelah beliau menyelesaikan penulisan kitabnya beliau menyodorkannya kepada ulama-ulama besr yang ada pada masanya seperti: Ibn al-Madiniy, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’în dan ulama lainnya. Ibid, h. 38
[42] Kitab yang dimaksud di sini adalah bab yang kita pahami di dalam sistematika penulisan karya ilmiah. Sedangkan Istilah bab maksudnya adalah sub bab di dalam pemahaman kita.  
[43] Lihat Abu Syuhbah, h
[44] Abu Syuhbah, h95-96 
[45]  Lihat rif’at Fauzi, Op Cit, h. 65-67
[46] Dan menurut Rif’at fauzi, sesuai dengan kritikan keduanya, akhirnya Al-Hakim meralat pernyataanya tersebut lewat kitab Mustadrak-nya, Ibid, h. 70
[47] Ibid
[48] Ibid, h. 71-73
[49] Ibid, h.73-76
[50] Ibid
[51] Abu Syuhbah, Op Cit, h. 96-102 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar